NovelToon NovelToon

Menunggu Jandamu

Bukan Kompetisi

"Mama yakin, Rud kali ini bisa selangkah lebih maju dari Bang Za." Seorang wanita yang sedang menggunting kuku, bicara penuh keyakinan pada putranya yang sedang asyik main game pada ponsel.

"Anjiiir, gue bilang bantu, juga. Asu!" umpat pria itu malah mengabaikan ucapan Sang ibu.

"Nggak bisa gitu, ngaco!" teriak pria yang disebut Abang itu

"Gue bilang maju! ... hello! Buta banget itu udah sekarat bang sad!" pekik pria itu lagi, sambil melempar ponsel ke pojok ruangan. Jika ponsel itu benda hidup, pasti sudah menjerit kesakitan.

"Apakah kamu mau hidup denganku?" Suara dari ponsel memekikkan telinga.

"Semakin besar kekuatanku semakin kecil ...."

klik

Seorang pria yang masih mengenakan jas mengambil ponsel itu dan mematikan dayanya.

"Udah besar, udah dewasa. Kalah main game masih ngambek." Dia taruh ponsel ke atas meja.

"Abang pulang cepet, aku belum dandan." Wanita yang sedang menggunting kuku langsung berdiri sambil mencium punggung tangan suaminya.

"Kamu lupa? kita mau ke rumah umi buat arisan keluarga, 'kan?" Pria itu namanya Laut, ia kecup sekilas kening istrinya kemudian melirik sang putra -Rudrapia Ganendra- "Rud, ayo siap-siap. Kita ke rumah jida."

Rud hanya mengangguk, malas sekali sebetulnya bertemu dengan tiga adik sepupunya yang selalu jadi kebanggaan keluarga besar. Apalagi pria bernama Akhza, seorang calon dokter yang selalu jadi kiblat contoh akhlak terpuji bagi seluruh cucu uti.

"Lihat, Bang Za, sudah pintar, nggak neko-neko, rajin ke mesjid pula."

Bukankah pria seperti itu, hidup di era sekarang sudah layak dilabeli pria ketinggalan zaman. Pria lurus, tak minum alkohol, tak merokok, tak tahu dunia malam, tak tahu indahnya have fun dengan perempuan? Sungguh tak mengasyikan.

Di kamarnya, Rud menatap layar ponsel yang tengah menampilkan pesan dari temannya. Tadi saja di banting, sekarang ia pandangi lagi. Kalau ponsel dengan merek apel tergigit itu bisa ngomong sudah pasti ia menjerit tak mau lagi disentuh si empunya.

Brandon

[Bro, Rider sejati kita! Ada event di Jepara, nih. Kuy, ikut]

[Lama lu balesnya, nge-club yuk? Gia kangen tuh sama Abang Sayang 🤣]

Rud keluar dari aplikasi tanpa membalas pesan temannya itu, ia melempar kembali ponselnya. Lagi-lagi, begitu pasti kata si benda pipih. Disentuh hanya saat butuh. Sebulan sudah Rud tak aktif di dunia garuk dan cakar tanah. Papa Laut memberinya ultimatum, jika masih ikut acara grass track, seluruh tunjangan yang diberikan termasuk motor kesayangannya akan dibekukan. Rud jelas tak mau, ia tak biasa hidup miskin.

Pria itu beranjak menuju kamar mandi, hanya mencuci wajah dan lekas mengganti baju rumahan dengan kemeja dan celana denim biru yang membungkus kaki panjangnya.

"Rud, cepetan!" teriak sang mama sambil mengetuk pintu.

Rud lekas menyambar kembali ponselnya, ia gegas membuka pintu yang sedang digedor tak sabaran oleh sang nyonya rumah.

"Nah gitu dong, cakep 'kan!" komentar mama saat melihat Rud rapi mengenakan kemeja.

"Emang cakep, kalian aja yang selalu banding-bandingin sama Bang Za. Jadi, aku kesannya jelek," sindir Rud sambil lalu.

"Rud, Tala udah kamu telepon?" Sang mama mengalihkan pembicaraan.

"Mama aja yang telepon, males aku sih!" ketus Rud

Mama menghela napas, putranya itu kapan bisa dengan sadar menerima Tala? Gadis yang hendak ia jodohkan dengan sang putra. Akhirnya mama mengirimi pesan pada Akhza, agar mengajak Tala yang juga sedang magang sebagai perawat di rumah sakit yang sama dengan ponakannya itu. Mama harap, Akhza bisa membujuk Tala untuk ikut ke rumah umi.

***

Kemayoran, Jakarta Pusat - Rumah Jida

Seorang pemuda mengenakan kemeja flanel tengah memetik gitar dengan pria yang beberapa tahun lebih tua darinya sedang bersenandung. Pria itu begitu menghayati lirik yang dinyanyikannya, seolah ungkapan kerinduan pada seseorang.

Tahukah engkau wahai langit

Aku ingin bertemu membelai wajahnya

Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah

Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini kuciptakan

Hanya untuk bidadari hatiku tercinta

Walau hanya nada sederhana

Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

(Kerispatih-lagu rindu)

Tiba-tiba wajah pria itu jadi sendu setelah selesai bernyanyi.

"Ara lagi apa, ya?" katanya.

"Lagi ngedate sama dosen pembimbing yang lebih ganteng dari kamu, Mas," celetuk seseorang yang baru tiba di ruangan itu.

"Abang, jangan nakut-nakutin!" sentak pria yang dipanggil mas itu.

"Lah, emang kamu bocah mesti ditakut-takutin?" Pria yang disebut abang tertawa sambil melirik pemuda yang sedang memegang gitar sambil berpikir selanjutnya lagu apa lagi yang enak dibawakan?

"Tar, jida nanti ngomel loh gitaran di dalem rumah." Pria yang mengenakan kemeja putih dengan celana navy itu mengacak rambut pria yang memegang gitar, membuat si empunya rambut berdecak kesal.

"Abang mulutnya mending diem, kalo ngomong nyelekit ke hati." Pria yang merasa ditakut-takuti tadi bersungut.

Baru pria yang disebut abang akan menimpali, sebuah suara memanggil mereka bertiga.

"Bang Za, Mas Ar, Aa!"

Ketiga pria pemilik nama Akhza, Aro, dan Attar itu saling melempar pandang.

"Kamu buat salah nggak?" tanya Akhza pada Attar, adik bungsu yang barusan main gitar. Pemuda itu menggeleng.

"Kamu kali, Mas, buat salah?" tuding Akhza pada Aro, kembarannya. Ya, mereka berdua kembar tetapi dengan watak bertolak belakang.

"Bunda panggil sekali lagi, kalau nggak dateng bunda buatin jamu temulawak dan harus diminum dalam satu kali tegukan!" teriak wanita yeng menyebut dirinya bunda itu.

Sontak tiga pria itu berlarian, saling mendahului untuk sampai ke TKP. Dahsyat sekali kekuatan suara Bunda, padahal sedang berada di dapur tapi teriakannya sampai ke ruang tamu.

"Siapa yang makan puding nggak diabisin?" tuduh bunda dengan barang bukti sepotong puding coklat dalam piring dengan vla susu di atasnya.

Ketiga pria itu kompak menggeleng, apalagi Akhza, ia baru saja tiba di rumah setelah dari rumah sakit tempatnya menjalani koas.

