Assalamualaikum, Bissmillah.
Akhza segera menemui Dokter Wil yang masih berada di depan ruang rawat, pria itu duduk di meja tempat anak PKL menaruh tas.
"Tala bukan pesuruh, Dokter Wil bisa pergi sendiri kalau mau kopi." Tanpa basa-basi yang lain, Akhza meletakan uang biru di samping paha Dokter Wil.
Akhza melupakan perut perihnya dan kembali ke luar dari gedung rumah sakit. Ia memilih untuk pulang saja, besok sore jadwal presentasi bersama Prof. Damian tak boleh gagal lagi.
Jalanan di tengah malam masih saja ramai, warung-warung tenda yang dipenuhi pembeli sedikit saja tak membuat Akhza tertarik untuk mampir. Aroma ayam goreng dan makanan lainnya sama sekali tak buat air liur Akhza menetes. Ia lebih tergoda untuk segera sampai rumah dan makan puding buatan jida.
Sesampainya di rumah, Akhza yang selalu membawa kunci cadangan langsung bisa masuk rumah tanpa mengganggu siapa-siapa. Langkah pria itu langsung tertuju pada lemari pendingin. Mengambil puding coklat yang jida buat tadi pagi khusus untuknya. Sebelum menikmati makanannya, Akhza melepas dahulu jaket dan celana panjangnya. Ia lebih nyaman mengenakan celana rumahan dengan kaos oblong tipis.
"Abang, ke mana dulu baru pulang?" Suara jida mengagetkan Akhza. Hampir ia tersedak bila tak lekas menelan pudingnya.
"Jida, kok belum tidur?" Akhza balik bertanya seraya berdiri dan lekas mencium punggung serta telapak tangan sang nenek. "Aku tadi mantepin baca tulisan buat besok presentasi," ucap Akhza selanjutnya.
"Di tangga rumah sakit?" tebak jida, selalu tahu kebiasaan sang cucu karena memang hanya pada wanita itu Akhza bisa bercerita banyak hal.
Akhza mengangguk, "aku lebih suka sepi."
"Sepi aja, jangan ditambah ke sama an," seloroh jida.
"Kesepian dong!" seru Akhza seraya menarik satu kursi meja makan untuk jida duduk.
“Jida kenapa belum tidur?” ulang Akhza lahap memakan pudingnya.
“Nunggu Abang pulang, nggak tenang hati Jida kalo belum denger suara mobil di depan rumah.” Naluri jida mewakili seluruh perasaan seorang ibu ketika sang putra belum pulang.
Akhza menepuk jidat, merasa bersalah karena tak memberi tahu jida akan pulang telat.
“Jida sampe telpon ke Mas Ar, jida kira Abang pulang ke sana.”
Akhza baru ingat, ponselnya sengaja ia matikan sebab tadi dalam pesan grup keluarga berisik sekali kedua adiknya berbalas pesan jahil saling meledek.
“Nih bunda pasti riweuh nih, Jida. Aduh,” keluh Akhza segera menyalakan ponsel dan benar saja spam chat dari bunda menghiasi layar ponsel.
“Bunda bilang apa?” Jida senyum-senyum melihat Akhza yang meringis.
“Abang emang ke mana dulu? Ini bunda nggak bisa tidur nih, sampe jam segini baru lega,” ucap Akhza membaca pesan terkini dari sang ibu.
“Plus foto ayah lagi tidur meluk guling,” lanjut Akhza memperlihatkan foto ayahnya.
“Mirip banget sama kamu kalo lagi tidur,” komentar jida.
“Gantengan aku lah, ini mah bentar lagi juga keriput. Punya cucu udah nggak keren lagi,” canda Akhza lalu melanjutkan menghabiskan sisa puding di atas piring.
Jida pamit setelah memastikan cucunya baik-baik saja, beliau sekarang bisa tidur dengan perasaan lega.
Sementara itu, Tala dan Ana kembali ke depan ruang perawat dan mendapati Dokter Wil sedang berbincang dengan dokter koas angkatan Akhza.
“Berani banget emang Akhza tuh, cari perkara dia sama Dokter Wil.”
