Menunggu Jandamu

Menunggu Jandamu

Bukan Kompetisi

"Mama yakin, Rud kali ini bisa selangkah lebih maju dari Bang Za." Seorang wanita yang sedang menggunting kuku, bicara penuh keyakinan pada putranya yang sedang asyik main game pada ponsel.

"Anjiiir, gue bilang bantu, juga. Asu!" umpat pria itu malah mengabaikan ucapan Sang ibu.

"Nggak bisa gitu, ngaco!" teriak pria yang disebut Abang itu

"Gue bilang maju! ... hello! Buta banget itu udah sekarat bang sad!" pekik pria itu lagi, sambil melempar ponsel ke pojok ruangan. Jika ponsel itu benda hidup, pasti sudah menjerit kesakitan.

"Apakah kamu mau hidup denganku?" Suara dari ponsel memekikkan telinga.

"Semakin besar kekuatanku semakin kecil ...."

klik

Seorang pria yang masih mengenakan jas mengambil ponsel itu dan mematikan dayanya.

"Udah besar, udah dewasa. Kalah main game masih ngambek." Dia taruh ponsel ke atas meja.

"Abang pulang cepet, aku belum dandan." Wanita yang sedang menggunting kuku langsung berdiri sambil mencium punggung tangan suaminya.

"Kamu lupa? kita mau ke rumah umi buat arisan keluarga, 'kan?" Pria itu namanya Laut, ia kecup sekilas kening istrinya kemudian melirik sang putra -Rudrapia Ganendra- "Rud, ayo siap-siap. Kita ke rumah jida."

Rud hanya mengangguk, malas sekali sebetulnya bertemu dengan tiga adik sepupunya yang selalu jadi kebanggaan keluarga besar. Apalagi pria bernama Akhza, seorang calon dokter yang selalu jadi kiblat contoh akhlak terpuji bagi seluruh cucu uti.

"Lihat, Bang Za, sudah pintar, nggak neko-neko, rajin ke mesjid pula."

Bukankah pria seperti itu, hidup di era sekarang sudah layak dilabeli pria ketinggalan zaman. Pria lurus, tak minum alkohol, tak merokok, tak tahu dunia malam, tak tahu indahnya have fun dengan perempuan? Sungguh tak mengasyikan.

Di kamarnya, Rud menatap layar ponsel yang tengah menampilkan pesan dari temannya. Tadi saja di banting, sekarang ia pandangi lagi. Kalau ponsel dengan merek apel tergigit itu bisa ngomong sudah pasti ia menjerit tak mau lagi disentuh si empunya.

Brandon

[Bro, Rider sejati kita! Ada event di Jepara, nih. Kuy, ikut]

[Lama lu balesnya, nge-club yuk? Gia kangen tuh sama Abang Sayang 🤣]

Rud keluar dari aplikasi tanpa membalas pesan temannya itu, ia melempar kembali ponselnya. Lagi-lagi, begitu pasti kata si benda pipih. Disentuh hanya saat butuh. Sebulan sudah Rud tak aktif di dunia garuk dan cakar tanah. Papa Laut memberinya ultimatum, jika masih ikut acara grass track, seluruh tunjangan yang diberikan termasuk motor kesayangannya akan dibekukan. Rud jelas tak mau, ia tak biasa hidup miskin.

Pria itu beranjak menuju kamar mandi, hanya mencuci wajah dan lekas mengganti baju rumahan dengan kemeja dan celana denim biru yang membungkus kaki panjangnya.

"Rud, cepetan!" teriak sang mama sambil mengetuk pintu.

Rud lekas menyambar kembali ponselnya, ia gegas membuka pintu yang sedang digedor tak sabaran oleh sang nyonya rumah.

"Nah gitu dong, cakep 'kan!" komentar mama saat melihat Rud rapi mengenakan kemeja.

"Emang cakep, kalian aja yang selalu banding-bandingin sama Bang Za. Jadi, aku kesannya jelek," sindir Rud sambil lalu.

"Rud, Tala udah kamu telepon?" Sang mama mengalihkan pembicaraan.

