Syarat

Sudah beberapa hari ini papa jarang terlihat di rumah. Sampai-sampai saat pemeriksaan kesehatan sang putri hari ini pun, tumben-tumbennya papa tidak menemani. Tanpa bertanya, Nafla sudah menyimpulkan, jika papa sibuk dengan pekerjaannya.

Baguslah! Jadi, ia tidak perlu terlalu sering bersandiwara.

Nafla melongokkan kepalanya ke luar jendela kamar. Mengusir rasa bosan karena harus terkurung di ruangan serba pink ini. Sebenarnya, sejak dulu ia juga bukan tipe wanita yang suka keluar rumah. Namun, di rumah nenek banyak hal yang bisa ia kerjakan. Memasak, menyiram dan menanam tanaman, bahkan bermain badminton bersama nenek di halaman.

Fiuh! Nafla mulai merindukan itu semua. Sekarang, ia bahkan memikirkan nasib tubuhnya pasca kecelakaan. Masih hidup atau mungkin ... sudah mati?

Nafla jadi teringat saat Az menyebut nama lengkapnya dengan begitu lancar di rumah sakit tadi. Mungkin itu sebabnya, sekarang ia seolah tertarik pada kenangan masa lalu. Masa lalu milik Nafla Afanin Tirta yang sangat biasa-biasa saja.

"Minum obat dulu." Az muncul seperti biasa. Mengetuk pintu dan menunggu sampai Nafla membukanya.

Sekarang Nafla tidak banyak drama. Ia langsung meraih segelas air dan butir-butir obat di tangan Az, lalu berangsur-angsur menenggakknya. Sesungguhnya, ia tidak terlalu ahli minum obat.

"Sampai kapan aku minum obat?"

"Nggak tau." Az mengambil kembali gelas dari tangan Nafla, lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar. Membuat Nafla mendecih kesal melihat tingkahnya.

***

Beruntung, Nafla hanya izin sakit sehari, sehingga hari ini ia sudah bisa kembali masuk kerja. Tampak Faiz berdiri di parkir, seperti memang sengaja menunggunya.

Benar saja, saat mobil yang dikemudikan Az baru berhenti, Faiz dengan sigap menghampiri dan membukakan pintu untuk gadis cantik itu. Kemudian, merangkul pinggan Nafla tanpa rasa canggung. Membuat Az yang telah berdiri di dekatnya mendelik tak suka.

"Gimana keadaan kamu, Bia?"

Nafla tertawa kecil, lalu mengusap lengan Faiz. "Nggak apa-apa, Mas. Aku emang mimisan kalau terlalu cape. Maaf udah bikin Mas khawatir."

"Makanya jangan cape-cape. Mas khawatir banget sama kamu." Faiz merapikan anak rambut yang menjuntai di dahi Nafla akibat tertiup angin pagi.

"Yuk! Mas antar kamu ke ruangan." Tangan kekar Faiz belum juga beranjak dari pinggang Nafla, membuat Nafla merasa risih. Namun, ia berusaha bersikap biasa saja.

Keduanya mulai berjalan meninggalkan pelataran parkir, tetapi Faiz tiba-tiba menghentikan langkah dan membalikkan tubuh menghadap Az. "Anda pulang saja. Hari ini Nona Bia, saya yang antar."

Sepertinya Faiz belum mengenal watak Az. Jangankan menurut, perawat sekaligus sopir pribadi Nafla itu bahkan tidak menyahut. Ia hanya menatap Faiz datar.

"Dia nggak bisa ngomong?" Faiz menolehkan kepalanya pada Bia, yang langsung disambut Bia dengan tawa hambar.

"Dia lagi sakit gigi, Mas."

"Oh!" Faiz yang tidak mau ambil pusing, memilih kembali merangkul pundak Nafla, lalu berjalan bersama menuju ruang kerja.

***

Faiz tidak main-main dengan ucapannya pagi tadi, tetapi Az juga cukup keras kepala untuk menurut. Ia tetap menunggu Nafla di laman parkir sama seperti hari-hari biasanya, hingga membuat Faiz yang melihatnya mendecak kesal.

Bak seorang preman, Faiz melangkah maju mendekati Az. Dadanya membusung siap cari perkara. "Saya kan sudah bilang ...."

"Sudah pulang, Nona Bia? Kita pulang sekarang." Az membuka pintu penumpang untuk Nafla. Mengabaikan keberadaan Faiz yang berdiri di hadapannya seolah makhluk asral.

Melihat tingkah Az tersebut, membuat wajah Faiz memerah, antara marah atau malu. Sedangkan, Nafla yang berdiri di belakangnya cuma menghela napasnya saja. Sudah biasa.

"Pulang duluan aja, Az. Nanti aku pulang sama Mas Faiz."

