Tala menutup pintu kostnya sembari mengembuskan napas kasar. Sepulang PKL dari rumah sakit, gadis itu menghadiri acara ulang tahun teman. Tala sedikit merasa bersalah sebab tak bisa hadir di acara keluarga Tante Eca, calon mertuanya. Apa mau dikata, Akhza, tak mau memberinya tumpangan menuju rumah jida. Padahal Tante Eca sudah bilang agar Tala pergi bersama Akhza saja.
Baru hendak mengambil handuk yang tersimpan di balik pintu, dering ponsel dalam sling bag mengalihkan atensi Tala. Gadis itu dengan malas mengambil ponsel, dan tiba-tiba menjadi bersemangat ketika melihat nama ayah yang ada pada layar benda pipih tersebut.
"Assalamualaikum, anak Ayah. Lagi apa, cantik?" Ayah bicara dengan suara beratnya yang khas membuat senyum Tala mengembang.
"Waalaikumsalam, Ayah ganteng. Aku baru pulang dari acara temen, nih," jawab Tala sambil berjalan menuju kasur yang digelar tanpa dipan.
"Main, ya? Sama siapa? Tadi Tante Eca bilang mau ngajak kamu ke acara keluarganya?" tanya Ayah, terdengar seperti sedang mengembuskan napas.
"Ayah lagi ngerokok, ya?" tebak Tala, hapal dengan kelakuan sang ayah.
Di seberang sana ayah jadi batuk, ketahuan deh kegiatannya.
"Ayah, 'kan Tala dah bilang berhenti ngerokok!" seru Tala, kecewa.
"Ayah udah kurangin, Nak," bela ayah. Betul-betul membuang rokok ke dalam asbak.
"Kasian badan Ayah, nggak boleh sakit!" gerutu Tala.
"Iya, Tala udah telepon ade?" tanya ayah sengaja mengalihkan perhatian.
"Tadi pagi udah telepon, Nyanyak Sry lagi sakit katanya, Yah," lapor Tala.
"Makanya ayah kirim uang buat ade dulu ya, buat kamu belum bisa Ayah kirim." Suara Ayah terdengar lirih.
Sebagai seorang guru SD, meski sudah PNS gaji ayah tak terlalu besar. Bahkan, tak bisa setahun sekali pulang ke Aceh -kampung halaman sang istri- sekedar menengok putra bungsu yang menetap di sana bersama seorang kerabat.
"Ayah nggak usah mikirin Tala, Tala mah kuat. Uang Tala banyak," ucap Tala membuat ayah tertawa. Uang Tala dari hasil jualan rujak mangga memang banyak.
"Iya banyak, tapi gopean doang." Ayah terbahak membuat Tala mengangguk.
"Nggak ada Gope sejuta nggak jadi sejuta, Ayah!" timpal Tala.
"Iya, iya. Baik-baik di sana ya, Nak. Jaga diri, jangan kebablasan kalau jalan sama Bang Rud meski kalian udah dapet restu dari Tante Eca dan Ayah."
Sambungan telepon terputus, Tala mengembuskan napas. Bagaimana tak dapat restu, orang mereka berdua dijodohkan. Tala masih jelas mengingat bagaimana kesepakatan itu terjadi. Tepatnya dua tahun lalu ketika Tala baru lulus SMA, gara-gara semangkuk mie instan yang ayah berikan pada Om Laut yang kala itu habis kena begal. Mobil dan dompetnya raib diambil pencuri.
Klise memang, begitu pikir Tala. Karena sebuah jasa yang akhirnya menjadikan Om Laut dan Tante Eca yang ternyata adalah teman semasa SMA, ayah menjodohkan Tala dan Rud. Tala tak bisa menolak, ia sudah janji pada almarhum mama untuk selalu patuh pada ucapan ayah.
"Harus realistis, Tala. Ayah mau kamu dapat suami dan mertua yang tak hanya baik tapi juga mapan."
