Waktu terus berjalan tapi Fio tak kunjung datang. Kris tampak bosan menunggu melihat jam yang telah menunjukkan pukul tiga sore, melihat itu makin kesal dia.
Sebenarnya, sudah sejam dari bel pulang berbunyi. Itu artinya juga sudah jauh dari kesepakatan mereka tadi—kalau Fio harus menemuinya setelah pulang sekolah.
Namun, lihatlah sekarang, alih-alih menepati janji, cewek yang mengaku Dilraba Dilmurat dan cinta mati padanya itu justru tak terlihat batang hidungnya.
"Ke mana dia?" gumam Kris. Dia bersandar kesal ke kursi, lalu menatap sekitar. Di pindainya ruang besar di sana dan tak mendapati siapa pun juga karena semua teman seprofesi sudah pulang. Kekesalannya jadi melambung dan dia rogoh ponsel hendak menghubungi Fiona.
"Dad?"
Kris terpaksa mengurungkan niat setelah mendengar panggilan yang terdengar familier di telinganya.
Di sana, dia ambang pintu ternyata ada Theo. Cowok itu mendekat dan mengernyitkan dahi. Tampilannya penuh keringat tapi tetap terlihat segar.
"Baru selesai main basket?" tanya Kris dan Theo mengiakan dengan gerakan kepala.
"Iya, baru selesai," balas Theo. Dia pindai lagi sang ayah tiri yang tampak gelisah menggenggam ponsel, lantas bertanya, "Daddy lagi nunggu telfon? Siapa? Apa Tante Alin?"
Cepat-cepat Kris menggeleng, lantas memasukkan ponsel ke saku celana.
"Enggak. Gak lagi nunggu siapa-siapa," balasnya yang berusaha terlihat tenang.
"Oiya rencananya gimana? Aku gak suka lihat cara cewek sedeng itu ngeliatin Daddy. Kita harus ...."
"Theo, itu urusan Daddy," sela Kris bernada pelan tapi penuh penegasan.
Theo tampak tak sejalan. Dia memelas tapi dibalas Kris dengan kedipan mata dan anggukan kepala. "Kali ini percaya Daddy, Kalian gak lama lagi mid semester. Jadi fokus dulu."
"Tapi, Dad. Dia nyebelin. Aku gak suka liat dia kegatelan kalau liat Daddy."
"Theo."
"Oke oke oke. Aku diam." Theo menyerah, dia berdengkus lalu menatap lekat sang ayah yang masih duduk.
"Lalu, kenapa gak pulang?" lanjut Theo lagi. Tadinya dia sudah hendak pulang, tapi urung setelah melihat kendaraan Kris yang masih terparkir di parkiran.
"Kamu pulang aja duluan. Nanti Daddy nyusul. Daddy lagi ngoreksi ulangan kalian yang tadi sama tugas rumah kalian kemaren."
Karena pembawaan Kris yang tepat dan tenang Theo pun tak curiga. Kris memang seperti itu, selalu menyelesaikan pekerjaan. Tidak ada istilah nanti jika bisa dikerjakan sekarang.
Tak berselang lama setelah Theo pergi datanglah Fiona. Cewek berkepang dua itu mengetuk pintu dan celingukan. Dari sana dia sudah bisa melihat wajah masam kecut sang lelaki pujaan.
"Maaf, Pak. Telat," ujarnya sembari cengengesan. Dia mendekat dan berada di depan meja Kris. Tanpa dipersilakan dia langsung duduk.
"Saya pikir kamu sudah pulang," sindir Kris sembari menegakkan tubuh dan melihat serius ke Fiona yang masih cengengesan tak nyaman.
"Maaf, Pak. Tadi aku remedi dulu. Remedi bahasa Indonesia."
Kris melongo. "Bahasa Indonesia kamu remedi?"
"Iya. Cuma dapat enam lima kemaren," balasnya malu-malu.
"Terus udah yakin gak remedi lagi?" lanjut Kris. Fiona yang ada di depannya hanya menggidikkan bahu.
"Gak tau, Pak. Tapi semoga aja lebih dari tujuh puluh. Biar gak remedi lagi. Capek Pak udah tiga kali remedi."