Tala sengaja berhenti melangkah, ia juga mencegah langkah Ana agar berhenti.
“Kamu kenapa sewot? Saya saja santai,” sindir Dokter Wil.
“Songong bat itu kelakuan Akhza!” seru pria berkacamata itu.
“Yang dibilang dia ada benarnya juga, kok. Kamu kalau punya masalah sama dia selesaikan. Jangan ajak saya buat benci sama dia. Saya pulang dulu,” pamit dokter Wil dan melangkah meninggalkan dokter koas yang selalu iri pada Akhza.
Tala baru berani melangkah setelah dokter Wil pergi. Ia sengaja berjalan menghentakkan kaki agar dokter koas berkacamata itu sadar bahwa baru saja Tala mendengar percakapan mereka. Namun, pria itu malah pergi seolah tak terjadi apa-apa.
“Mulutnya kaya mulut emak netizen,” celetuk Ana.
“Kali ini aku setuju sama kamu,” timpal Tala.
“Setuju karena yang digosipin kan dokter Akhza, hahaha,” ledek Ana membuat Tala memukul lengannya.
“Jangan ngambek atulah, mending kita cari lapak buat tidur. Kuy!” Ana segera menyeret lengan Tala untuk pergi dari tempat itu.
***
Tante Eca baru keluar dari ruangan sambil menguap ketika Tala sudah menyelesaikan shiftnya.
“Ibu tidur di ruangan? Saya kira pulang,” sapa Tala yang memang harus melewati ruangan Tante Eca untuk keluar dari gedung rumah sakit.
“Saya ketiduran, Tal. Duh, mana Rud marah-marah kirim saya pesan,” adu Tante Eca sambil memijat pelipis. Punggung terasa sakit sebab ketiduran di kursi.
“Ya udah, ke depannya bareng, Bu” ajak Tala.
“Kamu pulang ke rumah saya saja, ya. Saya kayanya nggak kuat ngurus Rud. Mau pijat,” pinta Tante Eca membuat kerutan di kening Tala.
“Nanti ganti pakai baju saya saja, istirahat di rumah saya juga,” bujuk Tante Eca.
“Tapi, Bu, say__”
“Kamu sama Rud jarang menghabiskan waktu berdua, gimana mau saling kenal? Mau, ya,” pangkas Tante Eca meyakinkan Tala.
Sejujurnya, Tala merasa risih dan takut Rud bersikap seperti kemarin lagi. Ia tahu, memang sebaiknya dirinya dan Rud lebih sering menghabiskan waktu bersama. Namun, entah mengapa tak ada perasaan bahagia yang meledak atau sedikit saja getaran di hati Tala ketika bersama Rud.
“Bu, baru pulang?” sapa seorang siswi PKL yang juga hendak pulang. Gadis itu berhenti sejenak di hadapan Tala dan Tante Eca.
“Iya,” jawab Tante Eca singkat.
“Duluan ya, Bu,” pamit gadis itu lalu pergi.
“Yuk, Tal. Saya pusing banget!”
Tante Eca berjalan lebih dulu membuat Tala segera mengekor langkahnya. Tala mengetik pesan pada Ana untuk jangan menunggunya karena ia akan pulang bersama Tante Eca.
Tante Eca terlihat lelah ketika menyetir, berkali-kali menguap dengan pelipis yang terus menerus ia pijat. Tala berkali-kali melirik wanita itu, jujur saja ada perasaan takut disopiri Tante Eca.
“Kamu bisa nyetir, Tal?” tanya Tante Eca.
“Nggak bisa, Bu,” sahut Tala.
“Ini udah di luar rumah sakit. Panggil Tante aja,” ralat Tante Eca membuat Tala mengangguk. “Nanti minta ajarin Bang Rud, Tal. Biar gampang kalau ke mana-mana. Jangan kaya Tante Bumi, dia itu nggak bisa nyetir. Jadi ke mana-mana harus sama suaminya, repot ‘kan tuh si Akash!” lanjut Tante Eca.
