Medina mengetuk pintu ruang kepala sekolah lalu masuk ke dalam.
" Assalamu'alaikum," ucap Medina diikuti teman yang lain.
" Wa'alaikumsalam."
Di ruangan itu ada kepala sekolah, guru BK dan dua orang pria dan wanita. Mereka menatap tajam kearah Medina dan empat temannya.
" Kalian tahu kenapa dipanggil kesini?" ucap kepala sekolah datar.
" Tidak, pak. Apa mau di kasih sarapan?" jawab Bayu asal.
Ririn yang mendengar ucapan Bayu merasa geram karena tidak bisa membedakan situasi dan kondisi.
" Ssttt...! Diem bisa nggak!" bisik Ririn.
Johan dan Adam langsung menjitak kepala Bayu secara bersamaan membuat pria itu meringis kesakitan.
" Auwww...!!! Kalian mau membuatku amnesia!" pekik Bayu.
" DIAAMMM...!!!" hardik kepala sekolah.
" Medina...! Kau tahu apa kesalahan kalian?" tanya kepala sekolah.
" Iya, pak. Saya tahu kenapa kami semua dipanggil kesini." ucap Medina.
Pria dan wanita paruh baya itu menatap tajam ke arah Medina. Sepertinya mereka sangat marah dengan aksi Medina dan teman - temannya.
" Kau harus bertanggung jawab, perempuan tapi kelakuan seperti preman!" teriak wanita paruh baya itu.
" Tante dengarkan penjelasan saya dulu." ucap Medina tenang.
" Tidak ada yang perlu dijelaskan! Kau dan teman - temanmu itu harus diberi hukuman."
" Sabar, Ma. Biar pihak sekolah yang bertindak." ujar suami dari wanita itu.
" Tidak bisa, Pa. Mereka semua harus mendapatkan hukuman atau lapor ke polisi!"
" Tante tidak bisa bicara seperti itu, kami punya alasan melakukan itu kepada anak tante."
" Medina! Diamlah, jaga sopan santunmu!" tegas kepala sekolah.
" Bapak juga harus mendengarkan penjelasan kami!" ucap Medina tersulut emosi.
Adam tidak mau Medina hilang kendali sehingga ia langsung menggenggam erat tangan gadis itu agar diam.
" Mey, tahan emosimu!" bisik Adam dengan suara tertahan.
" Astaghfirullah..." lirih Medina.
" Mulai hari ini kalian berlima saya skors selama satu minggu, dan hari ini juga suruh orangtua kalian datang ke sekolah!" kata kepala sekolah dengan tegas.
" Pak, Anda tidak bisa_..." ucap Ririn terhenti oleh tangan Johan yang mencengkeram pundaknya.
" Baik, pak. Kami akan pulang untuk membawa orangtua kami kesini." ucap Johan.
" Ya sudah, kalian pulang sekarang dan bawa orangtua kalian kesini!" perintah kepala sekolah.
" Baik, pak."
Kelima siswa itu keluar dari ruangan kepala dengan wajah kesal dan juga kecewa dengan sikap kepala sekolah yang sepertinya mengambil keputusan tanpa mencari tahu kebenarannya.
¤ ¤ ¤
Adam berhenti tepat di depan rumah Medina. Medina langsung turun dari motor Adam lalu berjalan ke halaman rumahnya. Dia heran karena motor ayahnya masih ada di depan rumah dan pintu juga terbuka lebar.
" Apa ayah nggak ngajar hari ini? Perasaan sekolah nggak libur?" gumam Medina.
" Assalamu'alaikum," ucap Medina sembari masuk ke dalam.
" Wa'alaikumsalam." sahut seseorang dari dalam kamar ayahnya.
" Hah... suara siapa itu? Tidak seperti suara ayah. Apa jangan - jangan maling?" gumam Medina.
Dengan mengendap - endap Medina hendak mengintip ke kamar ayahnya. Namun baru sampai di depan pintu, ia terlonjak kaget dengan kemunculan seorang pemuda dari kamar ayahnya.
" Hehh... siapa kau? Maling ya!" teriak Medina.
" Diam! Berisik sekali!" sahut pria itu datar.
" Tapi_..."
Pemuda itu membungkan mulut Medina dengan tangan kekarnya. Dia langsung menyeret Medina ke ruang tamu dan mendudukkan gadis itu di sofa.
" Kau siapa? Mau merampok di rumahku!" tuduh Medina.
" Hah... merampok? Apanya yang mau di rampok? Rumahmu ini tidak ada barang berharganya." cibir pemuda itu.
" Kalau begitu untuk apa kau di rumahku?"
" Tadi pak Hasan jatuh dari motor saat berangkat kerja. Sebetulan saya lewat, jadi saya antar pulang karena kakinya memar."
" Ayah jatuh? Saya harus melihatnya sekarang."
" Eits...! Jangan di ganggu, beliau sedang istirahat."
