Dering di ponsel Nafla sejak tadi terus berbunyi dan menampilkan nama Faiz di sana. Sedangkan, sang empunya ponsel masih duduk memeluk lutut di balik pintu kamar.
"Coba tanya dirimu sendiri, Nafla. Apa benar ini yang kamu mau?"
Nafla menyusupkan wajahnya di sela lutut. Kemudian, memejamkan mata. Ia sedang tidak ingin menangis sekarang. Tidak ada yang perlu ia tangisi. Ditinggalkan seseorang bukan hal baru untuknya.
Nafla menarik napasnya panjang, lalu mengangkat kepalanya lagi. Kemudian, beranjak dari sana dan berjalan keluar kamar.
Ia melangkahkan kakinya pelan. Menelusuri dinding-dinding kosong dengan pandangan menerawang.
"Bia?"
Nafla tidak langsung menoleh. Ia masih menatap tinggi dinding-dinding kosong di dekatnya.
"Kamu belum tidur?" Papa mendekat, lantas berdiri di samping sang putri.
Sejenak ruangan terasa hening karena pertanyaan papa urung juga dijawab Nafla. Hingga akhirnya, gadis itu mulai bicara.
"Foto-foto di sini ...." Nafla mengulurkan tangan, lalu menyentuh dinding di hadapannya dengan jemarinya. "Kemana?"
Kening papa tampak berkerut samar. Ia berdeham, lalu menarik tanganya ke belakang. "Jangan bahas itu."
Nafla menolehkan kepalanya ke arah papa, menatap ayah kandungnya itu dengan pandangan terganggu. "Kenapa? Karena kenangan sama sekali tidak ada harganya buatmu?"
Sejenak papa terdiam. Membalas tatapan Nafla dengan pandangan tidak terbaca, lalu berkata, "Benar."
Hati Nafla terasa diremas. Ia memang tidak punya tempat di rumah ini. Nafla menarik kedua ujung bibirnya, lalu tersenyum pahit. Sedangkan, papa telah membalilkan tubuhnya dan mulai beranjak dari sana. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia kembali bersuara. "Tidurlah, Bia."
Nafla tidak tidur. Ia justru ke dapur dan memasak sangat banyak. Kemudian, mencuci alat masaknya, baru setelah itu makan sendiri di meja makan.
Piring Nafla telah dipenuhi ayam goreng, capcai, tempe bacem, sambal terasi, dan kerupuk. Ia memandang sejenak makanan di hadapannya, lalu menyuapinya pelan ke dalam mulut. Tiba-tiba, air matanya meleleh begitu saja.
***
Setelah membagikan masakannya malam ini ke sopir, security, bahkan petugas keamanan kompleks, Nafla pergi dengan menyetir mobilnya sendiri malam ini. Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam.
Ia baru kembali saat Azan Subuh berkumandang dan menemukan papa telah berdiri di teras dengan tangan terlipat ke belakang. "Dari mana kamu?"
Untuk pertama kalinya Nafla melihat rahang papa mengeras. Ia tidak menjawab dan justru terus saja berjalan melewati papa dengan langkah sempoyongan.
"Kamu mabuk?!" Papa menyentak tangan Nafla. Tatapannya dengan tajam menelisik pakaian Nafla yang terbuka. "Baju macam apa itu, Bia?!"
Nafla tertawa, ia tampak sudah tidak bisa berdiri dengan benar. "Bagus, kan? Banyak laki-laki nggak bisa menahan tangannya untuk menyentuhku."
Plak! Sebuah tamparan untuk pertama kalinya melayang ke pipi Nafla. Nafla menundukkan kepalanya, lalu menyeringai.
Ia menyentuh salah satu ujung bibirnya dengan jari telunjuk. lalu mengangkat wajahnya lagi. Kemudian, menatap papa dengan sebuah senyum puas.
Papa tidak lagi banyak bicara. Jelas-jelas tergambar sorot kecewa di matanya. Ia hanya membalikkan tubuh dan berjalan menuju kamar dengan langkah cepat.
Senyum di bibir Nafla berlahan memudar. Tatapannya belum beralih dari punggung papa yang berjalan cepat ke arah kamar.
Nafla memasuki kamarnya hanya untuk berganti pakaian saja. Kemudian, keluar lagi dengan menyambar kunci mobil di atas nakas. Pagi ini, ia akan pergi dan menyetir sendiri lagi.