Jelas Rud mapan, ia satu-satunya pewaris tunggal Om Laut sebagai seorang pengusaha property. Meski nama Om Laut tak sebesar nama pengusaha lainnya, tetapi bisa dipastikan bila dibandingkan dengan ayah aset hartanya pasti jauh di atas ayah. Ayah bahkan hanya punya rumah sederhana dan motor tua di Bandung sana.
"Aku ini Siti Nurbaya milenial," gumam Tala sambil kemudian terperanjat sebab novel kesayangannya dalam platform online pasti sudah terbit.
Tala suka membaca novel, akhir-akhir ini ketika menjamurnya platform online ia makin gila baca. Tala bahkan bisa mencuri-curi waktu baca di sela kegiatannya bertugas di rumah sakit.
"Yaaah, udah digembok duluan deh babnya," sesal Tala saat membuka aplikasi baca dan mendapati bab baru harus dibuka menggunakan koin.
"Dengan sangat terpaksa Kak Author, aku mundur alon-alon dan melambaikan tangan."
Tala akhirnya berdiri, kembali menyambar handuk. Kostan Tala dilengkapi dengan kamar mandi di dalam ruangan, meski dengan begitu harga sewa jauh lebih mahal. Namun, demi keamanan dan kenyamanan Tala rela mengeluarkan uang lebih besar tiap bulannya.
***
Langit Jakarta pagi ini sangat cerah, awan putih terlihat manis bak gulali kesukaan anak-anak. Akhza memasukkan laptop dan berkas untuk bahan presentasinya hari ini ke dalam ransel hitam. Pria itu mengambil kemeja putih dari dalam lemari, ia suka dengan warna putih. Hampir seluruh kemejanya berwarna putih.
Pria itu membungkus kaki panjangnya dengan celana warna khaki, tak lupa kaus kaki berwarna senada dengan celana juga ia kenakan. Kesan dewasa begitu kentara dalam diri Akhza, apalagi dengan pembawaannya yang selalu tenang -kecuali bila sudah berhadapan dengan Tala- pria dengan tinggi badan 180 sentimeter itu selalu lebih banyak bertindak daripada bicara.
Lepas memakai celana, Akhza menggulung kemeja hingga lengan. Ia juga menyisir rapi rambut dan memasang arloji di pergelangan tangannya. Kemudian bersiap keluar dari kamar, untuk sepatu ia selalu taruh di lantai bawah.
Sarapan bersama jida kini tak pernah ia lewatkan, setelah beberapa waktu sakit hingga membuatnya harus minum ramuan buatan Ara yang rasanya aneh.
"Mau nasi atau roti sarapannya?" tawar jida, sudah beberapa tahun tinggal dengan wanita itu membuat Akhza lebih mirip anak dibanding cucu di mata sang nenek.
"Nasi aja, Jida. Rotinya buat bekal," jawab Akhza mulai menyendok nasi putih.
"Restoran ayah kamu tinggal nyeberang, masih aja suka bawa bekal dari dapur Jida," canda jida yang tengah menikmati air nabeez.
"Jujur aja, aku nggak seminggu sekali loh ke restoran ayah. Kok malu ya udah gede masih minta makan sama orang tua, hehehe."
"Sama ayah kamu malu, sama jida enggak malu?" sindir jida.
"Aku kan kesayangan jida, nggak malu lah." Akhza mulai menaburkan bawang goreng ke atas nasi dan mengambil bumbu ayam serundeng yang terhidang.
"Makan juga ayamnya!" seru jida membuat Akhza menggeleng.
"Kasian jida, aku nggak tega makan sesama makhluk hidup," elak Akhza melanjutkan acara makannya.
Setelah selesai pria itu pamit pada jida, bilang minta didoakan supaya presentasi hari ini lancar. Jida mengingatkan agar Akhza juga minta doa pada ayah bunda.
"Udah telepon ayah bunda, kok, tadi subuh."