"Mama aja yang telepon, males aku sih!" ketus Rud

Mama menghela napas, putranya itu kapan bisa dengan sadar menerima Tala? Gadis yang hendak ia jodohkan dengan sang putra. Akhirnya mama mengirimi pesan pada Akhza, agar mengajak Tala yang juga sedang magang sebagai perawat di rumah sakit yang sama dengan ponakannya itu. Mama harap, Akhza bisa membujuk Tala untuk ikut ke rumah umi.

***

Kemayoran, Jakarta Pusat - Rumah Jida

Seorang pemuda mengenakan kemeja flanel tengah memetik gitar dengan pria yang beberapa tahun lebih tua darinya sedang bersenandung. Pria itu begitu menghayati lirik yang dinyanyikannya, seolah ungkapan kerinduan pada seseorang.

Tahukah engkau wahai langit

Aku ingin bertemu membelai wajahnya

Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah

Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini kuciptakan

Hanya untuk bidadari hatiku tercinta

Walau hanya nada sederhana

Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

(Kerispatih-lagu rindu)

Tiba-tiba wajah pria itu jadi sendu setelah selesai bernyanyi.

"Ara lagi apa, ya?" katanya.

"Lagi ngedate sama dosen pembimbing yang lebih ganteng dari kamu, Mas," celetuk seseorang yang baru tiba di ruangan itu.

"Abang, jangan nakut-nakutin!" sentak pria yang dipanggil mas itu.

"Lah, emang kamu bocah mesti ditakut-takutin?" Pria yang disebut abang tertawa sambil melirik pemuda yang sedang memegang gitar sambil berpikir selanjutnya lagu apa lagi yang enak dibawakan?

"Tar, jida nanti ngomel loh gitaran di dalem rumah." Pria yang mengenakan kemeja putih dengan celana navy itu mengacak rambut pria yang memegang gitar, membuat si empunya rambut berdecak kesal.

"Abang mulutnya mending diem, kalo ngomong nyelekit ke hati." Pria yang merasa ditakut-takuti tadi bersungut.

Baru pria yang disebut abang akan menimpali, sebuah suara memanggil mereka bertiga.

"Bang Za, Mas Ar, Aa!"

Ketiga pria pemilik nama Akhza, Aro, dan Attar itu saling melempar pandang.

"Kamu buat salah nggak?" tanya Akhza pada Attar, adik bungsu yang barusan main gitar. Pemuda itu menggeleng.

"Kamu kali, Mas, buat salah?" tuding Akhza pada Aro, kembarannya. Ya, mereka berdua kembar tetapi dengan watak bertolak belakang.

"Bunda panggil sekali lagi, kalau nggak dateng bunda buatin jamu temulawak dan harus diminum dalam satu kali tegukan!" teriak wanita yeng menyebut dirinya bunda itu.

Sontak tiga pria itu berlarian, saling mendahului untuk sampai ke TKP. Dahsyat sekali kekuatan suara Bunda, padahal sedang berada di dapur tapi teriakannya sampai ke ruang tamu.

"Siapa yang makan puding nggak diabisin?" tuduh bunda dengan barang bukti sepotong puding coklat dalam piring dengan vla susu di atasnya.

Ketiga pria itu kompak menggeleng, apalagi Akhza, ia baru saja tiba di rumah setelah dari rumah sakit tempatnya menjalani koas.

"Aa? Tadi Bunda lihat, Aa buka kulkas!" tuduh bunda sambil menunjuk puding itu. Attar jelas menggeleng.

"Aku tadi ngambil kurma disuruh jida, bukan ambil puding," bantah Attar jujur.

"Mas Ar, ya?" tuding bunda pada Aro yang terlihat santai.

"Ini puding bukan buatan Ara, aku nggak makan makanan selain buatan calon istriku. Bunda tahu itu, 'kan?" papar Aro membuat Akhza mendengkus kesal, mau muntah rasanya.

"Bang Za?" selidik bunda, berupaya mencari pelaku.

"Aku baru balik dari rumah sakit, Bun. Mana sempet bikin ulah?" bela Akhza.

"Ngapain rame-rame di sini? Minggir-minggir, Ayah mau ngabisin puding." Lelaki yang merupakan ayah dari ketiga pria yang tengah kena tudingan sang bunda menerobos punggung Akhza, Aro, dan Attar.

"Tadi tuh Ayah lagi makan puding, tapi dipanggil sama jida dan uti buat mindahin kursi di halaman belakang," jelas ayah sambil menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Pria itu kembali memakan pudingnya tanpa merasa bersalah.

