Assalamu'alaikum, Bissmillah
Sepulang lari pagi, Akhza tak langsung masuk rumah lewat pintu utama. Ia membawa langkahnya menuju halaman belakang, melewati taman jida yang ditumbuhi berbagai macam tanaman hias serta beberapa pohon buah-buahan. Satu pohon sawo sedang berbuah, hampir di setiap dahan si manis itu tumbuh. Mangga bahkan sudah beberapa kali dipanen, lagi-lagi perkara mangga membuat Akhza teringat seseorang. Jambu kancing pun tak mau kalah, sedang ranum menggoda.
Tiba di teras belakang, Ikis si kucing jida yang biasanya tak mau berhenti mengikuti langkah Akhza bila belum dielus, sedang menyusui lima anaknya dalam kandang. Saat Akhza di Bogor, hewan kaki empat berbulu orange itu melahirkan dibantu oleh Bi Diah.
"Ikis ... Ikis, kali ini siapa lagi, Kis, bapaknya?" Akhza yang baru saja melepas sepatu jongkok di hadapan kandang Ikis. Hanya mengeong yang Ikis beri sebagai jawaban. Tubuhnya yang biasa lincah, terlihat lemah diserbu lima keturunannya yang berebut menyesap sumber kehidupan.
"Gemoy mau dibawa ke sini tau sama uti, di kampung dia bikin ulah mulu katanya."
"Ngeooong ...."
"Iya, dia gendut. Kerjaannya tidur, makan, tidur, makan sama bereproduksi. Nggak beda jauh sama kamu."
Akhza kemudian berdiri, sebelum pergi ia lihat wadah makanan dan minuman Ikis yang kosong. Untuk BAB, kucing itu selalu melakukannya di kamar mandi Bi Diah, sudah terbiasa.
"Aku udah kesiangan." Akhza melirik arloji yang selalu ia pakai. "Bibi aja nanti yang isi makanannya, ya!" lanjut Akhza kemudian segera masuk dan mendapati Attar sedang tiduran di pangkuan jida.
Televisi sedang menyiarkan ceramah pagi, sepertinya tak begitu fokus ditonton oleh jida dan Attar. Akhza penasaran apa yang terjadi dengan adiknya, ia yang tadinya hendak ke kamar memilih mendekat ke arah jida dan duduk tepat di dekat kaki jida.
"Sini di atas duduknya," protes jida pada kebiasaan sang cucu yang kalau habis dari luar rumah selalu segan duduk di atas sofa.
"Kenapa dia?" tanya Akhza sambil melirik Attar dan mengabaikan protes jida.
"Gue abis diputusin sama Sheila, Bang," jawab Attar merasa lebih baik langsung saja memberi tahu sendiri keadaannya.
"Bagus dong, satu sumber dosa udah menjauh dari kamu." Akhza mengerling ke arah jida, dibalas anggukan oleh wanita itu.
"Tapi masa mahasiswa pindahan jomlo sih, nggak keren ah," gerutu Attar.
"Emang kenapa dia mutusin kamu, bukannya kemarin dia masih ikut pengajian jida?" Akhza jadi kepo.
"Itu dia masalahnya. Dia chat aku semalam, katanya hubungan kita udah nggak bisa lanjut. Dia terlalu astagfirullah untuk gue yang Masyaallah, Subhanallah, dan tabarakallah, katanya. Maksudnya apa coba? Klise banget," omel Attar yang tak terima diputuskan lewat pesan bahkan nomornya langsung Sheila blokir.
"Jida kemarin sempet nyapa dia," sela jida menjawab keheranan Akhza. "Sempet ngobrol, ngajak makan juga, kok," tambah jida.
"Jida nggak ngomong aneh padahal, dia cuma tanya ke jida 'jida, kalo aku nikah sama Aa wajib ya pake baju kaya gini tiap hari?' hehehe." Jida menirukan kalimat Sheila.
"Jida jawab, Sheila tanya Aa. Biar dia yang jelasin," imbuh jida lalu menjeda kalimatnya dengan menyesap air nabeez.
Akhza masih mendengarkan penuh minat omongan jida.
"Aa jelasin kan, segala pake nyatut dakwah salah satu penceramah lagi." Jida tertawa, membayangkan tampang Attar kemarin.