Penjelasan Akhza diangguki jida. Wanita itu mengantar Akhza hingga naik ke dalam mobil, memerhatikan kendaraan berwarna hitam metalik itu keluar dari gerbang rumah.
"Nitip jida ya, Mang!" pesan Akhza pada sang penjaga keamanan rumah sambil melambai. Pria bertubuh tinggi yang memakai seragam hitam-hitam itu mengangguk hormat. Jida dari termpatnya berdiri tersenyum sambil menggeleng, beliau sangat terhibur dengan keberadaan Akhza di rumahnya.
***
"Mbak Asya, Esti, Mbak Je, Resti, Tante Eca dua .... Done!" absen Tala sambil menunjuk wadah plastik berisi rujak mangga dengan sambal gula merah. Rujak mangga Tala memang terkenal di rumah sakit, tetapi hari ini ia hanya membuat untuk yang memesan saja.
Tala biasanya beli rujak dari bapak yang suka keliling dengan gerobak, tapi dia pikir kenapa mahal sekali harganya? Bukan tak mau berbagi rezeki dengan si bapak, hanya saja saat Tala beli mangga mudanya saja, ia l bisa dapat lebih banyak. Bahkan Tala bisa menjualnya juga pada teman-teman. Cuan dari hasil jualan bisa dipakai untuk tambahan uang jajan, apalagi di akhir bulan stok makanan tinggal mie instan. Suka duka anak kost yang jauh dari kampung halaman.
Wadah plastik tadi Tala masukan ke dalam totte bag yang ia beli seharga 5.000 dari minimarket lokal dengan maskot lebah berwarna biru.
"Mudahan-mudahan Mbak Je inget buat bayar hutang, aku udah nggak punya beras ini. Hehehe," gumam Tala. Serumit apapun hari yang dilewatinya, adalah tawa temannya. Padahal pagi itu ia hanya sarapan air putih.
Setelah merias diri dengan make up tipis, Tala tak lupa menggelung rambut dengan rapi -tempo hari ia pernah menggerai rambut yang masih basah dan kena omel Akhza-, kemudian lekas pergi. Mendapat tugas shift pagi mengharuskan ia datang lebih awal.
Pagi itu semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya bagi Tala, masuk ke ruang pasien, mengecek tensi serta infus pada mereka. Semua tugas selalu ia kerjakan dengan suka cita. Mengajak bergurau pasien adalah caranya memompa semangat orang-orang yang berjuang untuk sembuh tersebut.
"Suster suka makan kue basah, nggak?" tanya seorang pasien begitu Tala selesai membantunya ke kamar mandi.
"Suka, Tala mah suka makan apa aja. Asal jangan makan ati, Nek," sahut Tala merapikan kembali letak botol infus.
"Ini, ada kue basah. Takut basi kalau sampai sore, bawa aja buat suster." Pasien dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya itu menunjuk pada kardus putih di atas nakas.
Kebetulan lagi laper banget, bawa aja deh.
Tala menerima kue pemberian sang pasien, ia kemudian membawa kotak tersebut ke meja yang terdapat di depan ruang perawat. Di sana biasanya Tala dan teman-teman PKL menaruh barang-barang.
"Akhirnya ada temen ngopi," ucap Tala.
Tak lama Mbak Asya, Mbak Je dan Ana datang meminta pesanan rujak mereka.
"Tal, Mbak nggak bayar utang dulu. Ntar aja kalo gajian, ya," ucap Mbak Asya.
Musnah sudah harapan yang Tala pupuk tadi pagi.
"Iya, nggak apa, Mbak. Santai aja," timpal Tala.
"Catet aja ya, Tal," ucap Mbak Asya sambil membuka tutup wadah dan langsung ngiler dengan mangga muda yang warnanya sedikit menguning.
"Eh iya, kamu abis ini pindah ke ruang apa? Atau balik ngampus lagi?" Mbak Asya menutup kembali wadah tersebut.