Akhza, Attar, dan Aro pergi meninggalkan tempat itu. Akhza memutuskan mandi, sedangkan kedua adiknya kembali ke ruang tamu. Selama kegiatannya membersihkan badan, pikiran Akhza terus menerus tertuju pada Tala. Kenapa bila berhubungan dengan gadis itu, pekerjaannya selalu berantakan? Bisa-bisanya mama Eca hendak menjadikan gadis ceroboh itu sebagai menantu.

Selesai mandi, Akhza kembali turun dan mendapati seluruh keluarganya sudah lengkap berkumpul. Acara arisan keluarga itu memang hanya diadakan satu bulan sekali, bergilir dari satu rumah ke rumah lainnya. Tak peduli dengan jarak jauh, mereka wajib datang.

Akhza lekas menyalami Mama Eca dan Papa Laut yang baru tiba. Tak lupa ia juga menyapa Rud, sang kakak sepupu. Pria yang disapa membalasnya acuh tak acuh, pura-pura lebih sibuk bernyanyi bersama Aro dan Attar.

Baru Akhza hendak duduk, dirinya dipanggil oleh Miza yang berdiri di ruangan lain. Sedari tadi putri Miza terus menerus menangis. Akhza lekas mendekat ke arah Miza, membuat Rud memandang sinis dengan ekor mata kepergian sang adik sepupu itu.

"Kenapa, Kak?" tanya Akhza begitu tiba di hadapan Miza yang sedang menggendong putrinya.

"Fatimah nggak mau berenti nangis, idungnya merah banget. Dia kayanya sesak, lagi flu soalnya." Miza nampak khawatir.

Akhza berpikir sejenak, ia kemudian memutuskan ke dapur untuk memasak air. Tanpa meminta bantuan sang asisten rumah tangga Akhza melakukan kegiatannya sendiri, sembari menunggu air mendidih pria itu pergi ke kamar untuk mengambil kayu putih dan lekas kembali ke dapur. Setelah air mendidih ia tuangkan ke dalam baskom, Akhza berikan beberapa tetes minyak kayu putih lalu membawa air dalam baskom itu ke ruangan di mana Miza masih berada di sana.

Fatimah kini sedang digendong Sanu -istri Miza-, tetapi bayi itu masih menangis hingga suaranya serak. Akhza lekas menaruh baskom di lantai, lalu memberanikan diri mengambil alih Fatimah dari gendongan sang ibu. Dengan duduk di atas karpet, Akhza menelungkup kan tubuh Fatimah di lengannya, ia usahakan agar Fatimah menghirup uap yang berasal dari baskom.

"Bismillahirrahmanirrahim, sembuh ya, Dek." Akhza mengusap pelan punggung Fatimah yang kian lama tangisnya kian reda.

"Ih, nangisnya berenti, dong," ucap Sanu, haru.

"Fatimah kayanya nyaman dalam posisi itu," timpal Miza.

"Nanti di rumah pas pagi coba kaya gini lagi ya, Kak. Jangan dikasih obat, kasian masih kecil. Kalau mau, Kak Sanu aja yang minum obat, nanti kan ade minum ASI ini," urai Akhza sambil masih mengelus halus punggung Fatimah yang kian anteng.

Sedang dalam keadaan seperti itu, uti, Jida dan bunda datang bergabung karena tadi melihat Akhza yang berlari-lari membawa baskom ke ruangan itu. Rumah jida memang besar, yang ditempati oleh Attar, Aro, Rud, Alisa dan dua putri Amah Nadia bernyanyi adalah ruang tamu.

"Fatimah udah anteng, Dek?" Jida duduk di samping Akhza. "Nyaman banget kayanya dia sama Abang," sambung jida.

"Tuh, Miza ... Uma bilang tanya Bang Za pasti tahu cara alternatif buat sembuhin flu. Jangan dikit-dikit obat," celetuk Uma Zahra yang baru datang, di belakangnya ada mama Eca dan amah Nadia yang ikut bergabung.

"Aku tahu metode ini dari Bunda, Kok. Iya, 'kan Bun?" Akhza tersenyum melirik sang bunda yang kini sudah duduk. Mereka duduk melingkar dengan wajah tegang menatap Fatimah.