"Aa? Tadi Bunda lihat, Aa buka kulkas!" tuduh bunda sambil menunjuk puding itu. Attar jelas menggeleng.

"Aku tadi ngambil kurma disuruh jida, bukan ambil puding," bantah Attar jujur.

"Mas Ar, ya?" tuding bunda pada Aro yang terlihat santai.

"Ini puding bukan buatan Ara, aku nggak makan makanan selain buatan calon istriku. Bunda tahu itu, 'kan?" papar Aro membuat Akhza mendengkus kesal, mau muntah rasanya.

"Bang Za?" selidik bunda, berupaya mencari pelaku.

"Aku baru balik dari rumah sakit, Bun. Mana sempet bikin ulah?" bela Akhza.

"Ngapain rame-rame di sini? Minggir-minggir, Ayah mau ngabisin puding." Lelaki yang merupakan ayah dari ketiga pria yang tengah kena tudingan sang bunda menerobos punggung Akhza, Aro, dan Attar.

"Tadi tuh Ayah lagi makan puding, tapi dipanggil sama jida dan uti buat mindahin kursi di halaman belakang," jelas ayah sambil menarik salah satu kursi dan duduk di sana. Pria itu kembali memakan pudingnya tanpa merasa bersalah.

Akhza, Attar, dan Aro pergi meninggalkan tempat itu. Akhza memutuskan mandi, sedangkan kedua adiknya kembali ke ruang tamu. Selama kegiatannya membersihkan badan, pikiran Akhza terus menerus tertuju pada Tala. Kenapa bila berhubungan dengan gadis itu, pekerjaannya selalu berantakan? Bisa-bisanya mama Eca hendak menjadikan gadis ceroboh itu sebagai menantu.

Selesai mandi, Akhza kembali turun dan mendapati seluruh keluarganya sudah lengkap berkumpul. Acara arisan keluarga itu memang hanya diadakan satu bulan sekali, bergilir dari satu rumah ke rumah lainnya. Tak peduli dengan jarak jauh, mereka wajib datang.

Akhza lekas menyalami Mama Eca dan Papa Laut yang baru tiba. Tak lupa ia juga menyapa Rud, sang kakak sepupu. Pria yang disapa membalasnya acuh tak acuh, pura-pura lebih sibuk bernyanyi bersama Aro dan Attar.

Baru Akhza hendak duduk, dirinya dipanggil oleh Miza yang berdiri di ruangan lain. Sedari tadi putri Miza terus menerus menangis. Akhza lekas mendekat ke arah Miza, membuat Rud memandang sinis dengan ekor mata kepergian sang adik sepupu itu.

"Kenapa, Kak?" tanya Akhza begitu tiba di hadapan Miza yang sedang menggendong putrinya.

"Fatimah nggak mau berenti nangis, idungnya merah banget. Dia kayanya sesak, lagi flu soalnya." Miza nampak khawatir.

Akhza berpikir sejenak, ia kemudian memutuskan ke dapur untuk memasak air. Tanpa meminta bantuan sang asisten rumah tangga Akhza melakukan kegiatannya sendiri, sembari menunggu air mendidih pria itu pergi ke kamar untuk mengambil kayu putih dan lekas kembali ke dapur. Setelah air mendidih ia tuangkan ke dalam baskom, Akhza berikan beberapa tetes minyak kayu putih lalu membawa air dalam baskom itu ke ruangan di mana Miza masih berada di sana.

Fatimah kini sedang digendong Sanu -istri Miza-, tetapi bayi itu masih menangis hingga suaranya serak. Akhza lekas menaruh baskom di lantai, lalu memberanikan diri mengambil alih Fatimah dari gendongan sang ibu. Dengan duduk di atas karpet, Akhza menelungkup kan tubuh Fatimah di lengannya, ia usahakan agar Fatimah menghirup uap yang berasal dari baskom.

"Bismillahirrahmanirrahim, sembuh ya, Dek." Akhza mengusap pelan punggung Fatimah yang kian lama tangisnya kian reda.

"Ih, nangisnya berenti, dong," ucap Sanu, haru.

"Fatimah kayanya nyaman dalam posisi itu," timpal Miza.

"Nanti di rumah pas pagi coba kaya gini lagi ya, Kak. Jangan dikasih obat, kasian masih kecil. Kalau mau, Kak Sanu aja yang minum obat, nanti kan ade minum ASI ini," urai Akhza sambil masih mengelus halus punggung Fatimah yang kian anteng.

Sedang dalam keadaan seperti itu, uti, Jida dan bunda datang bergabung karena tadi melihat Akhza yang berlari-lari membawa baskom ke ruangan itu. Rumah jida memang besar, yang ditempati oleh Attar, Aro, Rud, Alisa dan dua putri Amah Nadia bernyanyi adalah ruang tamu.

"Fatimah udah anteng, Dek?" Jida duduk di samping Akhza. "Nyaman banget kayanya dia sama Abang," sambung jida.

"Tuh, Miza ... Uma bilang tanya Bang Za pasti tahu cara alternatif buat sembuhin flu. Jangan dikit-dikit obat," celetuk Uma Zahra yang baru datang, di belakangnya ada mama Eca dan amah Nadia yang ikut bergabung.

"Aku tahu metode ini dari Bunda, Kok. Iya, 'kan Bun?" Akhza tersenyum melirik sang bunda yang kini sudah duduk. Mereka duduk melingkar dengan wajah tegang menatap Fatimah.

"Udah lama nggak pake cara itu, anak-anak udah besar." Bunda tersenyum samar.

"Mas Ar sama Ara bentar lagi nikah, pasti nanti ada cucu yang bikin rumah ramai lagi," hibur uti yang duduk tepat di samping bunda.

"Ara apa kabar? Dia berani ya sendirian di Surabaya," celoteh uma Zahra.

"Alhamdulilah, baik. Dia jarang telepon karena lebih fokus ke studynya," jelas bunda.

"Aro jadi buka tokonya, 'kan?" tanya Uma Zha lagi.

"Insyaallah, jadi. Dia harus selesaikan dulu kuliah, baru ayahnya ngizinin buat usaha," terang bunda.

"Alhamdulilah, tinggal Attar ya, Bumi yang masih perlu pengawasan ekstra. Mama bangga sama anak-anak kamu," puji uti tanpa sadar membuat hati mama Eca tersentak.

Rud juga cucu uti, anak satu-satunya dari Laut, putra pertama beliau. Namun, mengapa sedari dulu di mata uti hanya anak-anak Bumi dan Akash yang selalu dibanggakan? Apa karena Rud tak memiliki prestasi gemilang seperti tiga jagoan Bumi? Batin Mama Eca bersahutan, tanpa sadar ada kemelut kesal yang sedari dulu ia pintal dalam hati terhadap mama mertuanya itu.

Penantian ini teramatlah panjang

Coba kau rasakan sayang, letihku di ujung jalan

Dia menghilang membawa semua kenangan

Terindah yang ku rasakan saat bersamanya sayang

(Armada-Penantian)

"Mas Ar makin galau."

"Gue doain Ara di sana kepincut dokter ganteng."

"Mas Ar jadi bujang lapuk ditinggal kawin dan gue bahagia."