"Kasian atuh, Mbak. Anak PKL pake diutangin mulu rujak," potong Mbak Je, perawat senior kelahiran kota Solo.
"Ntar aku bayarnya sekalian, Je," bela Mbak Asya.
Tala dan Ana hanya saling melempar pandang, kemudian tertawa tanpa suara.
"Nggak apa atuh, Mbak Je. Lagian sebentar lagi awal bulan, gajian ya, Mbak Sya?" tutur Tala sambil membuka tutup tumbler berisi kopi.
"Oh iya, aku lanjut nugas seminggu di sini. Abis tuh pindah ke ruang penyakit dalam," jelas Tala selanjutnya.
Sebagai mahasiswi PKL Tala pasrah saja saat ruangannya bertugas berpindah-pindah.
"Kalo gitu, kita balik ke sebelah ya, Tal," pamit Mbak Asya. Namun, Tala mencegahnya, ia menawarkan kedua perawat senior itu membawa kue basah pemberian pasien. Tala pikir tak akan habis dimakan olehnya sendiri. Setelah Ana mengambil dua potong kue bugis dan Tala tiga potong risol, Mbak Asya membawa kotak yang masih berisi banyak kue itu ke ruang sebelah.
Baru Tala akan menuang kopi ke dalam gelas plastik, seorang perawat senior datang meminta bantuan agar salah satu di antara Tala dan Ana mengganti cairan infus pasien di ruang kamboja.
"Aku aja, An. Kamu makan aja dulu kuenya." Tala melihat Ana sedang melahap kue yang terbuat dari tepung beras dengan isian kelapa campur gula itu. Ia tak tega.
Tala gegas pergi sampai melupakan kopinya, bahkan tutup tumbler malah ia masukan ke dalam saku seragamnya.
Sementara itu, Akhza yang sebentar lagi akan presentasi tiba-tiba saja datang ke meja tersebut membuat Ana kaget. Akhza memeriksa berkas berisi bahan yang akan dia presentasikan pada prof. Demian. Pria itu menggelar kertas yang masih belum tersusun rapi di atas meja, beberapa menit lagi prof akan datang. Ia mau semua penjelasannya tentang kasus yang tempo hari prof suruh kerjakan bisa membuat hati prof puas. Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Tangan Akhza tak sengaja menyenggol tumbler yang ia kira tak ada isinya. Padahal ....
Kertas putih dengan tulisan bahan untuk Akhza presentasi kotor terkena air kopi. Akhza bergeming, tugas yang ia buat dan susun sepenuh hati. Bahkan semalaman ia rapikan kembali agar makin bagus hasilnya saat dipersembahkan di depan prof. Bagaimana hatinya tak tersentak, kesal, sedih, dan marah bercampur jadi satu.
Ana yang mematung melihat kejadian itu ikut kaget, setelah ini Tala pasti jadi incaran kemarahan Akhza.
"Za, prof udah dateng. Buruan, bego!" Lavi, teman Akhza datang memberi tahu keberadaan prof.
"Ya ampun, Za. Elu malah bikin ulah di saat-saat terakhir gini?" sentak Lavi saat melihat kertas yang ia yakini bahan presentasi sudah kotor di atas meja.
"Bego beneran lu, Za. Sialan!" umpat Lavi membuat Akhza makin merasa kesal.
"Minta waktu bentar ke Prof, gue print ulang bahannya." Akhza pergi membawa serta tasnya. Ia harus segera cari printer yang dapat digunakan.
Ketika sudah mendapat printer yang bisa digunakan, Lavi menghampiri Akhza dengan kabar tak sedap.
"Prof nggak mau nunggu, katanya atur ulang aja jadwalnya."
Tulang belulang Akhza rasanya lepas dari seluruh tubuh, susah payah ia kerjakan dan atur jadwal dengan prof satu itu. Ia akhirnya kembali ke ruangan tadi, harus ada orang yang disalahkan atas kejadian ini.
