Rifky duduk di samping pak Hasan yang sedang menonton TV. Sepertinya kakinya sudah tidak terlalu sakit seperti tadi pagi.
" Bagaimana paman, apa sudah mendingan kakinya? Jangan terlalu banyak gerak dulu." kata Rifky.
" Paman sudah tidak apa - apa, sudah bisa dipakai jalan." sahut pak Hasan.
" Tapi paman masih perlu banyak istirahat, besok tidak usah mengajar dulu. Soalnya Rifky mau minta ijin untuk mengajak Medina pergi ke panti asuhan."
" Acara amal pak Jamal ya?"
" Iya, paman. Rifky hanya ingin Medina dan yang lainnya melakukan hal yang positif dan bermanfaat untuk orang lain."
" Terimakasih, Nak Rifky. Paman berharap kamu bisa mengubah sifat keras putriku."
" Insya Allah, paman."
Tak lama, teman - teman Medina berpamitan untuk pulang karena hari sudah menjelang maghrib. Mereka juga sudah membersihkan teras yang kotor.
" Kakak nggak pulang?" kata Medina yang ikut duduk di samping ayahnya.
" Memangnya kenapa? Aku senang tinggal disini, paman aja tidak keberatan." sahut Rifky nyengir.
" Ini sudah mau maghrib, pulang sana!" usir Medina.
" Jadi perempuan itu yang lemah lembut jangan suka teriak - teriak seperti tukang parkir."
" Pulang nggak?! Atau Dina seret aja sampai rumah pak Jamal?"
Pak Hasan hanya bisa mengelus dada dengan sikap anaknya yang tidak bisa menjaga sopan santunnya.
" Dina, sudah biarkan saja. Sebentar lagi maghrib, tidak baik bertengkar." ujar pak Hasan.
" Jadi ayah lebih membela dia di banding Dina?" ketus Medina.
" Cukup! Jangan bicara kasar dengan paman." tegur Rifky.
Rifky bisa terima jika Medina bersikap kasar padanya. Namun jika dengan ayahnya sendiri, Rifky tidak mau itu terjadi.
" Aku tidak butuh nasehatmu!" seru Medina lalu pergi masuk ke kamarnya.
" Paman yang sabar ya? Rifky janji akan membuat Medina berubah." ucap Rifky.
" Iya, Rif. Ini semua salah paman di masa lalu yang membuat Medina seperti itu. Paman merasa telah gagal mendidik Dina."
" Paman jangan bicara begitu, pasti Dina punya alasan mengapa dia berbuat seperti itu."
" Iya, semua itu karena paman."
Pak Hasan menceritakan awal mula Medina berubah sikap terhadap dirinya dan membuat ulah diluar. Gadis itu menjadi brutal dan sulit dikendalikan.
" Paman tenang saja, Rifky pasti akan membuatnya kembali seperti dulu. Gadis kebanggaan paman."
" Paman berharap dia segera berubah ke sifat aslinya yang lembut dan penurut."
" Ya udah paman, Rifky bujuk Dina dulu biar nggak marah. Tidak baik jam segini ngambek, nanti hilang berkahnya." ucap Rifky.
" Nak, jangan terlalu keras dalam membimbing dia. Paman tahu hati Medina itu mudah rapuh."
" Iya, paman."
Rifky mengetuk pintu berkali - kali namun tak ada sahutan dari dalam. Rifky membuka pintu itu perlahan karena tidak dikunci. Saat masuk dilihatnya Medina sedang berdiri di jendela dengan tatapan kosong.
" Hei... kakak minta maaf. Jangan marah ya, gadis kecil kakak yang cantik?" rayu Rifky.
" Pulang sana! Ngapain masih disini?" ketus Medina.
" Iya, kakak akan pulang setelah gadis kesayangan kakak tidak marah lagi."
" Dina pengen sendiri, pergilah!"
" Senyum dulu baru kakak pergi."
" Tidak! Pergi sana!" Medina mendorong tubuh Rifky agar menjauh darinya.
Rifky tidak melihat kemarahan di mata Medina, melainkan sebuah kekecewaan yang sudah ia pendam terlalu dalam. Rifky langsung menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya seperti dulu jika gadis itu menangis, Rifky pasti memeluk atau menggendongnya baru akan diam.
" Menangislah jika itu bisa mengurangi beban perasaanmu. Kakak akan selalu ada untukmu, tidak akan meninggalkanmu lagi." lirih Rifky.