"Gini ya, Sheila ... Menurut sebagian ulama, kegagalan seorang suami mendidik istrinya itu merupakan kesalahan yang akan berdampak pada peradaban manusia. Sebab, dari rahim wanitalah nanti akan lahir generasi-generasi baru. Janin yang dikandung oleh wanita shalihah, maka akan menghasilkan generasi shalih dan shalihah juga. Pun, sebaliknya. Berhijab memang tidak ada hubungannya dengan akhlak, tapi sebaik-baiknya wanita shalihah adalah dia yang menutup auratnya, bukan?" Jida menahan tawa ketika menirukan kembali gaya Attar menjawab pertanyaan Sheila.
"Dan intinya Sheila nggak mau hijaban?" tebak Akhza
"Iya, makanya gue diputusin," sambar Attar masih saja tak mau menampakkan wajahnya.
"Bersyukurlah, Tar. Allah masih ngejauhin kamu dari ladang maksiat. Sayang banget tuh Allah ke kamu," ujar Akhza sambil mengacak rambut sang adik kemudian berdiri dan pamit karena akan bersiap ke rumah sakit
"Susah deh ngomong sama orang yang hatinya beku. Heran nggak sirik apa sama kutub utara?" gerutu Attar padahal sang kakak sudah tak lagi di dekatnya.
"Kok sirik ke kutub utara?" heran jida.
"Iyalah, kutub utara aja mencair terus. Dia hatinya kapan mau cair, coba?" sahut Attar membuat jida memukul pelan pipinya.
"Itu abangnya udah kasih contoh paling bagus, malah dikatain."
"Ogah lah nyontoh abang, aku mau berguru ke Mas Ar aja. Atau ke Kang Andre sama Kang Deny sekalian." Attar beranjak duduk.
"Eh siapa mereka emangnya?"
"Pakar cinta, Jida. Aku pamit mandi dulu, deh," izin Attar pergi ke kamar.
Jida hanya menggeleng, berharap Attar tak larut dalam perasaannya.
***
"Room 204 ya, Za. Ingat, teliti teliti, teliti." Dokter dengan dandanan nyentrik melangkah lebar-lebar menuju ruang pasien, diikuti Akhza, Nauna, dan dua orang perawat lainnya.
Konsulen Akhza hari itu cukup gaul soal dandanan, atau lebih ke slengean? Rambut bagian atasnya diikat bak pemain bola, oh, bisa-bisanya dia santai begini. Celananya juga denim ala ala anak band. Bahkan sepanjang visit tak henti ia menggoda pasien wanita yang kebetulan masih muda-muda.
"Yang bener dong, Nauna betulin jarum infusnya!" teriak sang dokter.
Tak tahukah dia, Nauna itu siapa?
"Kan, 'kan, 'kan ... Berdarah jadinya!" lanjut sang dokter membuat Akhza yang baru selesai mengganti infus pasien lain mendekat.
"Ada apa, Dok?" Akhza lihat Nauna sudah menunduk. Meski Nauna memang menyebalkan, tetapi Akhza tak tega melihat gadis itu ketakutan.
"Dia betulin letak infus saja nggak bisa. Oh, ya, bedain tablet sama kapsul juga nggak tahu, 'kan?" sindir sang dokter sembari berlalu. "Kamu beresin, Za!" suruh sang dokter selanjutnya.
Posisi pasien yang akan Akhza betulkan letak infusnya malah mengingatkan Akhza pada seseorang. Dia yang sering kesulitan menaruh botol infus, tetapi cekatan dalam melayani pasien. Yang selalu mampu membuat pasien tertawa.
"Sroook, huhuhu ...." Nauna malah menangis.
"Kalau nggak mau dimarahin, jangan bikin salah," bisik Akhza yang telah selesai membetulkan letak jarum infus. "Nyaman, 'kan, Pak?" tanya Akhza ramah membuat sang pasien menjawab iya dan bilang terima kasih.
"Kamu mau di sini terus? Pindah ke pasien lain!" desis Akhza.
"Aku nggak mau lanjut, aku udah nggak kuat!" balas Nauna malah berlari meninggalkan ruangan.
Hentakan kakinya membuat seluruh orang dalam ruangan menoleh. Mereka saling melempar pandang karena heran dengan tingkah Nauna.
"Kenapa, Za?" selidik dokter slengean.
"Mungkin kebelet, Dok," jawab Akhza lantas kembali tekun dengan pasien selanjutnya.
