Harta, Tahta, Bukan Bianca

Papa melangkah melewati koridor dengan langkah lebar. Baru saya ia mendapat kabar sang putri yang dua minggu ini koma telah sadar.

Pintu ruang rawat dibuka dan papa masuk dengan tergesa. Ia memandang Bianca sedang duduk di ranjang dengan ditemani seorang perawat wanita. Sedangkan, seorang perawat pria tampak memeriksa infus.

"Bianca sayang." Papa memeluk tubuh kurus Bianca pelan ke dalam pelukannya. Hatinya tenang melihat Bianca kembali sadar setelah lama tertidur. Ia bahkan mencium puncak kepala Bianca bertubi-tubi.

Bianca ... atau Nafla?

Nafla mendorong tubuh papa, hingga pelukan laki-laki bertubuh tinggi besar itu terlepas. Tatapannya tampak terlihat sinis.

"Maaf sayang. Kamu kesakitan?"

Nafla tidak menjawab. Ia hanya memandang tangan papa yang kini menggenggam pelan tangannya. Dadanya terasa panas dan tanpa basa-basi menyentak genggaman itu.

Azariel yang telah selesai memasang infus memperhatikan kejadian itu diam-diam. Sedangkan, perawat wanita yang berdiri tidak jauh dari sana tampak mendekati papa dengan sopan.

"Permisi, Tuan Tirta."

Papa menoleh, menatap sang suster yang siap memberi informasi.

"Ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan mengenai keadaan Bianca. Bisa ikut saya sebentar?"

Papa kembali menatap Nafla, lalu mengusap pipinya yang halus. Ia tidak tahu, jika Nafla merasa muak dengan itu.

"Sebentar, ya, Sayang."

Papa beranjak pergi mengikuti perawat yang sebelumnya mengintruksikan Azariel untuk tetap memantau keadaan Nafla.

Pergilah! Pergi yang jauh. Seperti kau yang membuatku pergi.

Nafla masih menatap kepergian papa dengan sinis. Buku-buku jarinya kembali memutih karena tanpa sadar ia mencengkram kembali sprai putih rumah sakit.

Ia tidak sadar, jika ada seseorang yang masih berada di sana. Sesorang itu dari tadi selalu menatapnya penuh selidik.

"Kamu .... " Nafla menolehkan kepalanya saat mendengar Azariel bersuara. Perawat pria itu berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di depan dada dan kepala miring seperti sedang berpikir. "Siapa?"

Deg! Pupil mata Nafla sedikit membesar. Ia menatap Azariel tanpa berkedip dan pelan-pelan meneguk ludah.

Apa sekarang wajahnya sudah berubah lagi?

Hati-hati Nafla menundukkan kepala untuk sekadar memperhatikan bentuk tubuhnya yang lain. Jemarinya masih lentik. Kakinya masih mulus dan jenjang. Ia berarti ia masih berada di tubuh Bianca.

Nafla kembali mengangkat wajahnya penuh percaya diri. Membalas tatapan Azariel yang masih menatapnya curiga.

"Kamu ngomong apa? Tentu saja aku Binca. Bianca Zahra Tirta," tukas Nafla tidak terima. Namun, Azariel masih terus saja menatapnya. Kemudian, menggelengkan kepala setelah menurunkan tangannya dari dada.

"Bukan. Kamu bukan Nona Bianca."

Hampir saja jantung Nafla copot mendengarnya. Ia mulai terserang panik, tetapi sebisa mungkin tetap bersikap biasa saja. Akhirnya, ia hanya tertawa hambar, lalu berbaring dan menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Bagaimana ini? Bagaimana ini?"

Bianca adalah pasien pertama Azariel semenjak menjadi perawat magang di rumah sakit ini dua bulan yang lalu. Jadi, ia cukup merasa aneh dengan sikap Bianca yang sekarang.

"Kamu hantu, kan?"

Nafla menepis cepat selimutnya, hingga terjatuh ke lantai. Kemudian, duduk lagi dan menatap Azariel tidak terima.

"Nah! Nona Bianca tidak punya tatapan sinis itu." Azariel berujar sambil menjuk wajah Nafla. "Dia lembut. Dia penyayang. Dia ...."

Dug! Nafla melempar kuat bantal ke arah Azariel agar perawat magang itu berhenti memuji Bianca. Nafla benci mendengar semua itu. Ia berdiri, lalu menatap Azariel tajam.

Rupanya tinggi badan mereka nyaris sama. Sebuah keuntungan bagi Nafla untuk mengintimidasi pemuda itu.

"Azariel .... " Nafla semakin mendekatkan tubuhnya pada Azariel. Jemarinya yang lentik tampak bergeriliya di kerah baju pemuda bermata sipit itu. "Aku tau kamu suka padaku, kan?"

Nafla percaya diri sekali mengucapkan itu. Lagi pula laki-laki mana yang tidak tertarik pada adiknya itu. Dia cantik, sexy, dan memiliki bibir yang sensual. Namun, kepercayaan dirinya itu luntur saat Azariel memundurkan langkah sambil istrighfar. Kemudian, tampak menggumamkan ayat kursi.

"Aku bukan hantu!" teriak Nafla kesal. Ia mengembuskan napasnya kasar, saat Azariel belum juga berhenti membaca ayat kursi.

Nafla terus memutar otak. Ia tidak boleh terlalu cepat ketahuan. Ia belum puas memakai tubuh Bianca. Ia belum puas memberi pelajaran pada papa dan menyakiti hatinya. Ia belum puas bermain dengan dunia yang berbeda.

Bukankah, cobaan pria itu ada tiga? Harta, tahta, dan wanita. Jika, wanita tidak bisa, maka ...

"Aku akan memberimu uang, tapi tutup mulutmu!"

***

Cek cek cek

Silakan mampir~

Terpopuler

Comments

betters

betters

yups nagih bgt

2024-05-31

0

🦃⃝⃡ℱᵇᵃˢᵉ🥀Am@π&@ 😉🥀

🦃⃝⃡ℱᵇᵃˢᵉ🥀Am@π&@ 😉🥀

suka cerita'y selalu bikin nagih😆😆

2022-04-03

1

Syalalala~

Syalalala~

mau di ruqiyah kalik ya🤣

2022-03-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!