"Udah lama nggak pake cara itu, anak-anak udah besar." Bunda tersenyum samar.

"Mas Ar sama Ara bentar lagi nikah, pasti nanti ada cucu yang bikin rumah ramai lagi," hibur uti yang duduk tepat di samping bunda.

"Ara apa kabar? Dia berani ya sendirian di Surabaya," celoteh uma Zahra.

"Alhamdulilah, baik. Dia jarang telepon karena lebih fokus ke studynya," jelas bunda.

"Aro jadi buka tokonya, 'kan?" tanya Uma Zha lagi.

"Insyaallah, jadi. Dia harus selesaikan dulu kuliah, baru ayahnya ngizinin buat usaha," terang bunda.

"Alhamdulilah, tinggal Attar ya, Bumi yang masih perlu pengawasan ekstra. Mama bangga sama anak-anak kamu," puji uti tanpa sadar membuat hati mama Eca tersentak.

Rud juga cucu uti, anak satu-satunya dari Laut, putra pertama beliau. Namun, mengapa sedari dulu di mata uti hanya anak-anak Bumi dan Akash yang selalu dibanggakan? Apa karena Rud tak memiliki prestasi gemilang seperti tiga jagoan Bumi? Batin Mama Eca bersahutan, tanpa sadar ada kemelut kesal yang sedari dulu ia pintal dalam hati terhadap mama mertuanya itu.

Penantian ini teramatlah panjang

Coba kau rasakan sayang, letihku di ujung jalan

Dia menghilang membawa semua kenangan

Terindah yang ku rasakan saat bersamanya sayang

(Armada-Penantian)

"Mas Ar makin galau."

"Gue doain Ara di sana kepincut dokter ganteng."

"Mas Ar jadi bujang lapuk ditinggal kawin dan gue bahagia."

Suara teriakan dan tawa terbahak Rud memekikkan telinga hingga terdengar ke ruang keluarga, membuat Fatimah terusik dan kembali menangis. Akhza lekas menyerahkan bayi itu pada Sanu. Ia bilang, coba dikasih ASI. Siapa tahu bisa kembali lelap tidurnya.

"Akash, Kash!" teriak jida membuat Akash, Laut dan Hafidz yang sedang berbincang di ruang makan lekas datang.

"Itu, ih, anak kamu yang satu itu susah banget dibilangin. Umi nggak suka dia gitaran di rumah Umi!" protes jida dengan dahi mengkerut. Jida pasti kesal, wanita itu hanya mau sholawat dan ajian Al-Qur'an yang menggema di rumahnya. Jida meyakini, bahwa abah pasti juga sedih ketika rumahnya diisi oleh hiruk pikuk kesenangan duniawi.

Akash tak berani membantah, Attar memang jagonya kalau buat jida marah. Pria itu lekas menemui anak-anak yang sedang berkumpul di ruang tamu.

"Aa, udah ayah bilang jangan main gitar kalo lagi kumpul di rumah jida!" seru ayah, gigi dalam mulutnya saling beradu.

Sontak Attar menghentikan jarinya memetik gitar, ia memeluk gitarnya penuh kesal. Semua orang yang ada di ruang itu juga bungkam, termasuk Rud yang sedari tadi terbahak.

"Sini gitarnya!" pinta Ayah.

"Nggak, Ayah mah suka mainin senarnya. Aku taro sendiri aja ke kamar!" tolak Attar seraya berdiri diikuti Alisha dan dua putri amah Nadia.

"Aa, ikut, A!"

"Kita juga ikut, A!"

Tatapan tajam ayah, kini menghunus ke arah dua pria yang sedari tadi paling kencang suaranya.

"Bang Rud sama Mas Ar, ikut ngadep jida!" titah ayah membuat dua pria itu berdiri. "Kamu tuh, Mas. Nggak bisa apa ingetin adiknya?" sungut ayah sambil mulai melangkah.

Aro dan Rud tak berani bicara, hingga keduanya sudah sampai di ruang keluarga. Semua tatapan orang-orang di ruangan itu laksana belati yang baru diasah, tajam.

"Mas Ar, Jida 'kan udah bilang. Jangan gitaran di dalem rumah," ucap jida selembut mungkin takut menyinggung perasaan cucunya itu.