Tala mengangguk, meski dalam benak ia lebih ingin seperti Tante Bumi. Bukankah lebih aman dan nyaman bila pergi bersama suami?
Tante Eca dengan lihai membelokkan setir masuk ke gerbang komplek, wanita itu membuka kaca mobil dan menyapa ramah satpam yang berjaga. Hingga tiba di rumah, Om Laut sudah ada di depan membukakan gerbang.
“Kok bisa ketiduran sih, Ma?” tanya Om Laut sekilas mencium kening istrinya, membuat wanita itu melirik Tala.
“Malu, ih!” bisik Tante Eca. Om Laut malah nyengir, ia hanya sedang berusaha membuat hubungannya dengan sang istri kembali hangat.
“Masuk, Tal. Rud barusan aja turun, tidur tuh di sofa depan tivi.” Om Laut membawakan tas Tante Eca yang berjalan sambil lagi-lagi memijat pelipis.
Benar kata Om Laut, Rud sedang tiduran di sofa tetapi tak tidur. Ia terlihat pucat dengan mata sayu.
“Sayang, kenapa tidur di sini?” tegur mama sambil duduk di samping kepala Rud.
“Takut mati, nanti nggak ketahuan. ‘kan nggak lucu,” sahut Rud, sarkas.
“Ih, kok gitu sih ngomongnya. Ada Tala, tuh,” beri tahu mama sambil melirik Tala yang masih berdiri.
“Duduk, Sayang!” suruh Tante Eca pada Tala seraya menunjuk sofa kosong.
Tala baru berani duduk, ia selalu ingat kata ayah bila bertamu sebelum sang tuan rumah menyilakan masuk atau duduk tetap saja diam dulu.
Baru mendaratkan bokong di atas sofa, ponsel Tala dalam tas bergetar tanda pesan masuk.
Ayahku Tersayang ❤️
[Iya, hati-hati ya, Nak. Harus bisa bawa diri dan jaga diri. Jangan lupa telepon Emran]
Tala tak membalas pesan ayah, Tante Eca lebih dulu memanggilnya.
“Temenin Tante bikin sup ayam, yuk! Eh atau kamu mau istirahat dulu?”
“Aku sempet tidur kok, jadi nggak ngantuk, Tan.”
Tala tak bisa tidur nyenyak di rumah orang lain senyaman apapun tempat itu.
Tante Eca ke dapur lebih dulu, Tala sendiri berusaha bersikap ramah pada Rud dengan menyapa dan meliriknya sebentar. Pria itu acuh tak acuh, malah berbaring membelakangi Tala. Sikapnya yang seperti itu lebih disukai Tala daripada harus manja seperti kemarin.
Di dapur, Tante Eca sedang mengeluarkan sayuran dari lemari pendingin. Ia juga mengeluarkan ayam dari freezer sebagai bahan campuran membuat sup. Baru saja mengenakan celemek, ponsel Tante Eca yang ada di atas meja makan berdering. Wanita itu segera memeriksa dan mendapati adik iparnya yang menelepon.
“Malem ketemu Abang, nggak? Dia ngapain ya di rs sampe malem padahal bukan jadwalnya?” tanya Tante Bumi dari seberang sana setelah mengucap salam.
“Malem Kakak ketiduran di ruangan, kok kamu tahu Kakak ada di RS?” Tante Eca balik bertanya.
Tala mengambil alih memotong brokoli, ia saksama meneliti sayuran itu takut ada binatang di sela-selanya. Namun, usaha Tala sia-sia. Brokoli Tante Eca jelas kualitas terbaik. Mana ada binatangnya, beda dengan dirinya yang suka beli sayuran di warung kecil.
“Umi nelpon Mas Ar kasih tahu abang sampe tengah malem nggak pulang. Pagi dia nggak sarapan, nggak bawa bekel juga. Aku tanya ke restoran, katanya tuh anak nggak dateng minta makan. Pasti sibuk sama tugas sampe lupa makan,” celoteh Tante Bumi dari seberang sana.
Tala yang kini beralih memotong wortel, dapat dengan jelas mendengar suara Tante Bumi sebab Tante Eca membuat panggilan dalam mode loud speaker.
