"Kenalin, aku Bia. Mas siapa?" Sebuah senyum menggoda sudah Nafla suguhkan. Harusnya menarik perhatian Faiz tidak sesulit itu.
"Aku Faiz. Mandor di sini." Faiz menerima uluran tangan Nafla. Sorot matanya terpaku pada wajah cantik di hadapannya, tidak berkedip sedetik pun. "Mau diantar sampai ke parkir?"
"Tentu, kalau nggak merepotkan."
Faiz tertawa kecil. "Mana mungkin repot. Kerjaanku lagi senggang."
Nafla tersenyum tipis, meski sebenarnya ia ingin sekali mendengkus dan menendang kaki pria di depannya itu. Kemudian, mereka berjalan bersama menuju parkir sembari membicarakan hal-hal basi. Sesekali tampak Nafla tertawa kecil sambil menutup mulutnya, seolah segala ucapan Faiz lucu sekali.
Di dekat salah satu tiang gedung, Az tengah diam-diam berdiri mengamati. Ia masih belum menemukan maksud dan tujuan roh yang ada di tubuh Bianca. Tetapi, entah kenapa ia merasa harus membiarkan roh itu menyelesaikan tujuannya sampai selesai.
"Dari mana aja kamu?" Rupanya Nafla sudah berdiri di dekat mobil, menunggu Az sambil mengetukkan ujung heels ke paving block. Harusnya ia punya ponsel, jadi tidak perlu menunggu seperti ini.
Az tidak menjawab. Ia hanya membukakan pintu penumpang untuk Nafla tanpa bicara. Namun, sepertinya Nafla mulai terbiasa dengan sikap datar pemuda itu, hingga tanpa protes lagi, Nafla beranjak memasuki mobilnya. Kemudian, duduk manis layaknya Nona muda.
Ia teringat dengan ekspresi Faiz tadi saat tahu ia datang dengan mobil. Nafla baru tahu, ternyata selain mata keranjang, nampaknya mador muda itu juga mata duitan.
Mobil bergerak maju dan keluar dari pelataran parkir dengan begitu luwes. Sepertinya Az memang sudah sangat lihai mengendarai mobil.
"Kamu udah lama bisa nyetir?" tanya Nafla. Mungkin, ada baiknya juga ia akrab dengan perawat yang merangkap jadi sopir pribadinya itu.
"Dulu aku sering mengantar Dokter dinas ke luar kota."
Nafla mengangguk. Ia cukup takjub mendengar Az mau menjawab pertanyaannya dengan cukup panjang.
Setelah itu, mereka melewati gedung-gedung tinggi kota Jakarta tanpa bicara lagi. Suasana dalam mobil terasa begitu sepi tanpa suara alunan musik, meski di luar kendaraan terlihat cukup padat. Namun, Nafla memang lebih suka begini. Ia lebih suka suasana sepi seperti ini.
"Az?" Tiba-tiba Nafla menyebut nama Azariel tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. "Boleh mampir sebentar?"
Mendengar namanya disebut, Az memandang Nafla dari kaca spion dalam sembari memperlambat laju kendaraannya. Ada hal berbeda yang berhasil Az tangkap dari sorot mata wanita itu. Sorot matanya tampak begitu sedih.
Mobil berbelok sesuai intuksi Nafla dan baru menepi tepat di seberang rumah berwarna hijau dengan deretan pot berisi tanaman yang menghiasi sebagian besar teras dan halaman. Rumah yang tampak begitu asri dan sejuk.
Az tidak berani bertanya, saat melihat Nafla tidak juga beranjak dari sana meski mobil telah lama berhenti. Ia hanya diam, membiarkan Nafla yang terus memandang lama ke arah rumah hijau itu dari balik jendela.
"Tidak keluar?" Az akhirnya bersuara setelah cukup lama berdiam diri di balik kemudi.
Nafla menggeleng kepalanya pelan, lantas mengembuskan napas berat. Tatapannya masih saja terpaku pada rumah berukuran cukup luas tersebut. Rumah yang ia tempati bersama nenek hampir 17 tahun lamanya.
Mungkin, di dunia ini hanya nenek yang menyayangi Nafla tanpa syarat. Ia ingat, saat membawa kabar akan bekerja sebagai buruh pabrik, nenek dengan sangat keras menolaknya. Wanita tua itu bahkan berkata, tidak jadi masalah jika Nafla tidak bekerja seumur hidup pun.
Saat itu Nafla merasa sangat terharu, tetapi ia terus berusaha membujuk nenek agar mau mengizinkannya bekerja. Setelah lulus kuliah, ia memang sudah bertekad untuk mandiri dan berdiri di atas kakinya sendiri.
Mata Nafla dibuat melebar saat sosok yang baru dikenangnya itu muncul. Langkah sosok wanita tua berhijab lebar itu tampak begitu lemah dengan raut wajah yang muram.
Nafla mencondongkan tubuhnya ke jendela, lantas menempelkan kedua telapak tangannya di sana. Tatapannya masih terpaku pada sosok yang sama. Ia rindu pada nenek. Ia ingin sekali bertemu dan memeluknya erat.
Nenek yang keluar rumah dengan menjinjing sebuah tas travel tampak memasuki mobil yang sudah menunggu di halaman. Tidak lama, mobil itu bergerak pelan, lalu keluar dari perkarangan.
Mobil mereka yang sempat bersisian, membuat Nafla bisa melihat nenek yang duduk di kursi penumpang sedang mengusap wajahnya dengan ujung hijab. Hatinya terasa pedih melihat itu, hingga tanpa sadar matanya ikut berembum.
"Kita ikuti?" Lagi-lagi suara Az mengintrupsi dan lagi-lagi pula Nafla menghela napasnya berat.
"Kita pulang saja," balas Nafla yakin. Ia tahu benar arah tujuan nenek dan untuk sementara ia memang tidak ingin melihat apapun tentang dirinya yang dulu.
***
Udah crazy up belum ini namanya? 👀
Mampir ke novel temanku, yukk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
dobel mata berarti mata keranjang dan mata duitan🤭
2023-03-24
0
Riendu
paket lengkap tuh si pais
2022-02-27
0
Riendu
modus... udah kecium baunya
2022-02-27
0