Suara teriakan dan tawa terbahak Rud memekikkan telinga hingga terdengar ke ruang keluarga, membuat Fatimah terusik dan kembali menangis. Akhza lekas menyerahkan bayi itu pada Sanu. Ia bilang, coba dikasih ASI. Siapa tahu bisa kembali lelap tidurnya.

"Akash, Kash!" teriak jida membuat Akash, Laut dan Hafidz yang sedang berbincang di ruang makan lekas datang.

"Itu, ih, anak kamu yang satu itu susah banget dibilangin. Umi nggak suka dia gitaran di rumah Umi!" protes jida dengan dahi mengkerut. Jida pasti kesal, wanita itu hanya mau sholawat dan ajian Al-Qur'an yang menggema di rumahnya. Jida meyakini, bahwa abah pasti juga sedih ketika rumahnya diisi oleh hiruk pikuk kesenangan duniawi.

Akash tak berani membantah, Attar memang jagonya kalau buat jida marah. Pria itu lekas menemui anak-anak yang sedang berkumpul di ruang tamu.

"Aa, udah ayah bilang jangan main gitar kalo lagi kumpul di rumah jida!" seru ayah, gigi dalam mulutnya saling beradu.

Sontak Attar menghentikan jarinya memetik gitar, ia memeluk gitarnya penuh kesal. Semua orang yang ada di ruang itu juga bungkam, termasuk Rud yang sedari tadi terbahak.

"Sini gitarnya!" pinta Ayah.

"Nggak, Ayah mah suka mainin senarnya. Aku taro sendiri aja ke kamar!" tolak Attar seraya berdiri diikuti Alisha dan dua putri amah Nadia.

"Aa, ikut, A!"

"Kita juga ikut, A!"

Tatapan tajam ayah, kini menghunus ke arah dua pria yang sedari tadi paling kencang suaranya.

"Bang Rud sama Mas Ar, ikut ngadep jida!" titah ayah membuat dua pria itu berdiri. "Kamu tuh, Mas. Nggak bisa apa ingetin adiknya?" sungut ayah sambil mulai melangkah.

Aro dan Rud tak berani bicara, hingga keduanya sudah sampai di ruang keluarga. Semua tatapan orang-orang di ruangan itu laksana belati yang baru diasah, tajam.

"Mas Ar, Jida 'kan udah bilang. Jangan gitaran di dalem rumah," ucap jida selembut mungkin takut menyinggung perasaan cucunya itu.

"Jangan juga tertawa-tawa sampai terbahak, apalagi hal tersebut disebabkan karena menertawakan kesengsaraan orang lain," tambah jida.

"Tuh, tadi Bang Rud 'kan yang tertawa terbahak? Nggak boleh, tuh!" Uti ikut menimpali kalimat jida. Lagi-lagi, hati mama Eca terasa sakit. Anaknya memang salah, tetapi ia tak suka Rud dikuliti di hadapan banyak orang seperti itu.

Papa Laut menghela napas, ia pasrah karena putranya memang susah dikendalikan. Bunda dan ayah saling menatap, masalah ini sering mereka bahas dengan uti. Namun, uti selalu ikut kesal dengan cucu pertamanya itu. Beliau bukannya ingin membandingkan, hanya saja ingin agar Rud juga bersikap baik.

"Orang yang banyak tertawa terbahak-bahak dapat mematikan hati. Rasulullah SAW bersabda, “dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). Rasulullah saw tidak pernah tertawa terbahak-bahak, Beliau paling besar tertawanya dengan senyuman lebar," urai jida selanjutnya.

"Aku cuma becanda, kok, Uti. Lagian nggak niat ngetawain Mas Ar," bantah Rud.

"Nggak niat tapi suaranya terdengar sampai sini?" sindir uti, makin buat mama Eca sakit hati. Air matanya bahkan sudah memupuk.

"Namanya anak muda, Ti. Kaya yang nggak pernah ngerasain aja!" balas Rud.

"Rud, bisa nggak jangan selalu ngebantah!" sentak sang papa.

"Jadi anak tuh seperti Bang Za, mana ada dia membantah perkataan siapapun. Dia akan tetap diam meski tahu lebih banyak tentang suatu hal, sedangkan kamu dari tadi berani sekali bantah Uti!" sungut uti lagi.

'Lagi-lagi, selalu dia yang jadi kiblat. Apa sih hebatnya si Akhza itu?' batin Rud.

'Kalau saja dulu aku nikahnya sama Abimanyu, meski hidup sederhana mungkin bisa bahagia dan tenang.' Kebiasaan buruk Ayesha, selalu membandingkan suaminya dengan Abimanyu, sang mantan kekasih. Tanpa sadar, karakter Rud itu dirinya sendiri yang mencetak. Rud terbiasa hidup bergelimang uang, sedangkan orang tuanya sibuk bekerja. Diberi barang-barang mewah, bahkan saat anak-anak Bumi baru memiliki ponsel di usia SMA, Rud sejak SD sudah punya. Alasan Ayesha dan Laut tentu satu, agar mudah menghubungi sang putra saat sedang bekerja. Pada kenyataannya, Rud susah dihubungi karena lebih asyik main game dalam ponsel. Kebiasaan buruk yang berlanjut hingga kini. Bahkan Ayesha selalu bilang 'kamu harus bisa nyaingin Bang Za' pada Rud. Membuat putranya itu makin tak respek pada sang adik sepupu.

Suasana jadi canggung, dingin, dan kaku. Akhza sedikit pun tak merasa bangga selalu diunggulkan. Sejujurnya, ia juga risih dan tak suka dipuji-puji begitu. Hingga akhirnya, acara masuk ke bagian inti saja, yaitu mengocok arisan. Nama Nadia keluar sebagai pemenang, sorak sorai setidaknya mampu mengurai kecanggungan. Namun, selepas itu mama Eca memilih pamit lebih dulu dengan alasan besok pagi-pagi harus ke rumah sakit.

"Bang Rud, tunggu bentar!" teriak Akhza saat Rud sudah keluar lebih dulu sedangkan mama Eca masih di dapur sedang disediakan bingkisan oleh uti.

"Omongan uti jangan dimasukin ke hati, ya!" pesan Akhza, Rud tak menjawab.

"Kita ini saudara, bukan kompetitor bukan juga sedang berlomba."

"Bang Rud spesial dengan cara sendiri, tracker hebat penakluk dunia garuk tanah!" Akhza tersenyum tulus sambil tepuk tangan.

"Aku nggak mungkin bisa naklukin sirkuit dengan lintasan yang, beuh ... Baru diliat aja udah bikin lutut gemetar duluan," sambung Akhza.

"Jangan kecil hati, aku nggak sebaik yang dibilang uti. Bang Rud punya kemampuan yang aku bahkan nyerah duluan kalo disuruh nyoba," kata Akhza tulus, meski tak ditimpali Rud. Sorot mata Rud jelas penuh benci pada Akhza.

"Jangan kepancing omongan uti, orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya meski kadang caranya salah. Karena mereka dan kita hidup di zaman berbeda 'kan?" Akhza merangkul bahu Rud.

"Gue emang hebat, mereka aja yang nggak sadar," cetus Rud yang malah memilih pergi masuk ke mobil, sampai tak lama Mama Eca dan Papa Laut juga naik ke mobil dan mereka benar-benar pergi.

"Ngomong apa ke Bang Rud?" Bunda tiba-tiba sudah berdiri di samping Akhza.

