Mas Az

Azariel Firdaus bukan tanpa alasan merantau seorang diri ke Jakarta. Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, ia tentu menjadi harapan kedua orang tua.

Melihat kondisi perekonomian keluarga Azariel, untuk menyelesaikan Sekolah Tinggi Keperawatan bukalah perkara mudah. Sang ayah rela kerja pontang-panting demi bisa menyekolahkannya setinggi mungkin.

Selain menjadi petani, Ayah Azariel juga berprofesi sebagai guru ngaji di kampungnya. Tentu saja, pilihan menerima suap dari Nafla membuat hati nuraninya terusik. Namun, Azariel butuh uang. Ia butuh membuat bangga dan meringankan beban orang tuanya. Terlebih, masih ada empat adiknya yang masih kecil dan butuh banyak biaya.

Kalaupun Malaikat mencatat kesepakatan itu sebagai dosa, biarlah Azariel yang menanggungnya.

Saat Azariel merapikan barang-barang bawaan di kamar baru, ponselnya berdering. Ia menatap nama yang tertera di layar ponsel itu cukup lama, lantas menggeser icon hijau untuk menjawab panggilan.

"Assalamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam. Sibuk, Mas?"

Azariel memilih menyingkap tirai jendela, lalu duduk di tepi ranjang, baru kemudian menjawab, "Nggak, Pak. Lagi istrirahat. Bapak sama Ibu sehat?"

"Alhamdulillah sehat. Mas Az sehat-sehat juga, ya, di sana. Ingat pesan Bapak sama Ibu."

Azariel menenguk ludahnya, lalu mengangguk. "Iya, Pak."

"Jaga solat, biar Allah jaga kita. Jangan sampai ngerugiin orang, ya, Mas. Bapak cuma minta itu sama Mas Az."

Sekali lagi, Azariel merasa tertampar. Ia merasa malu pada keputusannya hari ini.

"Udah, sekarang Mas solat dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Titip salam buat ibu sama adik-adik, Pak."

"Insha Allah."

Azariel menatap layar ponselnya yang sudah menggelap. Sepertinya, hari ini ia terlalu gegabah. Ia bahkan belum tahu sosok hantu macam apa yang telah memasuki tubuh Bianca.

Ia berdiri dari duduknya, lantas mengembuskan napas berat. Sudah terlanjur basah. Sekarang, ia harus bertanggung jawab atas keputusannya dan memastikan hantu itu tidak melukai Nona Bianca.

Usai melaksanakan salat maghrib dan membaca kitab suci, pemuda yang akrab dipanggil Az itu berjalan keluar kamar dengan menenteng sebuah plastik putih dengan label nama sebuah rumah sakit swasta. Ia berhenti di depan sebuah pintu kamar, lantas mengetuknya. Itu adalah kamar Nafla yang memang berada tidak jauh dari kamarnya.

Nafla yang sedang dibuat takjub oleh jumlah skin care milik Bianca, terpaksa beranjak dan membuka pintu. Padahal ia sedang asik membaca urutan skin care mana yang harus ia pakai pertama kali malam ini. Sekarang, ia tidak heran lagi, kenapa Bianca bisa bening begitu.

"Kenapa?" Nafla hanya menyembulkan kepalanya saja dari balik daun pintu yang tersingkap. Ia malu karena masih memakai gaun dengan pundak yang terbuka milik Bianca.

"Waktunya minum obat."

"Obat apa?"

Tanpa menjawab, Az menyodorkan sekantung obat pada Nafla. "Minum sekarang! Aku mau lihat."

Nafla meraih kantung plastik itu dengan raut bingung, lantas mengintip isinya. "Banyak banget?! Nanti aku minum."

Nafla sudah hampir menutup pintu kamarnya kembali, tapi Az keburu menahannya masih dengan ekspresi datar. "Hati-hati dengan tubuh itu. Jangan sampai terbentur."

"Berisik!"

Brak!

Nafla membanting pintu tepat di depan wajah Az, hingga pemuda itu menghela napasnya pelan. Tetapi, tetap saja tidak ada raut jengkel di sana.

"Manja banget! Nggak boleh ini, nggak boleh itu." Nafla terus saja menyerocos sambil melempar kantung obatnya ke atas meja rias. Kemudian, ia kembali duduk dan mengamati deretan skin care itu satu persatu.

"Udah cantik masih harus perawatan juga, ya?" Nafla mengoleskan krim malam ke pipinya yang terasa begitu mulus dan kenyal. Tiba-tiba, ia teringat dengan kata-kata menyakitkan yang dilontarkan istri Faiz padanya.

"Jelek, item, jerawatan, pendek!" Nafla mencengkram kuat krim malam di tangannya. Dadanya terasa panas setiap kali mengingat kejadian itu. Ia bersumpah, akan membuat mereka menyesal karena sudah menghina dirinya.

Nafla menghentakkan kuat krim tadi kembali ke meja rias, lantas berdiri dengan mata berkilat marah. Kemudian, berjalan keluar kamar untuk mencari keberadaan papa.

Seperti dugaannya, Papa pasti ada di ruang kerja. Setelah berhasil menemukan papa, Nafla justru kebingungan sendiri. Ia tidak tahu cara memulainya. Lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan kata "papa."

"Bia?" Nafla tersentak dari lamunanya. Ia merasa tubuhnya menengang saat melihat papa beranjak dari kursi kerja, lalu berjalan mendekat dan mengusap lembut puncak kepalanya. "Ada apa, Sayang?"

Tenang, Nafla. Tenang! Sekarang kamu adalah Bianca bukan Nafla.

Pelan-pelan, Nafla mengembuskan napasnya, lalu tersenyum ceria. Ia bahkan bergelayut manja di lengan papa. "Papa ... Bia mau kerja."

Bersandiwaralah, Nafla. Sampai semua orang mendapatkan balasannya.

***

Nama sekece Azariel dibilang ribet 😩

Sini lidahnya aku kerok pake koin. Kabooooorrrr

Lanjut baca novel kece ini yukkk~

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Terpopuler

Comments

betters

betters

hey hey.....

2024-05-31

0

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

nyebut anaknya mas anang ajja suka belibet azrier nah aplgi ini azariel🤭

2023-03-24

0

Riendu

Riendu

ini ceritanya beneran hantu"an ya Jika
hiii takut...

2022-02-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!