"Jangan juga tertawa-tawa sampai terbahak, apalagi hal tersebut disebabkan karena menertawakan kesengsaraan orang lain," tambah jida.

"Tuh, tadi Bang Rud 'kan yang tertawa terbahak? Nggak boleh, tuh!" Uti ikut menimpali kalimat jida. Lagi-lagi, hati mama Eca terasa sakit. Anaknya memang salah, tetapi ia tak suka Rud dikuliti di hadapan banyak orang seperti itu.

Papa Laut menghela napas, ia pasrah karena putranya memang susah dikendalikan. Bunda dan ayah saling menatap, masalah ini sering mereka bahas dengan uti. Namun, uti selalu ikut kesal dengan cucu pertamanya itu. Beliau bukannya ingin membandingkan, hanya saja ingin agar Rud juga bersikap baik.

"Orang yang banyak tertawa terbahak-bahak dapat mematikan hati. Rasulullah SAW bersabda, “dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). Rasulullah saw tidak pernah tertawa terbahak-bahak, Beliau paling besar tertawanya dengan senyuman lebar," urai jida selanjutnya.

"Aku cuma becanda, kok, Uti. Lagian nggak niat ngetawain Mas Ar," bantah Rud.

"Nggak niat tapi suaranya terdengar sampai sini?" sindir uti, makin buat mama Eca sakit hati. Air matanya bahkan sudah memupuk.

"Namanya anak muda, Ti. Kaya yang nggak pernah ngerasain aja!" balas Rud.

"Rud, bisa nggak jangan selalu ngebantah!" sentak sang papa.

"Jadi anak tuh seperti Bang Za, mana ada dia membantah perkataan siapapun. Dia akan tetap diam meski tahu lebih banyak tentang suatu hal, sedangkan kamu dari tadi berani sekali bantah Uti!" sungut uti lagi.

'Lagi-lagi, selalu dia yang jadi kiblat. Apa sih hebatnya si Akhza itu?' batin Rud.

'Kalau saja dulu aku nikahnya sama Abimanyu, meski hidup sederhana mungkin bisa bahagia dan tenang.' Kebiasaan buruk Ayesha, selalu membandingkan suaminya dengan Abimanyu, sang mantan kekasih. Tanpa sadar, karakter Rud itu dirinya sendiri yang mencetak. Rud terbiasa hidup bergelimang uang, sedangkan orang tuanya sibuk bekerja. Diberi barang-barang mewah, bahkan saat anak-anak Bumi baru memiliki ponsel di usia SMA, Rud sejak SD sudah punya. Alasan Ayesha dan Laut tentu satu, agar mudah menghubungi sang putra saat sedang bekerja. Pada kenyataannya, Rud susah dihubungi karena lebih asyik main game dalam ponsel. Kebiasaan buruk yang berlanjut hingga kini. Bahkan Ayesha selalu bilang 'kamu harus bisa nyaingin Bang Za' pada Rud. Membuat putranya itu makin tak respek pada sang adik sepupu.

Suasana jadi canggung, dingin, dan kaku. Akhza sedikit pun tak merasa bangga selalu diunggulkan. Sejujurnya, ia juga risih dan tak suka dipuji-puji begitu. Hingga akhirnya, acara masuk ke bagian inti saja, yaitu mengocok arisan. Nama Nadia keluar sebagai pemenang, sorak sorai setidaknya mampu mengurai kecanggungan. Namun, selepas itu mama Eca memilih pamit lebih dulu dengan alasan besok pagi-pagi harus ke rumah sakit.

"Bang Rud, tunggu bentar!" teriak Akhza saat Rud sudah keluar lebih dulu sedangkan mama Eca masih di dapur sedang disediakan bingkisan oleh uti.

"Omongan uti jangan dimasukin ke hati, ya!" pesan Akhza, Rud tak menjawab.

"Kita ini saudara, bukan kompetitor bukan juga sedang berlomba."

"Bang Rud spesial dengan cara sendiri, tracker hebat penakluk dunia garuk tanah!" Akhza tersenyum tulus sambil tepuk tangan.

"Aku nggak mungkin bisa naklukin sirkuit dengan lintasan yang, beuh ... Baru diliat aja udah bikin lutut gemetar duluan," sambung Akhza.