Pemuda itu menarik lengan Medina sehingga gadis itu kembali terduduk di sofa. Tanpa sengaja, pemuda itu melihat sebuah kertas di tangan Medina. Dengan cepat pemuda itu langsung merebut kertas itu lalu membukanya.
" Hahh... kau di skors satu minggu dari sekolah?"
" Bukan urusanmu!"
" Lalu apa yang akan kau lakukan? Menyuruh pak Hasan datang ke sekolah?"
Medina hanya diam saja. Ayahnya sedang sakit, tidak mungkin dia tega memberitahu ayahnya soal ini.
" Ikut saya keluar!" pemuda itu menyeret Medina keluar dari rumah.
" Lepasin! Siapa kau berani mengaturku!" pekik Medina.
Saat mereka berdebat, pak Hasan berdiri diambang pintu memperhatikan mereka.
" Dina, kenapa kamu sudah pulang?" tanya pak Hasan sambil bersandar di pintu.
" Paman, kenapa keluar kamar? Istirahatlah, Rifky antar ke kamar ya?"
" Paman duduk disini saja, gerah di dalam."
" Yah, dia siapa? Sok akrab banget." ketus Medina.
" Hehh... yang sopan bicara dengan orangtua!" omel Rifky.
" Duduklah dulu, Din. Ini Rifky keponakan pak Jamal, dia sedang berkunjung." kata pak Hasan.
" Medina belum pernah melihatnya?"
" Apa kau lupa dulu waktu masih TK selalu minta dianter sekolah sampai nangis. Mana udah gembul, minta gendong lagi." ledek Rifky.
" Itu sudah dua belas tahun yang lalu, mana saya ingat!" ketus Medina.
" Yakin tidak ingat padaku?"
Medina menatap sekilas pemuda yang ada di hadapannya itu. Memang benar, dia adalah anak laki - laki yang selalu ia ikuti kemanapun dia pergi. Umur mereka terpaut enam tahun karena seingat Medina, anak laki - laki itu sering berkunjung ke rumah pak Jamal sebulan sekali. Namun saat Medina masuk sekolah dasar, anak laki - laki itu tak pernah datang lagi semenjak masuk SMP.
" Kenapa melamun?" tanya Rifky.
" Jadi Om ini namanya Rifky? Dina tidak pernah tahu nama Om."
" Kok panggil 'Om'? Saya tidak setua itu!"
" Terus panggil apa?"
" Seperti waktu kecil dulu, gimana?"
" Apa? Dina lupa."
" Tanya sama paman, pasti masih ingat."
Pak Hasan hanya tersenyum saat sang anak menatapnya seakan meminta sebuah jawaban.
" Dulu kau memanggil Rifky dengan ' Kakak tampan '." ujar ayah membuat Medina langsung kaget.
Terlihat jelas rona merah di wajah Medina karena malu. Ingin rasanya ia menenggelamkan diri di dasar sumur saat ini juga.
" Ayah pasti bohong! Mana mungkin Medina panggil dia begitu, tampangnya aja pas - pasan." ketus Medina.
" Jangan pura - pura amnesia, akui saja kalau saya memang tampan." goda Rifky.
" Apaan sih, nggak jelas banget." cibir Medina.
" Sudah, jangan bertengkar. Dina, kenapa jam segini kamu sudah pulang?" tanya pak Hasan.
" Itu, Yah... Dina_..."
" Paman baca ini." Rifky menyerahkan kertas yang dia rebut dari Medina.
Pak Hasan membaca surat panggilan dari sekolah Medina. Tatapannya terlihat sendu dan berkali - kali mengelus dadanya. Sudah puluhan kali ia datang ke sekolah karena ulah putrinya itu.
" Kali ini apalagi yang kau lakukan, Nak?" ucap pak Hasan lirih.
" Yah, Dina dan teman - teman hanya ingin membela harga diri seorang gadis. Apa salahnya Dina menolong seorang gadis yang hampir dilecehkan di jalanan."
" Jadi lengan kamu luka karena tawuran lagi?"
" Maaf, Yah."
" Baiklah, antar ayah ke sekolah kamu."
" Paman, biar Rifky yang urus masalah Medina. Paman istirahat saja di rumah."
" Kak Rifky mau ke sekolah Dina?"
" Memangnya kenapa? Saya akan memberikan hukuman padamu karena sudah membuat paman bersedih." tegas Rifky.
" Tapi Dina sudah diskors selama satu minggu, kenapa ada hukumannya lagi?"
" Diam! Mulai sekarang kau di bawah pengawasanku!"
.
.
TBC
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Cieee Calon Jodoh nih..😂
2024-10-26
0
lestari saja💕
cieeee....kakak tampan....
2022-12-04
0
IK
tuh kepsek bukannya demgerin dulu alasan dina cs udh skorsing az
2022-11-07
0