Tanpa sepengetahuan Theo, Kris pergi bersama Fiona. Mereka berboncengan. Bukan main berbunga hati Fiona ketika bisa memeluk Kris dari belakang dan menghirup aroma parfum sang lelaki pujaan.
Di belakang Kris dia terus tersenyum dan tak peduli jika di anggap pengendara lain gila. Karena memang sejatinya dia juga sadar kalau telah gila. Gila karena cinta.
Kris yang berada di depan sesekali melirik Fiona, kala melihat betapa bahagianya wajah remaja itu terbersit sesuatu yang membuat dia mempertanyakan keputusan. Sekarang ini, dia sedang memantapkan hati untuk mengatakan semuanya pada Fiona. Mengatakan agar Fiona berhenti bermain-main. Dia tidak punya waktu dan tidak tertarik bermain dengan Fiona.
Tibalah di sebuah kafe terdekat. Kris berjalan mendahului dan Fiona mengekori. Mereka duduk mengelilingi meja bulat dan seorang karyawan menghampiri.
"Pesen apa?" tanya Kris.
Fiona yang menatap hanya mengerjap, tanpa menyentuh buku menu, dia pun langsung berujar, "Aku pesen jus alpukat. Dan buat Mas ini tolong buatkan kopi hitam tanpa gula. Karena baginya aku sudah cukup manis di hidup dia. Jadi gak usah kasih pemanis buatan."
Alis Kris dan karyawan resto mengernyit serentak, lantas saling bertatapan. Si karyawan menatap heran sedangkan Kris menahan malu.
"Bagaimana, Mas?" tanya karyawan dan Kris tidak punya tenaga untuk menjelaskan. Dia menyetujui saja kopi pahit yang Fiona pesan khusus untuk dia.
Selepas kepergian karyawan, Kris pun melihat sekitar, agak sepi dan dia pikir sekarang waktu yang tepat untuk berbicara serius dengan Fiona.
"Fiona, tolong dengarkan saya," ucap Kris bernada serius.
Sialnya mendengar itu makin berdetak hebat jantung Fiona. Melihat Kris dari jarak dekat dan mendengar lelaki itu bicara penuh penekanan begitu entah kenapa terlihat berwibawa, dan itu membuatnya semakin jatuh cinta.
"Jangankan mendengar, melakukan apa saja aku rela. Asal jangan minta putus. Aku dengar tadi soalnya. Obrolan kamu sama Theo. Apa kalian benci banget sama aku sampe harus minta tolong orang lain?" balas Fiona, dia mengedip. Kris yang mendengar itu jadi terbeku.
Pasti Fiona sakit hati. Begitu pikirnya.
Namun, lekas-lekas Kris membuang rasa iba yang sempat membuatnya meragu beberapa detik. Sekarang tujuannya hanya satu, yaitu menghentikan kegilaan Fiona ini.
"Aku dengar semuanya tadi. Mas Kris gak punya hubungan apa-apa sama tante girang tadi. Jadi, tolong jangan lakukan itu lagi, Mas. Untuk sekali aku maafin, jangan sampai kedua kali. Aku benar-benar akan marah."
Tak ayal kalimat terkahir membuat Kris mengembuskan napas berat. Dia mencondongkan badan lalu menautkan seluruh jari tangan. "Fiona, tolong dengarkan saya."
Fiona mengangguk, senyumnya masih terlihat.
"Bisa kamu hentikan ini?" lanjut Kris lagi, makin penuh penekanan.
Tentulah Fiona dengan mantap menggeleng. "Apa Mas Kris bisa berhenti makan? Ngga bisa, 'kan? Sama saja dengan aku, aku gak bisa berhenti makan ataupun menyukai kamu. Jadi apa yang bisa aku lakuin selain usaha?"
"Fiona, saya gak punya rasa ke kamu. Apa kamu paham?" lanjut Kris. Agak tegas kali ini. Dia sekarang menyadari kalau perkataan Theo itu benar. Fiona bebal.
"Rasa bisa dipupuk, kok. Yang penting kamunya buka hati."
Kris kehabisan kata. Tangan telah mengepal sebelum akhirnya kehadiran pelayan membuatnya melemas, lantas bersandar.
"Selamat dinikmati," ucap pelayan itu. Setelah itu berlalu meninggalkan mereka.
Dalam keheningan dia dan Fiona bertatapan. Kris masih mencari cara dan merangkai kata agar Fiona mengerti, kalau dia tidak menyukainya.
"Kenapa? Baru sadar kan kalau aku cantik?" imbuh Fiona tiba-tiba, dia bahkan mengedip lagi.
Tak ayal ocehan itu membuat Kris berdengkus, setelah itu menyeruput kopi pahit, otomatis ekspresinya berubah drastis dan moment itu segera di abadikan Fiona.
"Fio, kamu ngambil foto saya?" omel Kris.
"Kenang-kenangan, Mas," balasnya sambil cengengesan, setelah itu kembali menjepret.
"Fio!"
Alih-alih takut Fiona justru terkekeh senang. Dia simpan ponselnya ke saku lalu menatap lekat Kris yang bersungut-sungut dengan wajah yang sudah masam kecut.
"Mas Kris.
"Berhenti panggil saya Mas!" omel Kris. Kesabarannya mulai menipis. Namun lagi-lagi balasan Fiona hanyalah senyum tipis.
"Pak Kris. Aku memang masih muda. Aku juga gak perpengalaman dengan apa pun soal hubungan. Tapi percayalah aku itu tulus," tutur gadis itu tanpa berkedip. Karena memang dia tulus.
"Kamu masih muda, jangan gegabah."