"Jangan kecil hati, aku nggak sebaik yang dibilang uti. Bang Rud punya kemampuan yang aku bahkan nyerah duluan kalo disuruh nyoba," kata Akhza tulus, meski tak ditimpali Rud. Sorot mata Rud jelas penuh benci pada Akhza.

"Jangan kepancing omongan uti, orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya meski kadang caranya salah. Karena mereka dan kita hidup di zaman berbeda 'kan?" Akhza merangkul bahu Rud.

"Gue emang hebat, mereka aja yang nggak sadar," cetus Rud yang malah memilih pergi masuk ke mobil, sampai tak lama Mama Eca dan Papa Laut juga naik ke mobil dan mereka benar-benar pergi.

"Ngomong apa ke Bang Rud?" Bunda tiba-tiba sudah berdiri di samping Akhza.

"Ngomong antara cowok dengan cowok lah," sahut Akhza menutupi kejadian sebenarnya.

"Bunda juga mau bilang sesuatu ke Abang, soal Tala," ucap bunda membuat Akhza menghela napas.

"Abang kenapa sih galakin Tala terus? Mama Eca bilang anak itu sampe nangis seminggu yang lalu?" tuduh bunda.

Akhza tertawa, "ih, dasar si gemoy! Beraninya ngadu ke Mama Eca."

"Abang! Gemoy itu nama kucing uti yang dikampung. Tega banget cewek secantik Tala dinamain gemoy!" kesal bunda.

"Dia kaya si Gemoy, Bun. Kerjaannya ngabisin makanan orang. Makanan siapa aja kalo nggak abis tuh dia makan. Jorok!" Akhza bergidik.

"Bang, Abang nggak pernah loh ya ngurusin orang sampe ke hal sekecil ini. Ada apa ini?" Bunda kepo.

"Tadi sore bukannya kalian abis dari kondangan salah satu temen? Dan kata Mama Eca, Abang nolak saat Tala minta ikut bareng di mobil Abang?" tuduh bunda. Wanita itu tadi dapat cerita dari sang kakak ipar.

"Apa sih, Bun. Nggak ada apa-apa, lagian kenapa jadi bahas cewek itu sih?" protes Akhza.

"Lagian aku nggak enak berduaan doang sama Gemoy dalam satu mobil," sambung Akhza, membela diri.

Bunda menghela napas, ia tahu Akhza memang bukan orang sombong apalagi jahat. Tadi Mama Eca bilang, Akhza terlalu angkuh dan kasar pada Tala.

"Mama Eca minta Bunda bilangin Abang supaya jangan galak terus sama Tala. Inget, dia bentar lagi jadi bagian keluarga kita."

Ucapan Bunda buat Akhza diam, ia juga tak mengerti kenapa sejak kehadiran Tala di rumah sakit ada sesuatu yang beda dari cara dirinya memandang orang baru. Gadis itu, selalu bisa menarik perhatian Akhza, dan saat seperti itu Akhza inginnya memarahi pemilik nama lengkap Ekanta Bimala itu. Si ceroboh yang sukanya menyabotase meja tempat anak koas dan perawat magang menaruh beberapa barang mereka.

"Inget, Bang. Dia calon istri Bang Rud. Abang, jangan macem-macem!" pesan bunda kemudian melengos masuk ke rumah.

Akhza hanya mematung memandang punggung bunda yang masuk ke rumah. Akhza bukan benci pada Tala, ia hanya tak tahu caranya bersikap pada gadis itu.

***

Assalamualaikum, apa kabar semuanya? Ayo ... ayo absen dulu yang siap nemenin abang, hehehe. Jangan lupa like, komen, vote dan hadiahnya untuk abang ya, makasih.

Thor, seneng banget ya bikin cerita duda dan janda? Hehehe ini beneran nggak sengaja deh aku. Awalnya aku nggak bakal lagi buat spin off tentang Mahija Akhza, dunia kedokteran sungguh asing bagiku yang cuma apalah atuh hehehe. Namun, aku bakal berusaha memberikan yang terbaik versiku. Bila nanti di bab bab selanjutnya ada dunia kedokteran yang aku salah menuliskannya, tolong diingatkan ya. Aku bakal bahagia kalau temen-temen semua mau kasih aku masukan dan support.