"Ngomong antara cowok dengan cowok lah," sahut Akhza menutupi kejadian sebenarnya.

"Bunda juga mau bilang sesuatu ke Abang, soal Tala," ucap bunda membuat Akhza menghela napas.

"Abang kenapa sih galakin Tala terus? Mama Eca bilang anak itu sampe nangis seminggu yang lalu?" tuduh bunda.

Akhza tertawa, "ih, dasar si gemoy! Beraninya ngadu ke Mama Eca."

"Abang! Gemoy itu nama kucing uti yang dikampung. Tega banget cewek secantik Tala dinamain gemoy!" kesal bunda.

"Dia kaya si Gemoy, Bun. Kerjaannya ngabisin makanan orang. Makanan siapa aja kalo nggak abis tuh dia makan. Jorok!" Akhza bergidik.

"Bang, Abang nggak pernah loh ya ngurusin orang sampe ke hal sekecil ini. Ada apa ini?" Bunda kepo.

"Tadi sore bukannya kalian abis dari kondangan salah satu temen? Dan kata Mama Eca, Abang nolak saat Tala minta ikut bareng di mobil Abang?" tuduh bunda. Wanita itu tadi dapat cerita dari sang kakak ipar.

"Apa sih, Bun. Nggak ada apa-apa, lagian kenapa jadi bahas cewek itu sih?" protes Akhza.

"Lagian aku nggak enak berduaan doang sama Gemoy dalam satu mobil," sambung Akhza, membela diri.

Bunda menghela napas, ia tahu Akhza memang bukan orang sombong apalagi jahat. Tadi Mama Eca bilang, Akhza terlalu angkuh dan kasar pada Tala.

"Mama Eca minta Bunda bilangin Abang supaya jangan galak terus sama Tala. Inget, dia bentar lagi jadi bagian keluarga kita."

Ucapan Bunda buat Akhza diam, ia juga tak mengerti kenapa sejak kehadiran Tala di rumah sakit ada sesuatu yang beda dari cara dirinya memandang orang baru. Gadis itu, selalu bisa menarik perhatian Akhza, dan saat seperti itu Akhza inginnya memarahi pemilik nama lengkap Ekanta Bimala itu. Si ceroboh yang sukanya menyabotase meja tempat anak koas dan perawat magang menaruh beberapa barang mereka.

"Inget, Bang. Dia calon istri Bang Rud. Abang, jangan macem-macem!" pesan bunda kemudian melengos masuk ke rumah.

Akhza hanya mematung memandang punggung bunda yang masuk ke rumah. Akhza bukan benci pada Tala, ia hanya tak tahu caranya bersikap pada gadis itu.

***

Assalamualaikum, apa kabar semuanya? Ayo ... ayo absen dulu yang siap nemenin abang, hehehe. Jangan lupa like, komen, vote dan hadiahnya untuk abang ya, makasih.

Thor, seneng banget ya bikin cerita duda dan janda? Hehehe ini beneran nggak sengaja deh aku. Awalnya aku nggak bakal lagi buat spin off tentang Mahija Akhza, dunia kedokteran sungguh asing bagiku yang cuma apalah atuh hehehe. Namun, aku bakal berusaha memberikan yang terbaik versiku. Bila nanti di bab bab selanjutnya ada dunia kedokteran yang aku salah menuliskannya, tolong diingatkan ya. Aku bakal bahagia kalau temen-temen semua mau kasih aku masukan dan support.

Buat lebih akrab sama aku, ciee akrab kan biar kenal biar sayang juga, ya. Temen-temen boleh masuk ke gc aku ya. Di sana orangnya baik-baik suka kasih poin loh hehehe. Temen-temen juga bisa follow akun media sosial aku, biasanya aku suka buat video dari penggalan bab (eh bukan aku yang bikin deng, hehe. Aku cuma upload aja)

Ig : Syaesha05

Fb : Syaesha

Kalo ada typo ingetin, kalo ada cacat logika juga ingetin maklum aku masih tahap belajar nulisnya belum mahir.

Siti Nurbaya

Tala menutup pintu kostnya sembari mengembuskan napas kasar. Sepulang PKL dari rumah sakit, gadis itu menghadiri acara ulang tahun teman. Tala sedikit merasa bersalah sebab tak bisa hadir di acara keluarga Tante Eca, calon mertuanya. Apa mau dikata, Akhza, tak mau memberinya tumpangan menuju rumah jida. Padahal Tante Eca sudah bilang agar Tala pergi bersama Akhza saja.

Baru hendak mengambil handuk yang tersimpan di balik pintu, dering ponsel dalam sling bag mengalihkan atensi Tala. Gadis itu dengan malas mengambil ponsel, dan tiba-tiba menjadi bersemangat ketika melihat nama ayah yang ada pada layar benda pipih tersebut.

"Assalamualaikum, anak Ayah. Lagi apa, cantik?" Ayah bicara dengan suara beratnya yang khas membuat senyum Tala mengembang.

"Waalaikumsalam, Ayah ganteng. Aku baru pulang dari acara temen, nih," jawab Tala sambil berjalan menuju kasur yang digelar tanpa dipan.

"Main, ya? Sama siapa? Tadi Tante Eca bilang mau ngajak kamu ke acara keluarganya?" tanya Ayah, terdengar seperti sedang mengembuskan napas.

"Ayah lagi ngerokok, ya?" tebak Tala, hapal dengan kelakuan sang ayah.

Di seberang sana ayah jadi batuk, ketahuan deh kegiatannya.

"Ayah, 'kan Tala dah bilang berhenti ngerokok!" seru Tala, kecewa.

"Ayah udah kurangin, Nak," bela ayah. Betul-betul membuang rokok ke dalam asbak.

"Kasian badan Ayah, nggak boleh sakit!" gerutu Tala.

"Iya, Tala udah telepon ade?" tanya ayah sengaja mengalihkan perhatian.

"Tadi pagi udah telepon, Nyanyak Sry lagi sakit katanya, Yah," lapor Tala.

"Makanya ayah kirim uang buat ade dulu ya, buat kamu belum bisa Ayah kirim." Suara Ayah terdengar lirih.

Sebagai seorang guru SD, meski sudah PNS gaji ayah tak terlalu besar. Bahkan, tak bisa setahun sekali pulang ke Aceh -kampung halaman sang istri- sekedar menengok putra bungsu yang menetap di sana bersama seorang kerabat.

"Ayah nggak usah mikirin Tala, Tala mah kuat. Uang Tala banyak," ucap Tala membuat ayah tertawa. Uang Tala dari hasil jualan rujak mangga memang banyak.

"Iya banyak, tapi gopean doang." Ayah terbahak membuat Tala mengangguk.

"Nggak ada Gope sejuta nggak jadi sejuta, Ayah!" timpal Tala.

"Iya, iya. Baik-baik di sana ya, Nak. Jaga diri, jangan kebablasan kalau jalan sama Bang Rud meski kalian udah dapet restu dari Tante Eca dan Ayah."

Sambungan telepon terputus, Tala mengembuskan napas. Bagaimana tak dapat restu, orang mereka berdua dijodohkan. Tala masih jelas mengingat bagaimana kesepakatan itu terjadi. Tepatnya dua tahun lalu ketika Tala baru lulus SMA, gara-gara semangkuk mie instan yang ayah berikan pada Om Laut yang kala itu habis kena begal. Mobil dan dompetnya raib diambil pencuri.