"Baiklah kalau memang begitu, tapi aku tidak akan bertanggung jawab kalau izin kerjamu dicabut," balas Az tenang.

Nafla mendecak pelan. Kalau begini, misi balas dendamnya tidak akan selesai-selesai. Ia melangkahkan kakinya maju, mendekati Az. Dekat sekali, hingga membuat Az untuk pertama kalinya memasang raut tegang.

"Beri aku waktu dua jam. Ada yang mau aku selesaikan. Percaya padaku," bisik Nafla tepat di teling Az.

Az sendiri tidak mengerti kenapa begitu banyak pemakluman yang bisa ia berikan pada Nafla. Terlalu banyak kepercayaan dan rasa mengalah untuk gadis itu.

"Hanya dua jam."

Nafla memundurkan tubuhnya, lalu tersenyum senang mendengar izin yang diberikan Az. Kemudian, menganggukkan kepala. "Dua jam," ulangnya meyakinkan.

Pada akhirnya, tempat pertemuan terbaik yang bisa Faiz dan Nafla dapatkan hanya di dalam mobil, di pelataran parkir pabrik. Faiz masih tersungut-sungut saat rencananya mengajak Nafla ke suatu tempat terkendala oleh sikap tidak bekerjasama Az.

"Aku mau bawa kamu ke tempat yang layak, Bia. Tapi sopir kamu itu kurang ajar banget."

Nafla mengusap dada Faiz agar amarah pemuda itu mereda. "Dimana aja nggak apa-apa, Mas. Asalkan ada kamu."

Ya, begitu saja dan Faiz langsung luluh. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nafla, lalu mengecup bibir wanita itu dengan penuh hasrat.

"Mas?" Nafla menahan dada Faiz pelan. Kemudian, memainkan kancing kemeja Faiz dengan jemari lentiknya. "Aku dengar gosip di kantor."

Kening Faiz mengernyit. "Gosip apa?"

Nafla tampak sengaja tidak langsung menjawab. Setelah didesak oleh Faiz, barulah ia bersuara. "Nafla."

"Oh! Cewek jelek itu."

Raut wajah Nafla mengeras. Terlebih saat Faiz tertawa keras. "Nggak usah dibahas. Dia itu cuma cewek norak yang tergila-gila sama Mas."

"Tergila-gila gimana?" tanya Nafla, mencoba menahan emosinya.

"Nggak tau diri. Udah tau bentuk begitu, masih aja nempelin Mas terus. Mas jijik banget sama dia."

Amarah Nafla mulai terlihat dari matanya. Namun, Faiz belum menyadari itu. Ia justru mengusap pipi Nafla dengan lembut. "Kalau sama Bia, beda. Mas mau kita punya hubungan lebih."

Faiz kembali mengecup bibir Nafla. Kali ini Nafla membalasnya. Ia bahkan memainkan jemari lentiknya d rambut Faiz. Menjambaknya pelan, hingga Faiz semakin terpancing.

Perlahan Faiz melepaskan pagutannya. Kini wajahnya bergerak turun, menelusuri lekuk leher Nafla dengan setiap kecupan. Tangannya juga mulai bermain dengan lincah, hingga membuat Nafla sengaja melenguh.

Tentu saja hal itu membuat Faiz semakin bersemangat dan menginginkan lebih. Namun, saat dorongan hasrat itu kian kuat, Nafla justru menahan dada Faiz.

Faiz mengangkat wajahnya kecewa, menatap wajah Nafla yang sudah memerah. "Kenapa?" Suaranya terdengar kian serak.

"Bia dengar, Mas udah punya istri."

Wajah Faiz berubah pias. Ia tampak gelagapan. "Pernikahan kami udah nggak harmonis. Mas butuh perempuan yang pengertian."

Sekali lagi Faiz mencoba mengecup bibir ranum itu, tapi Nafla menghindar. "Bia nggak mau jadi yang kedua."

Nafla memasang kembali kancing bajunya yang nyaris terbuka. Membuat Faiz menatapnya kecewa.

"Jadi Mas harus gimana?" Faiz mencoba menggenggam tangan Nafla, tapi gadis itu menolak.

"Mas tinggal pilih, mau Bia atau Istri Mas?" Nafla menarik handel pintu, lantas keluar dari sana dengan wajah puas. Kemudian, ia mengusap bibirnya dan meludah sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Az untuk pulang.

***

Mampir dan tinggalkan jejak, yaa

Terpopuler

Comments

betters

betters

bagus....bagus

2024-05-31

0

🦃⃝⃡ℱᵇᵃˢᵉ🥀Am@π&@ 😉🥀

🦃⃝⃡ℱᵇᵃˢᵉ🥀Am@π&@ 😉🥀

cakep Nafla👌👌👌lanjutkan

2022-04-03

1

Rani

Rani

weh, si jika bisaan eung🤣

2022-02-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!