Buat lebih akrab sama aku, ciee akrab kan biar kenal biar sayang juga, ya. Temen-temen boleh masuk ke gc aku ya. Di sana orangnya baik-baik suka kasih poin loh hehehe. Temen-temen juga bisa follow akun media sosial aku, biasanya aku suka buat video dari penggalan bab (eh bukan aku yang bikin deng, hehe. Aku cuma upload aja)

Ig : Syaesha05

Fb : Syaesha

Kalo ada typo ingetin, kalo ada cacat logika juga ingetin maklum aku masih tahap belajar nulisnya belum mahir.

Terpopuler

Comments

Ibrahim Adjie Prawira

Ibrahim Adjie Prawira

melipir kesini deng

2024-08-10

0

Kasacans 5924

Kasacans 5924

mli bca ttg abang

2024-07-28

0

Riskaa Lumi

Riskaa Lumi

nah ini tersangkanya, Bun /Joyful/

2024-06-26

0

lihat semua
Episodes
1 Bukan Kompetisi
2 Siti Nurbaya
3 Kekecewaan, Gengsi, dan Waktu yang Terbuang
4 Jari Salah Ketik, Hati Salah Jatuh
5 Biarkan Saja
6 "Jangan Geer"
7 Ajakan
8 Tawanya ....
9 "Nggak Mungkin Cemburu"
10 Kucing Betina
11 Kenangan
12 Semesta Suka Becanda
13 'Jangan Hilang'
14 Jangan Mendahului
15 Pesan untuk Abang
16 Kemarahannya
17 Gunanya Teman
18 Salah Terka
19 Mengalahkan
20 Kegundahan
21 Belum Waktunya
22 Abang Sayang
23 "Apa Kabar?" part 1
24 "Apa kabar?" part 2
25 Maaf part 1
26 Maaf part 2
27 Menerka
28 Kucing Betina, siapa?
29 Pertarungan Dimulai
30 Kita Tak Sedang Berlomba
31 "Dia Bukan Siapa-siapa"
32 Pertemuan Singkat
33 Tak Diduga Sebelumnya
34 Tak Diduga Sebelumnya 2
35 Selamat datang di Bandung
36 Bertanya Rasa
37 Tidak Diduga
38 Sama-sama Sakit
39 Ruang Temu.
40 Lebih Baik Dia Tak Tahu
41 Skandal Hati
42 Romansa Akhza-Tala
43 Manusia Tropis Kembali 1
44 Manusi Tropis Kembali part 2
45 Risalah Hati 1
46 Risalah Hati 2
47 Berusaha Rela 1
48 Berusaha Rela 2
49 "Aku Tak Selemah itu" 1
50 "Aku Tak Selemah itu" 2
51 Dia yang Luka
52 Aku Juga Luka
53 Ajariku Caranya Melupa
54 Sama-sama Hanya Bersabar
55 Dia yang Kusebut Dalam Doa
56 Bukan Dia yang Salah
57 Tertawalah
58 Fitnah
59 Bukan Main
60 Dia Kenapa?
61 Manusia Bisa Berubah
62 Attar, Adik Terbaik
63 Attar, Teman Terbaik
64 Perjanjian Dua Wanita
65 Hujan dan Kamu
66 "Aku Juga Mau diperjuangkan"
67 Satu Kali Masih Selamat
68 Perlahan Terbiasa
69 Tala Beraksi
70 "Kumelihat Sendu di Wajahmu"
71 Surat Tak Bertuan
72 Saya Suka Wanita Pecinta Kopi
73 Bukan Pergi Dari Hati
74 Sampai Kapan Semesta?
75 Surf Cafe Lampuuk
76 Dua Keajaiban
77 Hari-hari Berikutnya
78 Besok, Cepatlah Datang
79 Perasaan Abang
80 Menjaga Tala
81 Mari Kita Bicara
82 "Nggak Mau Jatuh Lagi"
83 Proposal Pengajuan
84 "Udah Makan Siang?"
85 Saya Pulang
86 Rud di Masa Lampau
87 Sekali Tepuk, Terjadilah
88 "Tala mau pulang"
89 Empat Belas Hari
90 Selalu Sabar Menanti
91 Aku Butuh Kamu
92 Tunggu Sampai Aku Datang
93 Jangan Pergi
94 Menuju Hari Bahagia
95 Sepakat
96 Petikan Cinta 1
97 Petikan Cinta 2
98 Mulai Membaca
99 Perjalanan Panjang
100 Meniti Kisah
101 Sesal Tiada Arti
102 Kejutan
103 Kejutan Lagi
104 Enam Tahun Berlalu
105 END
106 Promo Novel Attar-Orin-Bintang
107 Edisi Rindu Semua
Episodes

