Sejak kembali ke rumah, Nafla langsung memeriksa setiap sudut kamar dan lemari. Ia sedang mencari-cari ponsel milik Bianca. Setiap laci, bahkan kamar mandi ia telusuri. Namun, tetap saja ia tidak berhasil menemukan benda pipih tersebut.
Setelah lama mencari, akhirnya Nafla menyerah. Ia duduk kelelahan di tepi ranjang sembari menggaruk kepalanya. "Nggak mungkin 'kan, Bia nggak punya HP?"
Kebingungannya terjeda oleh suara ketukan pintu. Ia beranjak, lalu membuka pintu meski sudah tahu pasti siapa pelakunya.
"Sudah minum obat?"
Nafla memutar bola matanya, malas. "Aku bukan anak kecil!"
Ia sudah hampir menutup kembali pintunya, tetapi Az dengan cekatan menahan. Kemudian, tanpa izin menyentuh lengan Nafla dan memeriksanya.
"Kamu ngapain?!" Nafla yang kaget langsung menepis tangan Az. Kemudian, melangkah mundur dan memeluk tubuhnya sendiri ketakutan. Namun, Az tetap menelisik wajah, leher, tangan, dan kaki Nafla, meski kali ini tanpa menyentuhnya.
Nafla berteriak panik. Kemudian, membanting pintu dan menguncinya dari dalam. "Otak c*bul!"
Tampaknya keadaan tubuh Bianca baik-baik. Tidak ada tanda memar yang Az temukan tadi. Ia juga tidak pernah mendengar Nafla mengeluh pusing atau mual. Semoga, semuanya memang baik-baik saja.
Setelah cukup lama berdiam diri di depan pintu kamar Nafla, Az membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke kamarnya sediri. Pemuda berkarakter tenang itu cukup merasa lega hari ini.
***
Pagi-pagi sekali Nafla sudah bersiap-siap akan ke kantor. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Seperti biasa, ia tampil cantik dengan stelan semi formal dan sepatu hak tinggi. Namun, suasana hatinya dibuat buruk saat lagi-lagi mencicipi sarapan di atas meja yang selalu hambar.
Wajah Nafla berubah kecut. Ia menyelesaikan cepat sarapannya. "Pantas saja Bia langsing begini, makanannya kayak neraka."
Setelah mengusap bibirnya dengan tisu, Nafla bangkit dan beranjak pergi. Semangatnya membara lagi.
Az yang rupanya sudah menunggu Nafla di dekat mobil, langsung membukakan pintu tanpa menyapa. Datar sekali hidupnya.
"Kamu nggak nungguin aku sampai pulang, kan?" Nafla memastikan.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Emang nggak bosen? Main kemana kek kamu."
Nafla mencibirkan bibirnya saat Az tidak menggubris ucapannya. Ia penasaran kenapa laki-laki dingin itu bisa jadi perawat, harusnya jadi CEO saja.
"Az, pinjam HP kamu?" Nafla mengulurkan tangannya ke arah Az yang sedang menyetir di depan. Ia bahkan menggoyang-goyangkan jemarinya sampai Az memberikan ponselnya.
Setelah berhasil mendapatkan yang ia mau, Nafla kembali menyenderkan punggungnya ke sandaran jok. Kemudian, tampak mengutak-atik ponsel Az tanpa canggung.
"Nama papa, kamu buat apa di sini?"
"Tuan Tirta."
Nafla membulatkan bibirnya, lantas meletakkan ponsel Az ke telinganya, hingga terdengar suara sapaan papa dari sana. "Halo?"
"Halo, Pa. Ini Bia."
"Ada apa Bia? Kamu baik-baik aja, kan?" Nada suara papa terdengar begitu cemas, hingga membuat Nafla merasa muak. Namun, ia harus tetap melanjutkan permainan.
"Bia butuh HP, Pa. Masa ngerepotin Mas Az terus. Kan nggak enak."
"Tapi sayang ... kata dokter kamu nggak boleh kena radiasi HP."
Kening Nafla berkerut. Memang kenapa kalau kena radiasi? Nggak baik buat kulit?