Klise memang, begitu pikir Tala. Karena sebuah jasa yang akhirnya menjadikan Om Laut dan Tante Eca yang ternyata adalah teman semasa SMA, ayah menjodohkan Tala dan Rud. Tala tak bisa menolak, ia sudah janji pada almarhum mama untuk selalu patuh pada ucapan ayah.

"Harus realistis, Tala. Ayah mau kamu dapat suami dan mertua yang tak hanya baik tapi juga mapan."

Jelas Rud mapan, ia satu-satunya pewaris tunggal Om Laut sebagai seorang pengusaha property. Meski nama Om Laut tak sebesar nama pengusaha lainnya, tetapi bisa dipastikan bila dibandingkan dengan ayah aset hartanya pasti jauh di atas ayah. Ayah bahkan hanya punya rumah sederhana dan motor tua di Bandung sana.

"Aku ini Siti Nurbaya milenial," gumam Tala sambil kemudian terperanjat sebab novel kesayangannya dalam platform online pasti sudah terbit.

Tala suka membaca novel, akhir-akhir ini ketika menjamurnya platform online ia makin gila baca. Tala bahkan bisa mencuri-curi waktu baca di sela kegiatannya bertugas di rumah sakit.

"Yaaah, udah digembok duluan deh babnya," sesal Tala saat membuka aplikasi baca dan mendapati bab baru harus dibuka menggunakan koin.

"Dengan sangat terpaksa Kak Author, aku mundur alon-alon dan melambaikan tangan."

Tala akhirnya berdiri, kembali menyambar handuk. Kostan Tala dilengkapi dengan kamar mandi di dalam ruangan, meski dengan begitu harga sewa jauh lebih mahal. Namun, demi keamanan dan kenyamanan Tala rela mengeluarkan uang lebih besar tiap bulannya.

***

Langit Jakarta pagi ini sangat cerah, awan putih terlihat manis bak gulali kesukaan anak-anak. Akhza memasukkan laptop dan berkas untuk bahan presentasinya hari ini ke dalam ransel hitam. Pria itu mengambil kemeja putih dari dalam lemari, ia suka dengan warna putih. Hampir seluruh kemejanya berwarna putih.

Pria itu membungkus kaki panjangnya dengan celana warna khaki, tak lupa kaus kaki berwarna senada dengan celana juga ia kenakan. Kesan dewasa begitu kentara dalam diri Akhza, apalagi dengan pembawaannya yang selalu tenang -kecuali bila sudah berhadapan dengan Tala- pria dengan tinggi badan 180 sentimeter itu selalu lebih banyak bertindak daripada bicara.

Lepas memakai celana, Akhza menggulung kemeja hingga lengan. Ia juga menyisir rapi rambut dan memasang arloji di pergelangan tangannya. Kemudian bersiap keluar dari kamar, untuk sepatu ia selalu taruh di lantai bawah.

Sarapan bersama jida kini tak pernah ia lewatkan, setelah beberapa waktu sakit hingga membuatnya harus minum ramuan buatan Ara yang rasanya aneh.

"Mau nasi atau roti sarapannya?" tawar jida, sudah beberapa tahun tinggal dengan wanita itu membuat Akhza lebih mirip anak dibanding cucu di mata sang nenek.

"Nasi aja, Jida. Rotinya buat bekal," jawab Akhza mulai menyendok nasi putih.

"Restoran ayah kamu tinggal nyeberang, masih aja suka bawa bekal dari dapur Jida," canda jida yang tengah menikmati air nabeez.

"Jujur aja, aku nggak seminggu sekali loh ke restoran ayah. Kok malu ya udah gede masih minta makan sama orang tua, hehehe."

"Sama ayah kamu malu, sama jida enggak malu?" sindir jida.

"Aku kan kesayangan jida, nggak malu lah." Akhza mulai menaburkan bawang goreng ke atas nasi dan mengambil bumbu ayam serundeng yang terhidang.

"Makan juga ayamnya!" seru jida membuat Akhza menggeleng.

"Kasian jida, aku nggak tega makan sesama makhluk hidup," elak Akhza melanjutkan acara makannya.

Setelah selesai pria itu pamit pada jida, bilang minta didoakan supaya presentasi hari ini lancar. Jida mengingatkan agar Akhza juga minta doa pada ayah bunda.

"Udah telepon ayah bunda, kok, tadi subuh."

Penjelasan Akhza diangguki jida. Wanita itu mengantar Akhza hingga naik ke dalam mobil, memerhatikan kendaraan berwarna hitam metalik itu keluar dari gerbang rumah.

"Nitip jida ya, Mang!" pesan Akhza pada sang penjaga keamanan rumah sambil melambai. Pria bertubuh tinggi yang memakai seragam hitam-hitam itu mengangguk hormat. Jida dari termpatnya berdiri tersenyum sambil menggeleng, beliau sangat terhibur dengan keberadaan Akhza di rumahnya.

***

"Mbak Asya, Esti, Mbak Je, Resti, Tante Eca dua .... Done!" absen Tala sambil menunjuk wadah plastik berisi rujak mangga dengan sambal gula merah. Rujak mangga Tala memang terkenal di rumah sakit, tetapi hari ini ia hanya membuat untuk yang memesan saja.

Tala biasanya beli rujak dari bapak yang suka keliling dengan gerobak, tapi dia pikir kenapa mahal sekali harganya? Bukan tak mau berbagi rezeki dengan si bapak, hanya saja saat Tala beli mangga mudanya saja, ia l bisa dapat lebih banyak. Bahkan Tala bisa menjualnya juga pada teman-teman. Cuan dari hasil jualan bisa dipakai untuk tambahan uang jajan, apalagi di akhir bulan stok makanan tinggal mie instan. Suka duka anak kost yang jauh dari kampung halaman.

Wadah plastik tadi Tala masukan ke dalam totte bag yang ia beli seharga 5.000 dari minimarket lokal dengan maskot lebah berwarna biru.

"Mudahan-mudahan Mbak Je inget buat bayar hutang, aku udah nggak punya beras ini. Hehehe," gumam Tala. Serumit apapun hari yang dilewatinya, adalah tawa temannya. Padahal pagi itu ia hanya sarapan air putih.

Setelah merias diri dengan make up tipis, Tala tak lupa menggelung rambut dengan rapi -tempo hari ia pernah menggerai rambut yang masih basah dan kena omel Akhza-, kemudian lekas pergi. Mendapat tugas shift pagi mengharuskan ia datang lebih awal.

Pagi itu semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya bagi Tala, masuk ke ruang pasien, mengecek tensi serta infus pada mereka. Semua tugas selalu ia kerjakan dengan suka cita. Mengajak bergurau pasien adalah caranya memompa semangat orang-orang yang berjuang untuk sembuh tersebut.

"Suster suka makan kue basah, nggak?" tanya seorang pasien begitu Tala selesai membantunya ke kamar mandi.

"Suka, Tala mah suka makan apa aja. Asal jangan makan ati, Nek," sahut Tala merapikan kembali letak botol infus.

"Ini, ada kue basah. Takut basi kalau sampai sore, bawa aja buat suster." Pasien dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya itu menunjuk pada kardus putih di atas nakas.

Kebetulan lagi laper banget, bawa aja deh.