Tala sendiri setelah mengganti cairan infus tak langsung kembali ke meja, ia diminta ikut ke ruangan lain oleh perawat senior. Ada nasi kotak untuk Tala, jelas gadis itu senang. Rezekinya hari ini datang dari berbagai arah.
Dengan nasi kotak di tangan, Tala melangkah sambil bersenandung menuju meja tadi. Ingat pada kopi yang ia abaikan. Namun, ia sedih ketika melihat tumblernya sudah kosong dan tergeletak di atas tumpukan kertas. Tak ada Ana di sana, tak ada yang bisa ditanyai siapa pelaku pembuat kopinya tumpah. Hingga derap langkah seseorang Tala tangkap oleh Indra pendengarannya. Tala yakini itu Ana, tanpa menoleh Tala sudah bersungut-sungut.
"An, siapa yang udah numpahin kopi aku? Dia nggak tahu apa kalo ini tuh aku buat pake dua sachet kopi yang biasanya aku irit-irit!"
"Dua sachet kopi seharga dengan kegagalan presentasi tugas, nggak?"
Itu bukan suara Ana, itu suara ....
"Bang Za," gumam Tala, amarahnya lenyap digantikan takut.
Lihat saja, pria dengan tubuh menjulang tinggi di hadapannya menampakan raut wajah penuh amarah. Pipinya memerah dengan urat-urat di daerah pelipis yang menonjol. Mata bulatnya menyipit, tengah memindai Tala.
"Kopi elo udah bikin acara presentasi gue ancur!" tegas Akhza nyaris tanpa suara, tetapi malah buat bulu kuduk Tala meremang.
Tala ingat, ia tak menutup Tumbler saat pergi tadi.
"Presentasi kali ini tuh penting buat gue, Tal. Dan kopi elo bikin gagal!" desis Akhza, wajahnya datar tetapi menyeramkan.
"Abang, maaf, Bang. Aku kira tumblernya tadi ditutup. Aku ...."
"Aku apa? Aku nggak sengaja Abang, aku nggak niat," ucap Akhza menirukan gaya bicara Tala. "Itu yang mau elo bilang?" lanjut Akhza.
Tala ingin mengelak, tetapi memang itu yang ingin ia ucapkan.
"Basi Tala, BA-SI!" Teriak Akhza tak sadar bahwa di belakangnya sudah berdiri mama Eca.
"Akhza!" teriak mama Eca.
Akhza lekas berbalik, mendapati sorot marah dari mama Eca.
"Bunda kamu udah negur kamu belum, sih?"
Mama Eca masih memupuk kesal karena kejadian semalam, kini harus melihat calon menantunya diamuk Akhza.
"Kaya gini anak yang sering dibangga-banggain keluarga?" ketus Mama Eca, membuat Akhza melongo. Kenapa jadi bawa-bawa keluarga?
"Rapikan barang kamu!" titah Mama Eca pada Tala membuat Tala mengangguk.
"Makan di ruangan saya, saja!" lanjut wanita itu.
Tala menurut, ia sejujurnya tak suka diperlakukan spesial oleh Tante Eca. Entah karena ia memang tak mencintai Rud, atau murni karena ingin mandiri? Tala bahkan tak bisa mengenali rasanya pada Rud.
Ada sesak saat aku melangkah
Tinggalkanmu yang tengah diliput amarah
Mengapa rasanya takut engkau marah?
Ingin kembali meski tak menjamah
Matamu yang memindai mataku
Buat lidahku kelu dan hati pilu
Aku tak mau kau keliru
Aku salah, aku menyusahkan mu
Tunggu aku kembali padamu
Kan kubalut kecewamu
Kutemani dalam sendu
Hingga kudapat maafmu
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Ibrahim Adjie Prawira
iya bener lagu asyik² nya baca eh malah harus di gembok
2024-08-10
0
Kasacans 5924
mama ayesha kok bgt sma abng
2024-07-28
0
Kaka Ilyas
ga suka ga suka mama ayesa ko begini😓
2024-01-18
0