“Tala liat Abang nggak malem?” bisik Tante Eca.
“I-iya, sempet ketemu sebentar sekitar jam setengah dua belas.” Tala mendadak gugup.
“Dia malem ada kok di RS, Tala liat katanya. Coba kamu telepon ke Abang langsung ngapain aja semalam di RS,” saran Tante Eca.
Tante Bumi menjawab iya, dan bilang maaf sudah mengganggu juga mengatakan terima kasih buat info tentang putranya.
“Padahal anak Tante Bumi tiga, eh empat sama Ara, tapi kalau satu aja jejaknya nggak kedetect dia riweuhnya bikin semua orang keseret, Tal,” jelas Tante Eca membuat Tala hanya mengangguk.
Gadis itu lebih memikirkan Akhza, berarti pria itu tak makan seharian kemarin? Kenapa jadi Tala yang penasaran?
Acara membuat sup terus berlanjut, hingga setelah matang Tante Eca meminta tolong pada Tala untuk mengantarnya ke kamar Rud sedangkan dirinya sendiri hendak menyiapkan baju untuk suaminya.
***
Tala sampai di kost tepat ketika azan Asar berkumandang, tadi di rumah Tante Eca ia tak sempat tidur. Ketakutannya akan sikap manja Rud tak terjadi, pria itu malah seharian di kamar tak mau diganggu. Bahkan saat Tala mengantarkan sup untuknya, Rud hanya mengucap terima kasih tanpa bilang ingin ditemani. Ia lebih asyik mengobrol dengan seseorang lewat sambungan telepon.
Gerakan Tala lunglai menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan segera salat ashar. Selesai salat tadinya Tala ingin tidur lagi sejenak, tetapi kabar dari Ana lewat pesan yang diterimanya membuat kantuk gadis itu menghilang begitu saja.
[Pak Gun dirawat, semalam warungnya jadi sasaran tempat beberapa anak STM tawuran. Niat mau melerai, Pak Gun malah kena sabetan celurit]
“Trus gimana keadaannya? Kok kamu baru kasih tahu sekarang?” ketik Tala pada layar ponsel.
Ana Maria BFF
[Udah siuman, tinggal pemulihan. Aku dikasih tahu Mas Lavi]
Tala membelalakkan mata, sejak kapan Ana dekat dengan Lavi?
“Sekarang kamu di mana?”
Ana Maria BFF
[Rumah sakit, Mas Lavi mau presentasi sama Bang Za ‘kan ... 🤭]
Tala mengernyitkan dahi, apa Ana punya hubungan dengan Lavi? Susah ditebak memang anak itu.
Tala sejenak berpikir, kalau saja semalam ia dan Ana jadi ke warung Pak Gun mungkin dirinya juga akan kena imbas dari tawuran itu. Tala jadi merasa Akhza adalah penolongnya tadi malam. Gadis itu gegas beranjak, mengganti pakaian dan membuat beberapa roti dengan isian coklat pasta yang akan ia berikan pada Akhza sebagai ungkapan terima kasih.
“Bissmilah aja, moga nggak dicuekin,” harap Tala sambil memasukkan wadah bekal ke dalam totte bagnya.
***
Akhza, Lavi dan Daren masuk ke ruangan yang biasa dipakai untuk presentasi dengan wajah tegang. Dalam presentasi itu, Akhza menjadi pembicara sedangkan Lavi sebagai penanggung jawab kasus. Padahal, sebenarnya semua hampir Akhza yang mengerjakan sendiri.
Akhza lantang berbicara, dengan bahasa lugas dan tak bertele-tele membuat Prof. Damian terlihat puas dan memberi nilai baik pada kelompok mereka.
“Tingkatkan lagi, banyak belajar dari senior. Jangan cepat puas dan bangga dengan pencapaian sekarang, kalian bisa lebih baik dari hari ini.”
Ketiga orang itu keluar dari ruangan dengan wajah semringah, Akhza bahkan mengulum senyum, hal yang jarang ia lakukan. Lavi dan Daren beda lagi, sudah jingkrak-jingkrak saja. Bahkan, Lavi tak segan memeluk Ana yang memang sedang menunggu bersama Tala di depan ruangan itu.