Tala menerima kue pemberian sang pasien, ia kemudian membawa kotak tersebut ke meja yang terdapat di depan ruang perawat. Di sana biasanya Tala dan teman-teman PKL menaruh barang-barang.

"Akhirnya ada temen ngopi," ucap Tala.

Tak lama Mbak Asya, Mbak Je dan Ana datang meminta pesanan rujak mereka.

"Tal, Mbak nggak bayar utang dulu. Ntar aja kalo gajian, ya," ucap Mbak Asya.

Musnah sudah harapan yang Tala pupuk tadi pagi.

"Iya, nggak apa, Mbak. Santai aja," timpal Tala.

"Catet aja ya, Tal," ucap Mbak Asya sambil membuka tutup wadah dan langsung ngiler dengan mangga muda yang warnanya sedikit menguning.

"Eh iya, kamu abis ini pindah ke ruang apa? Atau balik ngampus lagi?" Mbak Asya menutup kembali wadah tersebut.

"Kasian atuh, Mbak. Anak PKL pake diutangin mulu rujak," potong Mbak Je, perawat senior kelahiran kota Solo.

"Ntar aku bayarnya sekalian, Je," bela Mbak Asya.

Tala dan Ana hanya saling melempar pandang, kemudian tertawa tanpa suara.

"Nggak apa atuh, Mbak Je. Lagian sebentar lagi awal bulan, gajian ya, Mbak Sya?" tutur Tala sambil membuka tutup tumbler berisi kopi.

"Oh iya, aku lanjut nugas seminggu di sini. Abis tuh pindah ke ruang penyakit dalam," jelas Tala selanjutnya.

Sebagai mahasiswi PKL Tala pasrah saja saat ruangannya bertugas berpindah-pindah.

"Kalo gitu, kita balik ke sebelah ya, Tal," pamit Mbak Asya. Namun, Tala mencegahnya, ia menawarkan kedua perawat senior itu membawa kue basah pemberian pasien. Tala pikir tak akan habis dimakan olehnya sendiri. Setelah Ana mengambil dua potong kue bugis dan Tala tiga potong risol, Mbak Asya membawa kotak yang masih berisi banyak kue itu ke ruang sebelah.

Baru Tala akan menuang kopi ke dalam gelas plastik, seorang perawat senior datang meminta bantuan agar salah satu di antara Tala dan Ana mengganti cairan infus pasien di ruang kamboja.

"Aku aja, An. Kamu makan aja dulu kuenya." Tala melihat Ana sedang melahap kue yang terbuat dari tepung beras dengan isian kelapa campur gula itu. Ia tak tega.

Tala gegas pergi sampai melupakan kopinya, bahkan tutup tumbler malah ia masukan ke dalam saku seragamnya.

Sementara itu, Akhza yang sebentar lagi akan presentasi tiba-tiba saja datang ke meja tersebut membuat Ana kaget. Akhza memeriksa berkas berisi bahan yang akan dia presentasikan pada prof. Demian. Pria itu menggelar kertas yang masih belum tersusun rapi di atas meja, beberapa menit lagi prof akan datang. Ia mau semua penjelasannya tentang kasus yang tempo hari prof suruh kerjakan bisa membuat hati prof puas. Namun, malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Tangan Akhza tak sengaja menyenggol tumbler yang ia kira tak ada isinya. Padahal ....

Kertas putih dengan tulisan bahan untuk Akhza presentasi kotor terkena air kopi. Akhza bergeming, tugas yang ia buat dan susun sepenuh hati. Bahkan semalaman ia rapikan kembali agar makin bagus hasilnya saat dipersembahkan di depan prof. Bagaimana hatinya tak tersentak, kesal, sedih, dan marah bercampur jadi satu.

Ana yang mematung melihat kejadian itu ikut kaget, setelah ini Tala pasti jadi incaran kemarahan Akhza.

"Za, prof udah dateng. Buruan, bego!" Lavi, teman Akhza datang memberi tahu keberadaan prof.

"Ya ampun, Za. Elu malah bikin ulah di saat-saat terakhir gini?" sentak Lavi saat melihat kertas yang ia yakini bahan presentasi sudah kotor di atas meja.

"Bego beneran lu, Za. Sialan!" umpat Lavi membuat Akhza makin merasa kesal.

"Minta waktu bentar ke Prof, gue print ulang bahannya." Akhza pergi membawa serta tasnya. Ia harus segera cari printer yang dapat digunakan.

Ketika sudah mendapat printer yang bisa digunakan, Lavi menghampiri Akhza dengan kabar tak sedap.

"Prof nggak mau nunggu, katanya atur ulang aja jadwalnya."

Tulang belulang Akhza rasanya lepas dari seluruh tubuh, susah payah ia kerjakan dan atur jadwal dengan prof satu itu. Ia akhirnya kembali ke ruangan tadi, harus ada orang yang disalahkan atas kejadian ini.

Tala sendiri setelah mengganti cairan infus tak langsung kembali ke meja, ia diminta ikut ke ruangan lain oleh perawat senior. Ada nasi kotak untuk Tala, jelas gadis itu senang. Rezekinya hari ini datang dari berbagai arah.

Dengan nasi kotak di tangan, Tala melangkah sambil bersenandung menuju meja tadi. Ingat pada kopi yang ia abaikan. Namun, ia sedih ketika melihat tumblernya sudah kosong dan tergeletak di atas tumpukan kertas. Tak ada Ana di sana, tak ada yang bisa ditanyai siapa pelaku pembuat kopinya tumpah. Hingga derap langkah seseorang Tala tangkap oleh Indra pendengarannya. Tala yakini itu Ana, tanpa menoleh Tala sudah bersungut-sungut.

"An, siapa yang udah numpahin kopi aku? Dia nggak tahu apa kalo ini tuh aku buat pake dua sachet kopi yang biasanya aku irit-irit!"

"Dua sachet kopi seharga dengan kegagalan presentasi tugas, nggak?"

Itu bukan suara Ana, itu suara ....

"Bang Za," gumam Tala, amarahnya lenyap digantikan takut.

Lihat saja, pria dengan tubuh menjulang tinggi di hadapannya menampakan raut wajah penuh amarah. Pipinya memerah dengan urat-urat di daerah pelipis yang menonjol. Mata bulatnya menyipit, tengah memindai Tala.

"Kopi elo udah bikin acara presentasi gue ancur!" tegas Akhza nyaris tanpa suara, tetapi malah buat bulu kuduk Tala meremang.

Tala ingat, ia tak menutup Tumbler saat pergi tadi.

"Presentasi kali ini tuh penting buat gue, Tal. Dan kopi elo bikin gagal!" desis Akhza, wajahnya datar tetapi menyeramkan.

"Abang, maaf, Bang. Aku kira tumblernya tadi ditutup. Aku ...."

"Aku apa? Aku nggak sengaja Abang, aku nggak niat," ucap Akhza menirukan gaya bicara Tala. "Itu yang mau elo bilang?" lanjut Akhza.

Tala ingin mengelak, tetapi memang itu yang ingin ia ucapkan.

"Basi Tala, BA-SI!" Teriak Akhza tak sadar bahwa di belakangnya sudah berdiri mama Eca.

"Akhza!" teriak mama Eca.

Akhza lekas berbalik, mendapati sorot marah dari mama Eca.

"Bunda kamu udah negur kamu belum, sih?"