"Justru aku masih muda makanya akan berjuang semampunya."
Kris mengeluarkan napas panjang. "Apa yang kamu sukai dari saya?"
"Gak tau. Aku suka aja gitu. Dan gak bisa ngendaliin diri," sahut Fiona lalu menyesap jus alpukatnya. "Lalu Bapak, apa yang gak bapak sukai dari aku?"
"Semuanya," balas Kris tanpa berpikir.
Fiona yang sudah mempersiapkan diri dan hati hanya bisa tersenyum, tapi terlihat agak getir kali ini. Walaupun sudah menebalkan hati dan telinga, tapi tetap saja dia itu perempuan yang perasa. Ada rasa sakit yang merasuk saat mendengar perkataan Kris dan itu menusuk sekali. Menyesakkan dada.
"Pak. Sebagai guru bukankah kalian selalu mengajarkan tentang kejujuran ke murid? Kali ini aku mau Bapak jujur. Apa yang buat Bapak berat nerima aku? Tentunya selain alasan ibunya Theo. Soal itu aku gak bisa maksa Bapak buat lupain dia. Tapi paling gak coba lihat yang ada di depan ini," oceh Fiona tapi tetap tak dipedulikan Kris.
"Apa fisikku kurang menarik?" lanjut gadis itu lagi.
Kris terdiam. Jika dipikirkan Fiona memang wanita sejati. Walau tubuh tidak terlalu tinggi tapi dia punya kulit bersih, bibir ranum dan rambut panjang. Sama sekali tidak ada celah, fisiknya sempurna. Jika dibawa ke mana-mana tentulah tidak mencoreng muka. Fiona muda dan segar, siapa yang tidak tertarik?
Ketika melihat bibir Fiona, Kris spontan menelan ludah. Dia teringat kejadian satu detik tadi. Lantas berdeham dan membuang muka.
"Gak ada, 'kan? Aku itu udah memenuhi standar buat jadi istri."
"Saya gak suka sama kamu," ketus Kris. Dia bersedekap. Sengaja memperlihatkan ketidaksenangan.
"Sudah aku bilang, Pak. Suka itu bisa dipupuk," balas Fiona. bersikukuh.
"Kamu terlalu muda."
"Pak Kris. Kita bedanya cuma sebelas tahun. Gak masalah, kok. Pasangan artis aja ada yang bedanya lebih dari 14 tahun. Mereka langgeng, kok. Malah punya anak banyak."
"Ya, bedalah Fiona. Kamu masih sekolah."
Fiona menggeleng. "Aku gak minta dinikahin sekarang, kok. Aku cuma minta Bapak nyoba buka hati dan balas perasaan aku. Lagian PR aku sebagai calon istri kayaknya masih banyak," balas Fiona lagi. Tentu saja ini merujuk ke Theo. Theo walaupun bukan anak kandung Kris, tapi tetap saja cowok menyebalkan itu merupakan bagian dari hidup Kris. Makanya dia juga akan berjuang mendapatkan restu dari cowok itu.
"Gak bisa, saya gak punya waktu untuk main-main sama kamu," tegas Kris untuk kesekian kalinya.
"Tapi aku serius. Aku tulus. Aku gak main-main."
Kris kembali membuang muka. Agak menyesal dia mengajak Fiona bicara.
"Pak Kris, sekarang aku mau nanya, kenapa Bapak belum nikah lagi?" lanjut Fiona. Meski hati nyeri dia tetap berusaha untuk tidak terpancing emosi.
"Saya masih sayang mantan istri," ketus Kris.
Fiona tersenyum pilu. "Nah, sama kayak saya. Saya masih sayang sama Bapak dan gak bisa kalau disuruh lupain Bapak gitu aja. Saya ngerasa gak akan bisa tenang kalau begini terus. Jadi tolong izinkan saya buat berjuang."
Mata Kris melotot, tak menyangka kalau Fiona memutar fakta.
"Bapak yang bertahun-tahun aja belum bisa move on apalagi aku. Tolong kasih aku waktu buat berjuang. Kalau dalam kurun waktu itu masih gak juga ada rasa, maka aku sendiri yang bakalan mundur. Gimana?"
Kris terdiam matanya menyipit tajam.
"Tiga bulan. Beri aku waktu tiga bulan. Aku bisa buat Bapak jatuh cinta sama aku," usul Fiona dengan percaya diri.
Kris tak menjawab. Dia cengo Fiona menawarkan diri seperti itu.
"Dua bulan, gimana?" lanjut Fiona lagi.
Kris masih diam. Masih memikirkan. Apakah harus menyetujui ataukah menolak.
"Oke, satu bulan. Cukup empat kali kencan. Gimana? Paling gak aku butuh waktu sebulan untuk berusaha. Berusaha mendapatkan sekaligus berusaha melepaskan. Gimana, Pak?"
Kris masih tak menjawab. Matanya menelaah ekspresi Fiona. Meski terlihat sering cengengesan tetap saja Kris merasa ada yang beda saat ini. Aura Fiona sangat berbeda.
Hening, keduanya saling tatap dan saling mengunci. Mereka berlarut dalam pikiran masing-masing.
"Baiklah. Hanya empat kali kencan. Setelah itu tolong akhiri perasan kamu ke saya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Eka Chusnul Msi
anakku viona jangan kayak gini ya besok 😨😰😔
2023-03-01
0
Anie Jung
Fiona bikin ngakakkkk kelakuan nyaa🤣🤣🤣🤣
Semangat berjuang Fiona 😁💪
2022-04-13
0
wen cavan
nah lho pak Kris ngerasain apa tuh yg beda
2022-04-13
0