"Dokter macam apa membiarkan pasien dengan alasan kebelet. Cocoknya jadi artis malah pengen jadi dokter. Ya nggak bisa, dong?" Dokter itu memutar bola mata, kesal.
"Semangat sehat semuanya, ya! Ingat pola makannya dijaga, jangan makan gorengan sama es boba keseringan. Apalagi kaefsi, selain nggak baik untuk kesehatan badan juga merusak kesehatan dompet," kelakar dokter nyeleneh sebelum meninggalkan ruangan.
"Za, abis ini kita ke ugd. Tapi, sebelumnya kamu beliin saya gorengan depan rumah sakit sama pop ice rasa permen karet, ya!" suruh dokter itu membuat Akhza melongo. "Pakai uangmu," lanjut sang dokter makin buat Akhza terpaku.
Namun, mau tak mau Akhza menuruti titah sang dokter pembimbingnya. Ia tak mau ribut dengan menolak keinginan pria itu. Sebelum membeli apa pesanan konsulen, Akhza lebih dulu mengambil dompetnya di tas yang disimpan di ruangan khusus dokter koas. Di sana, ia mendapati Nauna masih saja menangis.
"Aku tuh nggak mau jadi dokter ... Nggak mau! Tapi demi nurut ke mama papa sama biar deket terus sama Bang Za aku ngelakuin ini," monolog Nauna.
"Aku sekarang ngerasa udah cape, ini bukan aku banget. Aku tuh maunya jadi artis, tau!" Nauna mengacak rambutnya sendiri.
"Kenapa nggak jujur aja kalo memang terpaksa?" Akhza memberanikan diri bersuara.
"Ya nggak bisa dong malaikat, nanti papaku marah!" Nauna ini benar-benar, masa Akhza dikata malaikat.
"Daripada maksain kehendak papamu tapi hasilnya nggak bener," sela Akhza.
"Kok malaikat lama-lama suaranya mirip Bang Za."
Nauna mengangkat kepala, "mukanya juga mirip."
"Ini emang gue, Nauna!" sentak Akhza pada akhirnya.
"Ah masa? Biasanya Bang Za kalo ngomong suka singkat. Bikin bingung," ungkap Nauna menyipitkan mata tetapi si jangkung yang ada di hadapannya memang nyata adalah Mahija Akhza. "Hih, beneran Bang Za, hihihihi."
"Sakit, lu!" cibir Akhza seraya mengayun langkah tetapi dalam hati tetap khawatir dengan kondisi Nauna. Biar bagaimana, keluarga Nauna sudah seperti keluarganya sendiri. Kedekatan Tante Rere dan Om Guntur dengan ayah bunda sudah seperti saudara.
Derita anak koas memang selalu penuh warna, salah satunya yang dialami Akhza ini. Masih mending ia hanya diminta cuma membeli gorengan dan pop ice. Sepanjang kembali membeli dua pesanan dokter nyentrik Akhza terus menerus mendapat tatapan aneh dari para penghuni rumah sakit. Namun, ia masa bodo saja yang penting dokter pembimbingnya suka.
"Besok-besok saya minta roti kopi ya, Za," celetuk sang dokter setelah gorengan dan minumannya habis.
"Siap dokter!" seru Akhza.
"Yang kalem jawabnya, kaya nggak ikhlas," gerutu si dokter nyentrik.
"Baik, dok," sahut Akhza lembut.
"Yang tegas, masa lembek kaya penata rias saja."
Akhza hanya mengangguk saja, dan satu lagi, benar kata Attar koas adalah kumpulan orang-orang salah.
***
Malamnya Akhza baru sadar bahwa sedari pagi ia tak melihat keberadaan Tala di rumah sakit. Ia yang malam itu bertugas jaga kembali di UGD, memutuskan menyusuri seluruh sudut ruang rumah sakit. Sebetulnya bisa saja pria itu bertanya pada para perawat tentang keberadaan Tala, tetapi entah gengsi atau ketidak beranian dalam diri yang membuatnya memilih lelah menyusuri setiap ruang tanpa mendapat jawaban selain ketiadaan Tala.
"Dari mana, lo?" Lavi keheranan melihat tampang lelah Akhza yang seperti habis lari saja.