Mama Eca masih memupuk kesal karena kejadian semalam, kini harus melihat calon menantunya diamuk Akhza.

"Kaya gini anak yang sering dibangga-banggain keluarga?" ketus Mama Eca, membuat Akhza melongo. Kenapa jadi bawa-bawa keluarga?

"Rapikan barang kamu!" titah Mama Eca pada Tala membuat Tala mengangguk.

"Makan di ruangan saya, saja!" lanjut wanita itu.

Tala menurut, ia sejujurnya tak suka diperlakukan spesial oleh Tante Eca. Entah karena ia memang tak mencintai Rud, atau murni karena ingin mandiri? Tala bahkan tak bisa mengenali rasanya pada Rud.

Ada sesak saat aku melangkah

Tinggalkanmu yang tengah diliput amarah

Mengapa rasanya takut engkau marah?

Ingin kembali meski tak menjamah

Matamu yang memindai mataku

Buat lidahku kelu dan hati pilu

Aku tak mau kau keliru

Aku salah, aku menyusahkan mu

Tunggu aku kembali padamu

Kan kubalut kecewamu

Kutemani dalam sendu

Hingga kudapat maafmu

***

Kekecewaan, Gengsi, dan Waktu yang Terbuang

Assalamualaikum, Bismillahirrahmanirrahim.

"Bener ya kata umi, pernikahan bukan akhir dari perjalanan mengenal pasangan. Makin lama, makin keliatan sifat asli baik itu negatif maupun positifnya."

Laut sore itu curhat pada Akash dan Bumi yang selalu setia mendengar keluh kesahnya. Mereka bertiga sedang berada di atap restoran, menunggu kedatangan Ayesha. Sebelum pulang ke Bogor, Bumi sengaja mendatangi dulu restoran sang suami yang penuh dengan ukiran kenangan.

"Kalian tahu, aku merasa gagal jadi suami dan ayah buat Rud," lanjut Laut kemejanya sudah sedikit berantakan, bagian tangan sudah digulung sebatas siku.

"Ayesha itu selalu ungkit-ungkit masa lalu tiap kita ribut. Kejadian-kejadian masa lalu itu kayanya terekam baik di kepalanya," sambung Laut, kemudian menyesap kopi hitam kesukaannya.

Soal merekam ingatan masa silam, perempuan memang ahlinya. Ia bisa lupa pada jarum pentul yang baru disimpan beberapa menit saja, tetapi bisa ingat kejadian sepuluh tahun lalu tanpa ada yang terlewat. Baik itu hal manis, maupun pahit. Terkenang hingga ke akarnya.

"Aku juga nggak tahu masalahnya apa, muter-muter di situ aja. Njlimet, rumit. Dalam seminggu selalu ada hari di mana kita berantem. Terlebih kalau aku pulang dari luar kota," papar Laut selanjutnya. Ia kemudian melihat ponsel, ada pesan masuk dari sang istri yang tengah ia bicarakan itu.

My Wife

[Bentar lagi aku ke situ]

"Sebenarnya itu bentuk kangen Kak Ayesha kek Kakak. Kalian saling rindu tapi, nggak tahu cara ungkapinnya," komentar Bumi.

"Tiap hari ketemu, masa rindu?" elak Laut.

"Tiap hari ketemu itu di mana tempatnya? Pasti cuma ruang makan abis tuh kamar 'kan?" selidik Bumi, ia kemudian menoleh pada sang suami. Minta persetujuan melanjutkan bicara. Akash mengangguk, tanda memberi izin.

"Selama nikah, pernah nggak sih jalan berdua aja. Bener-bener berdua, gitu?" tanya Bumi.

Laut mengingat-ingat, rasanya belum pernah. Jika pun pergi berlibur, itu pasti acara kantor dan pekerjaan.

"Kakak sama Kak Ayesha pernah nggak ngobrol dulu sebelum tidur? Becanda, gitu?" selidik Bumi.

Laut kembali mengingat, rasanya tidak pernah juga. Apalagi makin ke sini, hanya ponsel yang justru malah lebih intens sebagai pengantar tidur.

"Bahaya, tuh!" celetuk Akash yang langsung mendapat cubitan di pahanya oleh Bumi.

"Jangan ditakut-takutin," bisik Bumi kemudian.

"Bahkan Ayesha nggak mau saat aku bilang ingin punya anak lagi, katanya yang ada juga belum tentu terawat dengan baik." Ucapan Laut membuat Bumi terhenyak. Pikiran Ayesha saja sudah negatif begitu.

Bukan sekali dua kali Laut cerita tentang keadaan rumah tangga dan perangai putranya, Rud. Bumi tak bisa seratus persen menyalahkan mereka bertiga. Karena menurut Bumi, pada intinya mereka hanya butuh waktu bertiga tanpa ada hal lain yang mencampuri.

"Kata Kak Ayesha, kakak tuh suka bawa-bawa urusan kerja ke rumah. Istri Kakak nggak suka itu, Kak," lapor Bumi soal Ayesha yang pernah cerita tentang hal itu.

"Di rumah itu waktunya buat keluarga, Kak. Mau sebanyak apapun kerjaan, nggak adil kalo dibawa ke rumah." Bumi menghela napas, ia bahkan rela berhenti kerja demi keluarga.

"Kalau istri adalah jantungnya rumah, maka suami adalah kepalanya. Keduanya harus kompak biar langkah yang dituju sampai ke tempat yang sama," lanjut Bumi.

"Aku gagal, udah telat," keluh Laut.

"Belum, masih bisa diperbaiki, Kak." Bumi beranjak, ia berdiri di samping kursi yang Laut duduki. "Coba bicara dari hati ke hati sama Kak Ayesha. Kakak yang ngalah, Kakak harus lebih banyak ngerti istri Kakak," tambah Bumi sambil merangkul bahu sang Kakak.

"Perangai Rud juga, apa masih bisa berubah?" keluh Laut.

"Semoga dengan adanya Tala, Bang Rud bisa tersentuh hatinya ya, Kak." Bumi melepaskan rangkulannya. "Aku lihat, Tala itu anaknya pintar membawa suasana," sambung Bumi.

Bersamaan dengan itu, Ayesha dan Tala datang. Bumi lekas kembali duduk, ia tak mau Ayesha bertanya yang tidak-tidak.

"Abang udah lama nunggu?" tanya Ayesh setelah menyalami ketiga orang itu, kemudian dirinya dan Tala duduk di kursi yang masih kosong.

"Baru, kok. Kamu udah selesai nugas 'kan?" Laut balik bertanya membuat Ayesha mengangguk. Laut pikir, mungkin kini saatnya memulai tips yang diberikan oleh sang adik.

"Kita jalan, yuk?" ajak Laut membuat Ayesha mengerenyitkan dahi. Bertahun-tahun menikah, baru kali ini Laut mengajaknya pergi berdua.

"Kita nonton, atau kamu mau beli parfum, atau apa mungkin?" Sejujurnya, Laut sungguh kaku mengucapkan hal itu. Sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama usia pernikahan mereka.

"Tapi kasian Tala, Bang," ucap Ayesha, antara ingin pergi tetapi tak enak meninggalkan Tala.

"Nggak apa, Tan. Tala bisa pulang sendiri," kata Tala memangkas ragu Tante Eca.

"Jangan sendiri, nanti dijemput Bang Rud aja, ya. Tala di sini aja dulu, nggak apa 'kan?" saran Tante Eca.