Kris kembali dibuat tak percaya. Pelajaran Bahasa Indonesia saja bisa remedial bahkan sampai tiga kali. Tak habis pikir dia seberapa kecil kapasitas otak Fiona itu.
Alhasil Kris hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebelumnya dia memang melihat daftar nilai akademis Fiona, dan itu memprihatinkan. Maka dari itu dia tidak ingin memberi tekanan batin pada anak malang yang tidak terlalu mahir dalam belajar dengan cara menolaknya.
Takutnya anak itu frustrasi, lantas makin tidak semangat belajar. Dia akan tolak perasaan Fiona baik-baik setelah empat kali kencan nanti agar tidak memberi efek buruk ke kedepannya. Dia tak ingin Fiona gagal dalam ujian. Kasian kalau masih muda sudah frustrasi.
"Oiya, Bapak panggil saya kenapa? Apa karena rindu?" cecar Fiona. Kris tersentak lalu menyipit jengkel. Gerah hati dia melihat tingkah Fiona ini, terlalu genit. Anak muridnya itu bahkan tak sungkan menopang dagu di atas meja kerja Kris.
"Fio, ini kenapa tugas rumah yang saya kasih satu pun gak ada yang kamu isi?" tanya Kris dengan nada menggeram. Tangannya menunjuk ke buku tugas Fiona.
Alih-alih malu, Fiona malah kembali tersenyum semringah.
"Maaf, Pak. Aku gak mampu ngisinya. Sebab, isi hati, isi kepala bahkan isi dengkul aku sudah penuh dengan nama Bapak. Jadi aku gak bisa maksain diri, Pak. Takutnya nanti kejang. Bahaya Pak, sedangkan kertas undangan sudah siap menunggu diisi nama kita."
Kris mengentak napas. Dadanya berat. Berhadapan dengan Fiona menguji imannya sebagai guru maupun individu.
"Jangan terlalu halu, Fiona."
"Tapi aku lagi gak halu, Pak. Aku itu sedang mengejar mimpi. Ngejar cintanya Bapak."
Kris kembali mengentak napas kasar.
"Lalu ini apa lagi? Kamu ini niat sekolah apa enggak sebenarnya?" balas Kris lantas berdengkus tidak peduli. Dia raih kertas ulangan Fiona dan menggetoknya dengan empat buku jari. Terlihat geram lelaki itu.
"Ini maksudnya apa?" tanya Kris lagi. Bergemeletuk giginya kala bertanya, sebab bukannya menulis jawaban Fiona justru menuliskan isi hati. Dua lembar kertas penuh dengan kata-kata puitis padahal tadi mereka itu ulangan matematika yang penuh rumus dan bukannya sastra mengarang bebas.
"Ya, itu surat cinta, Pak. Masa Bapak gak ngerti? Apa aku harus translate ke bahasa cinta sekaligus prateknya?" Lagi, Fiona mengedip. Berdesir darah Kris naik drastis ke ubun-ubun.
"Saya juga tau. Tapi ini gak pantes. Apa kamu gak mikir, nanti gimana kalau ketahuan yang lain? Gak malu kamu?"
"Ya, gak apa-apa. Palingan kita dinikahkan,_ sahutnya tenang yang membuat Kris merasa ada yang memaku kepala. Refleks Kris memijit kepalanya itu.
"Loh, Bapak kenapa?"
Fiona yang panik berdiri hendak mendekat, tapi Kris sudah keburu melotot padanya.
"Duduk kamu!"
Fiona kembali duduk. Dia apit bibirnya dengan keras karena menahan tawa. Wajah Kris ketika marah malah tambah ganteng dan itu membuatnya gemas sekali ingin mencium lagi. Eh!
"Bapak sehat? Jangan sakit dong, Pak. Gimana dengan kencan pertama kita besok?"
"Fiona jangan main-main." Kris melotot.
"Saya nggak main-main, Pak. Saya itu selalu serius bahkan seribu rius jika udah nyangkut Bapak." Fiona kembali mengedip genit. Seperti tak merasa bersalah sama sekali.
"Maksud saya pelajaran, Fiona."
Fiona langsung menutup mulutnya. Dia nyengir.
Kembali Kris menegakkan tubuh dan menatap penuh keseriusan remaja yang tak pernah serius itu. "Fiona kalau kamu seperti ini lagi saya kurangi jadwal kencan kita dari 4 jadi 3."