“Berhasil ya, Bang?” tanya Tala mendekat ke arah Akhza.
Akhza hanya mengangkat sebelah alis sebagai jawaban, lalu ia pergi tanpa patahan kata. Tala sempat kesal, tetapi ia kesampingkan perasaan itu dan mengekor langkah Akhza.
“Mau ke mana?” Tala coba mensejajarkan langkah dengan Akhza. Kaki pria itu panjang, jadi bebas melangkah lebar.
“Nengok Pak Gun,” jawab Akhza tanpa memelankan langkah padahal Tala sudah sangat kepayahan.
“Boleh ikut? Aku juga pengen liat,” pinta Tala.
“Punya kaki, sudah besar pula. Jalan aja kalau ingin ikut.” Akhza sedikit saja tak menoleh membuat Tala menarik jas putihnya dan pria itu terpaksa menghentikan langkah.
“Kenapa lagi?” protes Akhza, ia terpaksa menoleh. Pandangan keduanya bersirobok, mata bulat dengan bulu lentik Akhza membuat Tala segera menunduk. Selain tak tahan dengan sorot yang terasa menghunus jantungnya, Tala juga hendak mengambil kotak makanan dari dalam totte bag.
“Buat anda,” ucap Tala spontan sambil menyerahkan kotak itu pada Akhza. “Higienis, roti sama coklat pastanya juga halal. Semuanya yang anda belikan untuk saya beberapa hari lalu,” lanjut Tala membuat Akhza ingin tertawa tetapi jelas ditahan. Oh, tidak mungkin!
“Dalam rangka apa?” selidik Akhza sambil mengambil kotak itu lalu membuka tutupnya. Jujur saja, perutnya memang perih. Hari ini ia baru sempat minum air nabeez.
“Ucapan makasih, kemarin malam anda sudah menyelamatkan saya secara tidak langsung dari bahaya tawuran di warung Pak Gun, ‘kan,” ungkap Tala.
“Terima kasihnya sama Allah harusnya, saya juga nggak tahu ‘kan kalau ada tragedi itu. Tapi, makasih buat rotinya,” balas Akhza lalu kembali mengayun langkah membuat Tala melakukan hal yang sama.
Pak Gun dirawat di room 204, saat Akhza dan Tala tiba pria itu sedang tertawa mendengar cerita sang cucu, Ramon. Ramon sudah berusia 15 tahun, tetapi tingkahnya masih seperti anak sembilan tahun. Tumbuh kembangnya tak sebagus anak seusianya, bahkan pemuda itu bisa lancar berjalan ketika usia empat tahun dan lancar bicara saat usia tujuh tahun. Akhza dan Tala tak banyak bertanya soal kejadian kemarin malam, keduanya hanya memberi semangat pada Pak Gun. Mereka juga tak lama di ruangan itu, segera pamit setelah merasa cukup berada di sana. Namun, Ramon menjegal lengan Akhza.
“Bang Dokter bawa apa?” tanya anak itu sambil melirik kotak makan di tangan Akhza.
“Roti, Ramon mau?” tawar Akhza.
“Mau semua,” sambar Ramon.
“Mon, nggak boleh gitu,” tegur Pak Gun.
“Nggak apa, kasih aja, Bang.” Tala menengahi, ia juga tak mau buat Akhza merasa bingung.
Kotak bekal itu akhirnya berpindah ke tangan Ramon, Akhza jadi merasa tak enak pada Tala.
“Tal, ikut saya yuk!” ajak Akhza ketika keduanya sudah keluar dari ruangan. Tala tak dapat menolak, karena belum juga bilang ya atau tidak Akhza sudah melangkah lebih dulu membuat Tala membuntuti langkahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Kaka Ilyas
manusia trofis😆
2024-01-19
0
Kaka Ilyas
iri bilang bos/Facepalm/
2024-01-19
0
Kaka Ilyas
ayesha ko gitu sih
2024-01-19
0