"Bia janji nggak bakalan sering-sering main HP. Cuma buat sesuatu yang penting aja. Boleh, ya, Pa." Nafla mengeluarkan lidahnya. Merasa mual dengan tingkah manjanya sendiri.
Cukup lama terdiam, akhirnya papa menyetujuinya. Meski, jelas sekali nada suaranya terdengar tidak rela.
"Makasih, Pa. Bia sayang Papa."
Tut! Nafla langsung memutuskan panggilannya tanpa menunggu jawaban papa. Kemudian, menyerahkan kembali ponselnya pada Az. Ia sudah tidak sabar bertemu Faiz dan memulai permainan ini.
***
Sesampainya di laman parkir, Nafla menyuruh Az untuk segera pergi dan memintanya datang saat menjemputnya sore nanti saja. Diamnya Az, Nafla anggap sebagai persetujuan. Jadi, ia keluar mobil dan melenggang penuh percaya diri menuju kantor.
Ekor matanya sempat menangkap mobil Faiz sudah terparkir di lamar parkir. Sepertinya yang punya mobil masih ada di dalam karena mesin mobilnya masih menyala.
Nafla sengaja berjalan ke arah mobil Faiz. Kemudian, merapikan rambutnya di kaca jendela, lantas pura-pura terkejut saat melihat Faiz keluar dari sana.
"Ini mobil Mas Faiz?" Nafla menutup mulutnya dramatis, lantas tertawa sembari menepuk lengan Faiz. "Aku jadi malu, Mas."
Faiz tersenyum lebar. Pagi ini ia tampak sumringah sekali karena ketiban durian runtuh. "Nggak apa-apa. Mas justru senang bisa liat wajah cantik kamu diam-diam."
Nafla tertawa lagi. Kemudian, dengan berani mengamit lengan Faiz. "Ngapain diam-diam, Mas? Terang-terangan aja. Bia senang, kok."
Faiz merasa hasratnya naik. Ia meneguk ludahnya, lalu mengusap punggung tangan Nafla yang mengamit lengannya, hingga membuat bulu kuduk Nafla merinding. Kemudian, mereka berjalan berdua seperti kemarin sembari berbincang.
Az masih berada di dalam mobil. Ia memperhatikan kedekatan Nafla dengan laki-laki bertopi putih itu dalam diam. Sekarang, ia mulai penasaran dengan tujuan roh itu.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan Nafla dan Faiz semakin intens saja. Makan siang dan bercanda bersama dengan diperhatikan karyawan lainnya sudah menjadi hal biasa bagi mereka.
"Hari ini Mas aja yang ngantar kamu. Kamu suruh aja sopir kamu pulang duluan."
Jam kantor sudah usai beberapa saat yang lalu. Bukannya pulang, Nafla dan Faiz justru berdiam diri di dalam mobil. Sedangkan, tidak jauh dari mereka ada Az yang sudah berdiri menunggu Nafla.
Nafla menolehkan kepalanya pada Az dari balik jendela, lalu menatap Faiz lagi.
"Ayo, dong, Bia. Mas kan ingin kenal kamu lebih jauh." Baru beberpa hari kenal saja, tangan Faiz sudah berani bermain di paha Nafla yang terbuka.
Nafla melirikkan matanya ke arah tangan Faiz, lalu tersenyum. Napas pemuda itu sudah tersengal saat Nafla membiarkan tangan itu menetap di sana.
Faiz mencondongkan tubuhnya ke arah Nafla, lalu mengecup bibirnya. Ada sesuatu di bawah sana yang sudah mendesak, hingga membuat napas Faiz terdengar memburu. "Bia ...."
Nafla sengaja membiarkannya. Tidak menolak, tidak pula membalas. Ia ingin membuat Faiz tergila-gila dulu padanya. Namun, tatapan penuh kabut di mata Faiz perlahan menghilang dan berubah menjadi tatapan khawatir.
"Bia ... hidung kamu berdarah!"
***
yuk baca yuk
Jangan lupa tinggalkan jejak, yaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
nahh kan ini fisik nya fisik bia yg lgi sakit yaa
2023-03-24
0
Age Nairie
bagus thor
2022-03-08
0
Riendu
emang CEO harus dingin yaa 🙄
2022-02-27
0