Nafla mengendarai mobilnya ke arah berlawanan dari arah pabrik. Pagi ini, ia memang tidak berniat bekerja. Setelah berjuang melewati padatnya antrian, akhirnya ia membelokkan mobilnya dan parkir di laman parkir sebuah rumah sakit.
Tidak langsung masuk, Nafla mengembuskan napasnya dulu dengan pandangan menatap plang nama rumah sakit khusus kanker tersebut. Ia dengan mandiri melakukan pendaftaran untuk pemeriksaan. Semalam, ia sudah berdosa menyiksa tubuh Bianca dengan hal-hal terlarang untul penderita kanker dan pagi ini ia harus bertanggung jawab.
Berharap tidak bertemu Az, rupanya takdir berkata lain. Mereka justru selisih jalan di lorong, tetapi tidak saling tegur sapa.
"Sombong!" desis Nafla. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati Az tidak juga menoleh padanya. Kemudian, mencibir dan bicara sendiri. "Cuma aku yang boleh sombong, hoy!"
Setelah itu, ia melanjutkan langkahnya lagi mengikuti arah yang perawat tunjukkan untuk melakukan pemeriksaan. Sekaligus mencoba mengusir godaan untuk menendang kaki Az dari belakang.
Syukurlah, hasil pemeriksaan tidak terlalu buruk. Meski tidak bisa dibilang baik juga. Dokter saja heran kenapa daya tahan tubuh Nafla semakin membaik.
"Tadi malam aku mabuk, Dok," adu Nafla, hingga membuat dokter menatapnya dengan kening berkerut.
"Tapi aku udah minum jahe dan madu," lanjutnya cengengesan.
"Kita tunggu hasil MRI dulu, ya." Dokter membalas. Kemudian, melakukan pemeriksaan pada pipi Nafla yang terlihat memar. "Ini kenapa?"
"Kepentok HP, Dok, waktu ketiduran."
Dokter hanya tersenyum kecil, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Jelas-jelas ia tidak percaya pada jawaban pasiennya itu.
Dokter Wahyu sudah mengenal Bianca sejak kecil. Dulu, Bianca adalah pasien anak-anak pengidap kanker yang kini telah beranjak dewasa. Sebuah keajaiban sebenarnya.
"Kamu merasa tidak bertenaga?"
"Tidak juga. Aku kuat."
Dokter kembali tersenyum mendengar jawaban Nafla tersebut. Seperti yang sudah dikatakan tadi, bertahannya Bianca sampai saat ini merupakan sebuah keajaiban.
Meski perkembangan sel kankernya cukup lambat, tetapi tetap saja stadiumnya terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Bahkan, kini leukimia yang diderita Bianca telah mencapai stadium empat dengan bawaan tumor otak sekunder.
Setelah diperoleh hasil MRI dan dilakukan transfusi darah, Nafla akhirnya diizinkan pulang. Sebenarnya, ia dilarang menyetir sendiri, tetapi apa boleh buat, sekarang Az sudah tidak ada.
Eh?
Usai pamit dengan dokter dan perawat, Nafla melangkahkan kakinya keluar rumah sakit. Saat ia keluar dari gedung tinggi itu, rupanya hari telah petang. Waktu yang dihabiskan untuk pemeriksaan, benar-benar lama dan melelahkan.
Diam-diam, ada sesorang yang memperhatikan dan mengikuti Nafla dari jauh. Siapa lagi kalau bukan ... Azariel Firdaus.
Meski cukup tenang karena kondisi tubuh Bianca tidak terlalu mendapat dampak buruk akibat perbuatannya, tetapi Nafla masih enggan pulang. Ia memutuskan memacu mobilnya ke arah rumah sakit lainnya. Rumah sakit tempat tubuh aslinya di rawat.
Nafla melangkahkan kakinya menuju ruang ICU. Seperti biasa, ia hanya berniat mampir sebentar dan mengintip lewat kaca pintu saja. Namun, tubuhnya dibuat menegang saat melihat ada sosok lain yang sedang duduk di samping ranjang.
Sosok yang memegang erat tangan Nafla yang terkulai lemah. Sosok yang ia hafal betul gestur tubuhnya. Sosok yang bahkan tampak menangis dan menyeka air mata dengan tangan rentanya.
Sosok itu ... Papa.
***
Apa lagi yang mau dicurhatin, ya? Wkwk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
betters
cumunguts upnya
2024-05-31
0
Syalalala~
jangan main tebak-tebakan kak, otakku males mikir ☺
2022-03-08
0
Syalalala~
nyesek yaa😣
2022-03-08
0