Telak, statement itu membuat mata Fiona terbelalak dan spontan langsung duduk tegak.
"Ya, nggak bisa gitu, dong, Pak. Kesepakatannya kan 4 kali kencan. Masa ditawar lagi. Ini hati manusia loh, Pak. Bukan hati ayam."
"Makanya serius! Gara-gara kamu saya harus membuang satu jam sia-sia nungguin kamu. Paham gak kamu?" balas Kris. Menggeram dia tapi tak berteriak.
"Aduh, Pak Kris. Sejam aja pake mengomel. Jangan ngomel, dong. Nanti kalau kita udah sah, aku bakalan habiskan sisa umur aku buat Bapak. Gimana Pak. So sweet kan aku?"
Kris kehabisan kata. Dadanya bergemuruh hebat menahan jengkel. Berhadapan dengan remaja bebal nan labil membuatnya kalang-kabut menahan ledakan emosi.
"Lagian Bapak enggak adil banget, deh. Nunggu aku satu jam udah kaya kebakaran jenggot tapi nunggu seseorang yang udah ninggal dan gak bakalan datang lagi rela banget. Bapak biasa aja gitu, nggak adil Pak. Nggak fair itu. Pilih kasih."
Mata kris membuka makin lebar. Kesal dia karena mendengar penuturan Fiona yang seolah mengatakan dia itu telah berpoligami dan tidak bisa berlaku adil.
"Ya beda dong, Fiona. Kamu dan dia itu berbeda. Dia istri saya dan kamu hanya murid."
"Dih Bapak gitu banget. Padahal kan bedanya cuma tipis. Cuma di Bapak doang. Coba kalau Bapak mau, kan saya hari ini sudah bisa jadi istri daripada murid. Tinggal di bimbing doang udah klop kita." Kembali dia ngedip-ngedip.
"Jangan main-main, Fiona. Atau kita bakal batalin aja kesepakatan kemarin."
"Lah, ya jangan Pak," timpal Fiona. Muka genitnya berubah panik. "Jadwal kencan pertama itu besok, nggak adil itu kalau batal. Curang namanya."
"Makanya serius." Kris mengambil soal tadi lantas meletakkannya ke meja. "Ulangi kerjaan kamu."
Mata bahkan mulut Fiona terbuka lebar.
"Dengar, kalau hasilnya dibawah 70 maka kesepakatan kita batal. Saya nggak mau terlibat dengan anak yang bengal dan nggak mau diatur."
"Lah ih Bapak."
Fina tak ada pilihan lain selain menurut. Dia raih bukunya hendak mengerjakan soal ulangan yang justru dia coret-coret. Tapi sebelum itu dia memberi pesan pada Filio untuk tidak menunggu.
Sementara itu di gerbang, Filio yang tengah bersandar bersama teman-temannya tersenyum miring kala membaca pesan Fiona yang mengatakan lagi belajar di perpus.
"Dasar bodoh, dia pikir gue goblook apa. Dia itu pasti ngintilin tu guru. Dasar Fiona. Diganyang Tante Daisy baru nyahok," oceh Filio.
Namun kendatipun demikian dia tetap menunggu di gerbang. Menunggu sang adik keluar sambil mengobrol dengan beberapa teman.
Filio pribadi memang tidak ingin ikut campur persoalan perasaan Fiona ke Kris. Fiona berhak jatuh cinta sama siapa saja dan berhak berjuang. Namun, sebagai abang dia juga tidak bisa melepas begitu saja. Maka dari itu dia pilih mengawasi dari kejauhan seperti yang tantenya bilang.
Namun, tanpa di duga dari kejauhan muncullah sosok yang dikenal Filio. Dia tinggalkan teman-temannya yang asyik bermain gitar.
"Loh, Tan. Kok ke sini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Anie Jung
Takut nya pak Guru jatuh cinta ke Tante Daisy, klo iya kasihan Fio 🤣🤣🤣🤣
2022-04-15
0
wen cavan
nah lho...Tante Daisy nyatronin ke sekolahan...apakah sang gulu akan berpaling ke sang tante?kita nantikan kelanjutan cerita dati sabg Otor
2022-04-15
0