Updated 107 Episodes

1
Bukan Kompetisi
2
Siti Nurbaya
3
Kekecewaan, Gengsi, dan Waktu yang Terbuang
4
Jari Salah Ketik, Hati Salah Jatuh
5
Biarkan Saja
6
"Jangan Geer"
7
Ajakan
8
Tawanya ....
9
"Nggak Mungkin Cemburu"
10
Kucing Betina
11
Kenangan
12
Semesta Suka Becanda
13
'Jangan Hilang'
14
Jangan Mendahului
15
Pesan untuk Abang
16
Kemarahannya
17
Gunanya Teman
18
Salah Terka
19
Mengalahkan
20
Kegundahan
21
Belum Waktunya
22
Abang Sayang
23
"Apa Kabar?" part 1
24
"Apa kabar?" part 2
25
Maaf part 1
26
Maaf part 2
27
Menerka
28
Kucing Betina, siapa?
29
Pertarungan Dimulai
30
Kita Tak Sedang Berlomba
31
"Dia Bukan Siapa-siapa"
32
Pertemuan Singkat
33
Tak Diduga Sebelumnya
34
Tak Diduga Sebelumnya 2
35
Selamat datang di Bandung
36
Bertanya Rasa
37
Tidak Diduga
38
Sama-sama Sakit
39
Ruang Temu.
40
Lebih Baik Dia Tak Tahu
41
Skandal Hati
42
Romansa Akhza-Tala
43
Manusia Tropis Kembali 1
44
Manusi Tropis Kembali part 2
45
Risalah Hati 1
46
Risalah Hati 2
47
Berusaha Rela 1
48
Berusaha Rela 2
49
"Aku Tak Selemah itu" 1
50
"Aku Tak Selemah itu" 2
51
Dia yang Luka
52
Aku Juga Luka
53
Ajariku Caranya Melupa
54
Sama-sama Hanya Bersabar
55
Dia yang Kusebut Dalam Doa
56
Bukan Dia yang Salah
57
Tertawalah
58
Fitnah
59
Bukan Main
60
Dia Kenapa?
61
Manusia Bisa Berubah
62
Attar, Adik Terbaik
63
Attar, Teman Terbaik
64
Perjanjian Dua Wanita
65
Hujan dan Kamu
66
"Aku Juga Mau diperjuangkan"
67
Satu Kali Masih Selamat
68
Perlahan Terbiasa
69
Tala Beraksi
70
"Kumelihat Sendu di Wajahmu"
71
Surat Tak Bertuan
72
Saya Suka Wanita Pecinta Kopi
73
Bukan Pergi Dari Hati
74
Sampai Kapan Semesta?
75
Surf Cafe Lampuuk
76
Dua Keajaiban
77
Hari-hari Berikutnya
78
Besok, Cepatlah Datang
79
Perasaan Abang
80
Menjaga Tala
81
Mari Kita Bicara
82
"Nggak Mau Jatuh Lagi"
83
Proposal Pengajuan
84
"Udah Makan Siang?"
85
Saya Pulang
86
Rud di Masa Lampau
87
Sekali Tepuk, Terjadilah
88
"Tala mau pulang"
89
Empat Belas Hari
90
Selalu Sabar Menanti
91
Aku Butuh Kamu
92
Tunggu Sampai Aku Datang
93
Jangan Pergi
94
Menuju Hari Bahagia
95
Sepakat
96
Petikan Cinta 1
97
Petikan Cinta 2
98
Mulai Membaca
99
Perjalanan Panjang
100
Meniti Kisah
101
Sesal Tiada Arti
102
Kejutan
103
Kejutan Lagi
104
Enam Tahun Berlalu
105
END
106
Promo Novel Attar-Orin-Bintang
107
Edisi Rindu Semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!