"Olahraga malem," jawab Akhza singkat, ia kemudian masuk sebentar ke UGD mencuci tangan dan mengambil tisu untuk mengelap keringat di dahinya.
Ketika kembali ke depan ruangan Lavi sedang asyik menikmati makanan yang entah apa sampai mulutnya penuh. Akhza menggeleng ketika temannya itu menawarkan sesuatu, seperti permen tetapi lebih besar ukurannya.
"Ini manisan kulit jeruk, oleh-oleh dari Ana. Manis, kaya yang ngasih." Lavi menerangkan makanan yang kembali ia kunyah itu.
"Ananya ke mana?" Akhza berharap bisa juga mengetahui keberadaan Tala.
"Ana sama Tala dan beberapa anak lain udah selesai dari kemarin PKL-nya. Mereka balik ngampus," terang Lavi membuat mata Akhza melebar.
Jadi Tala udah nggak di sini? Ke mana gue harus cari dia? Ke kostan-nya? Apa dia mau maafin gue? Nomor gue aja dia blokir?
"Gue pulang bentar bisa 'kan? Belum ada pasien ini." Akhza minta izin pada Lavi, tetapi belum juga bibirnya kering dua orang petugas keamanan sudah datang mendorong kursi roda membawa pasien.
"Nggak bisa, Za. Kerjaan nunggu, tuh!" Lavi menarik tangan Akhza masuk ke dalam ruangan.
Kesalahan gue kali ini ke Tala mungkin terlalu besar, wajar kalau dia marah.
Sementara itu di tempat lain, Tala tak bisa tidur nyaman padahal berada di kamar dengan fasilitas mewah. Ruangan besar dengan AC yang sejuk serta tempat tidur king size tak mampu membuat matanya terpejam padahal seharian tadi di kampus ia dibuat lelah. Bagi Tala lebih baik langsung praktik daripada mendengarkan teori yang membuat ngantuk.
Pikiran gadis itu terus menerus dipenuhi tentang Akhza, pasti ada hal penting yang ingin disampaikan pria itu hingga mengirim pesan beruntun ditambah panggilan yang tak hanya sekali. Sayangnya, ponsel yang ia pegang bukanlah nomornya. Bahkan pada kontak benda pipih itupun tak ada nomor Akhza tersimpan.
Tala beranjak duduk, ia membuka twitter sebagai satu-satunya media sosial yang dipunya. Gadis itu tak minat memakai instagram atau facebook, sebab dua aplikasi tersebut memiliki kenangan buruk yang sempat membuat mentalnya jatuh.
Ketika mengetik nama Akhza, tak satupun Tala menemukan akun yang cocok dengan apa yang dicarinya. Kepalanya malah dibuat pusing, hingga akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan menuju jendela. Membuka tirai dan menatap rintik hujan yang terlihat tulus berjatuhan.
Hujan, ajari aku caranya ikhlas sepertimu
Tetap setia pada ketentuan penciptamu
Meski jatuh berkali-kali kau tak mengeluh
Meski bahkan manusia menghujat hadirmu
Hujan, atau kau mau bawa saja gundahku
Biarkan dia hanyut sampai ke hulu
Melebur menjadi satu dengan apapun itu
Hingga tiada lagi dia menyesak dadaku
***
"Tala masih belum pulang, janjinya sehari doang. Mana tikusnya dititipin ke saya."
Esoknya Akhza nekad sekali pergi ke kostan Tala, alih-alih bertemu dengan gadis itu ia malah disuguhi omelan tetangga Tala.
"Saya risih loh sama suara berisik ini hewan," sambung perempuan yang memakai seragam coki itu. "Saya juga sama punya kesibukan," tambahnya.
Oh, mungkin dia guru. Pikir Akhza.
"Masnya bawa aja deh nih tikusnya, saya stress jagainnya."
Dengan sangat terpaksa Akhza menerima hewan peliharaan Tala beserta penghuninya itu. Akhza masih gamang, ia justru takut Tala tambah marah, tetapi sepertinya dengan cara ini ia bisa bertemu Tala.
"Kalau kamu bisa bikin saya ketemu sama Tala, saya beliin kuaci yang banyak nanti."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Kaka Ilyas
ya salamm🤣🤣bingung sendiri ya abang
2024-01-21
0
Kaka Ilyas
🤣🤣🤣
2024-01-21
0
Kaka Ilyas
dasar nauna
2024-01-21
0