"Iya, Tala di sini dulu aja. Atau nanti biar Tante yang anter kamu pulang?" tawar Bumi.

"Biar Rud aja, nanti Om yang suruh Rud ke sini. Kalian kayanya udah lama nggak ketemu 'kan?" sambar Om Laut.

Tala akhirnya mengangguk pasrah, ia pikir tak ada salahnya menurut apa kata Tante Eca.

"Kalau gitu, kita pamit, ya!" cetus Om Laut segera menggandeng tangan sang istri yang hatinya sedang berbunga-bunga.

Om Akash juga pamit dari sana, ia dipanggil oleh salah satu karyawan restoran. Jadilah tinggal Tante Bumi dan Tala yang tinggal. Tante Bumi menanyakan kabar Tala, wanita itu juga minta maaf bila putranya -Akhza- sering berbuat kasar pada Tala.

"Abang itu susah banget untuk akrab sama orang, Tal. Dia beda sama adik-adiknya."

"Aku sama adikku juga beda, adikku malah diem banget. Akunya nggak mau diem."

Tante Bumi tertawa, ia suka dengan Tala yang riang. Tante Bumi juga merupakan salah satu pelanggan rujak Tala.

"Makanya, maafin Abang ya, Tal." Tante Bumi bicara serius.

"Aku yang sekarang bikin salah sama Abang loh, Tan." Tala memberanikan diri menceritakan apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Akhza. Tentang presentasi pria itu yang gagal.

"Bukan gagal, hanya diganti waktu 'kan? Bukan salah Tala juga kalo kopi itu tumpah. Abangnya aja yang teledor," komentar Tante Bumi.

"Tapi Tala nggak enak deh ke Bang Za, dia keliatan sedih gitu, Tan. Katanya janjian sama Prof. Damian itu susah," adu Tala.

"Udah, biarin aja. Baru dapet ujian segitu aja masa Cemen, dia sendiri yang pilih mau jadi dokter. Tante justru pengen dia dapet tantangan yang lebih ektrem selain gagal presentasi." Tante Bumi tertawa, membuat Tala ikut melakukan hal yang sama.

"Kita ngopi di bawah, yuk! Tante yang buatin," ajak Tante Bumi.

Tala tentu semangat, kopinya yang tumpah hari ini akan segera diganti oleh kopi yang lebih berkelas, begitu pikir Tala. Sebelum menikmati kopi, Tante Bumi terlebih dahulu mengajak salat Asar. Tala sungguh kagum dengan bunda dari Akhza itu, beda dengan putranya. Mungkin Akhza menurun dari sifat Om Akash yang memang terlihat angkuh dan dingin? begitu pikir Tala

***

Di dalam sebuah apartemen di daerah Jakarta Pusat, seorang perempuan sedang melakukan pole dance. Ia mengenakan sportwear two pieces warna putih, penampilannya nampak sek si dengan kulit mengkilap karena keringat ditambah tertimpa cahaya lampu yang sudah dinyalakan meski hari masih siang . Otot-ototnya, terutama di bagian tangan pun terlihat ketika melakukan salah satu gerakan di tiang.

Tubuhnya begitu lentur saat berputar sambil berpegangan di tiang. Anak rambut menempel di area dahi dan leher jenjangnya yang putih, membuat seorang pria yang tak lain adalah Rud semakin terpesona dengan kecantikan Ashalina Giandra, nama perempuan itu.

Hanya dengan melihat perempuan itu pole dance lah Rud bisa melupakan sekelumit kekecewaan pada orang tuanya. Sedari kecil, Rud sering mendengar papa mama bertengkar. Mama sering menangis, membuat Rud berpikir bahwa papa jahat. Namun, makin usia Rud bertambah, pria itu sering dengar mama membandingkan papa dengan pria bernama Abimanyu. Sejak saat itu, Rud berpikir bahwa mama belum bisa melupakan orang yang Rud terka adalah mantan mama.

Mama juga sering menyalahkan Rud ketika dirinya mendapat nilai kecil di sekolah. Mama adalah ibu yang baik, hanya saja emosinya cepat tersulut. Mudah marah, tetapi mudah reda kembali. Rud juga tumbuh oleh perkataan mama yang selalu bilang 'Rud bisa ngalahin Bang Za'

Perhatian Rud teralihkan begitu, Gia, perempuan itu akrab disapa, mengakhiri kegiatannya di menit ke 20. Rud langsung menghampirinya yang baru saja menjejak kaki di lantai. Gia, cantik.

"Kamu makin cantik," puji Rud.

"Kamu makin jauh, aku sebel!" tepis Gia malah beranjak menuju lemari pendingin.

Rud tak mau menyerah, ia ikuti langkah Gia yang berhenti di depan lemari pendingin dan mengambil minuman kaleng yang mengandung alkohol.

"Jangan minum ini!" Rud merampas benda itu dari tangan Gia.

"Rud, balikin!" sentak Gia, dia tak akan marah bila stok minuman itu masih ada. Hanya saja tinggal tersisa satu dan sudah Rud sita.

Rud membuka lemari pendingin dan mengambil botol air mineral, lalu membuka tutup dan memberikannya pada Gia. "Minum ini aja!"

"Aku maunya itu!" tolak Gia.

"Sayang, minum ini aja!" bujuk Rud.

"Sayang, sayang ... Tapi ngilang. Kesel ah!" Gia akhirnya mengambil botol air mineral dan menenggaknya sambil berjalan menuju sofa tempat Rud duduk tadi.

"Aku abis kena hukum gegara jatoh di sirkuit, Sayang," ucap Laut sembari mengikuti langkah Gia.

"Bohong, bilang aja kamu udah mulai jalan 'kan sama cewek itu?" tuduh Gia.

"Aku nggak pernah jalan berdua sama dia, selalu bareng keluarga."

"Sama aja, nanti juga lama-lama kamu suka ke dia. Kurangnya aku apa sih, Rud? Aku ninggalin kepercayaan aku dan dibuang keluarga demi kamu, loh!" cecar Gia.

"Kasih aku waktu, ya. Aku nggak mungkin jatuh cinta sama dia," bujuk Rud.

"Selalu itu yang kamu bilang, kenyataannya mana? Buat ngenalin aku ke keluarga kamu aja kamu nggak berani, 'kan? Aku nih artinya apa sih buat kamu?"

"Aku sayang kamu, kamu cukup percaya itu. Aku nggak akan ninggalin kamu," janji Rud.

Haduh, sangat klise. Ucapan pria yang terdesak oleh keadaan. Sayang, Gia malah percaya. Ia lagi-lagi luluh. Bahkan menyerahkan kembali keseluruhan dirinya pada Rud hari itu. Tak puas di sofa, mereka pindah ke kamar lalu di bawah guyuran shower yang meletis tubuh keduanya. Rud abaikan pesan sang mama yang menyuruhnya menjemput Tala. Ia bahkan menonaktifkan ponsel karena tak mau lagi diganggu oleh hal-hal yang menurutnya tak penting setelah mengirim pesan pada Tala.

[Aku nggak bisa jemput kamu, maaf. Pulang sendiri aja]

***

Makasih masih setia ngikutin. Komen yang banyak, biar aku semangat. Vote dan hadiahnya juga boleh dilempar ke Rud, nih malam ini. Makasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!