Tanpa sadar Medina membalas pelukan Rifky dan menangis meluapkan segala kekesalan dihatinya. Dia merasa sangat nyaman dan hangat berada dalam dekapan pria yang selama ini ia rindukan. Dulu Medina berpikir jika Rifky adalah seorang kakak yang selalu melindungi adiknya. Namun setelah dua belas tahun berpisah, nyatanya perasaan itu berubah. Medina tidak tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini.
" Sudah ya nangisnya, sudah adzan Magrib. Kakak mau ke Mushola dulu, setelah itu kita beli makanan untuk makan malam biar tidak usah repot - repot masak walaupun kakak penasaran dengan masakan kamu."
" Ma... Maaf, Dina_..."
" Tidak apa - apa, kakak cuma minta jangan bersikap kasar lagi pada paman. Beliau satu - satunya keluarga yang kamu miliki saat ini. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari."
¤ ¤ ¤
Pagi hari, Medina membersihkan rumah dan membuat sarapan untuk ayahnya setelah tadi pagi dari pasar untuk berbelanja. Ayahnya hanya duduk di kursi teras karena kakinya masih sakit dan tidak bisa membantu pekerjaan Medina.
" Yah, nanti Medina diajak pergi kak Rifky tapi tidak tahu mau kemana. Boleh kan, yah?" tanya Medina.
" Iya, pergilah. Kemarin Rifky juga sudah minta ijin sama ayah." jawab pak Hasan.
" Ayah mau sarapan sekarang? Tadi Dina masak nasi goreng. Nanti Dina masak untuk ayah makan siang."
" Tidak usah masak, nanti ayah beli di warungnya Adam saja. Disana juga banyak lauk kok, nanti kamu capek."
" Ya udah, kalau begitu kita sarapan sekarang."
Medina memapah ayahnya masuk ke dalam rumah untuk sarapan. Tanpa mereka sadari, Rifky sudah mengekor di belakangnya.
" Assalamu'alaikum, paman." sapa Rifky.
" Wa'alaikumsalam," jawab pak Hasan.
" Mau sarapan ya? Rifky boleh ikutan ya? Sepertinya porsinya cukup untuk kita bertiga." ucap Rifky dengan tidak tahu malunya.
" Tentu saja boleh, Din ambilkan piring satu lagi." kata pak Hasan.
" Huft... nyusahin!" gumam Medina kesal lalu ke dapur mengambil piring.
" Paman, Rifky mau ambil air putih dulu ya di dapur. Soalnya tidak terlalu suka panas." ucap Rifky sambil tersenyum.
" Iya, ambil saja sendiri. Anggap saja rumah sendiri seperti waktu kecil dulu."
" Terimakasih, paman."
Rifky masuk ke dapur mengambil gelas di samping Medina. Dengan tersenyum ia merangkul bahu gadis itu.
" Kakaakkk...!" kesal Medina.
" Calis kenapa sih pagi - pagi begini udah cemberut? Belum dapet morning kiss ya?" goda Rifky.
" Apaan sih!"
Rifky mengambil piring di tangan Medina lalu meletakkannya kembali ke rak piring. Setelah itu dia meraih tubuh gadis itu ke dalam dekapannya.
" Kak Rifky, lepas...!"
" Ssttt... sebentar saja, kakak sangat merindukanmu. Semoga hatimu belum memilih orang lain." lirih Rifky.
Jujur, Medina juga sangat merindukan sosok Rifky kecil yang dulu selalu menyayanginya, menjaganya dan mengajaknya bermain. Medina tidak menyangka jika orang yang selama ini ia nantikan ternyata sekarang telah tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat tampan.
" Sudah, ayah udah lapar." Medina mendorong tubuh Rifky hingga mundur beberapa langkah.
" Ma... maaf, kakak tidak bermaksud_..."
" Sudah, tidak usah di bahas lagi!"
Medina mengambil piring dan sendok lalu berjalan lebih dulu ke ruang makan yang hanya disekat dengan lemari dari dapur. Rifky tersenyum melihat wajah gadis kecilnya yang merona karena malu.
Setelah sarapan bersama, Rifky pamit pulang untuk menyiapkan semua barang yang akan dibawa ke panti asuhan. Karena barangnya sangat banyak, Rifky akan membawa dua mobil untuk mengangkut barang dan satu mobil untuk mereka berenam.
.
.
TBC
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
lestari saja💕
duhhhh jadi ikutan baper nih..
.
2022-12-04
0
Humanoid
Aduh Rifky.. main peluk-peluk aja..
2022-11-13
0