Hari berlalu.
Jam 5 subuh Azam baru saja selesai melaksanakan shalat subuh bersama Arnold.
Selepasnya Arnold pamit pergi karena pagi ini ia harus meninjau beberapa cafe yang ia punya.
Sementara Azam masih bersimpuh di atas sajadahnya. Semalam, meski hanya terlelap beberapa jam namun ia sempat memimpikan sang istri, Arabella.
Mimpi indah dimana ia dan Bella saling bertukar canda di atas ranjang milik mereka berdua, di mansion pemberian orang tua mereka dulu.
Pagi ini kembali teringat mimpi itu dan membuat Azam tersenyum getir.
"Aku akan membuat mimpi itu jadi nyata," ucap Azam, sebuah kata-kata yang menjadi doanya.
Memantapkan hati, Azam lalu bangkit dan melipat sajadah. Lalu segera menuju meja kerjanya dan memakai kaca mata.
Dulu waktu kecil Azam selalu menggunakan kacamata bulat untuk melapisi matanya agar tidak sakit saat sakit membaca.
Lalu beranjak dewasa ia mulai melepaskan kaca mata bulat itu. Kacamata yang membuatnya terlihat seperti pria cupu dan kutu buku.
Namun kini, Azam kembali menggunakan kacamata itu.
Semenjak bekerja menjadi penerjemah online di beberapa perpustakaan membuatnya selalu berada di depan komputer. Bahkan buku-buku tebal kini menjadi makanannya 5 hari terakhir.
Tapi kini Azam tidak menggunakan kacamata berbentuk bulat, ia memilih bentuk persegi. Kaca mata itu kembali ia beli menggunakan uang pemberian tante Aida.
Dan kini kaca mata itu kembali membuat Azam terlihat seperti pria cupu dan kutu buku. Namun tetap saja tidak bisa menutupi ketampanan nya. Aura tuan muda tidak pernah lepas dari diri Azam.
"Kirim," gumam Azam, saat pekerjaan selesai dan ia mulai mengirimnya melalui email.
Dan tak berselang lama, ponselnya berbunyi sebuah notifikasi. Satu pesan masuk ia terima. Pesan dari mobile banking tentang masuknya sejumlah uang. Honor pertama yang ia terima.
"Aku bisa menemui Bella menggunakan uang ini," gumam Azam, menatap layar ponselnya dengan bibir yang tersenyum kecil.
Lalu mulai melakukan pemesanan penerbangan pesawat menuju Singapura, besok saat malam hari. Jadi paginya ia bisa langsung menemui Bella.
Selesai dengan itu, Azam segera bergegas keluar. Ia berniat mengembalikan uang pemberian tante Aida dan menemui ayah dan ibunya.
Meski tahu ia akan ditolak, namun Azam akan datang tetap datang. Azam sungguh ingin melihat wajah sang ibu.
Menggunakan motor matic Azam mulai membelah jalanan kota Jakarta. Seperti yang lainnya, saat menggunakan motor seperti ini matahari terik langsung mengenai tubuh. Bising suara kendaraan yang lain pun makin jelas terdengar. Belum lagi debu yang mendatanginya tanpa permisi.
20 menit perjalanan akhirnya ia sampai di mansion milik sang ayah. Di Mansion ini keluarga besarnya tinggal.
Ayah, ibu, amang Yuda dan Acil Aida, juga adik-adik dan sepupunya.
Hatinya kembali pilu kala menatap gerbang yang menjulang tinggi di hadapannya ini. Gerbang yang tertutup rapat meski ia sudah berdiri disini.
"Tuan Azam," ucap pak satpam disana. Ia sedikit membuka gerbang itu dan keluar. Tidak mempersilahkan Azam untuk masuk.
"Maafkan saya Tuan, Tuan Besar melarang saya membukakan pintu untuk anda," ucap satpam itu.
sebuah ucapan yang membuat Azam tersenyum getir.
"Tidak apa-apa Pak, saya mengerti," jawab Azam, ia masih saja memperlihatkan senyumnya yang palsu.
Lalu memberikan 2 paper bag pada pada pak satpam itu.
"Yang ini tolong berikan pada acil Aida. Dan ini... tolong berikan pada ibu," ucap Azam dengan suaranya yang bergetar.
Sungguh, ingin sekali ia memanggil sang ibu lalu mendapatkan jawaban. Namun kini semuanya terasa hampa.
"Baik Tuan," jawab pak satpam dengan hatinya yang merasa begitu iba.
Satpam itu bahkan sampai berkaca-kaca saat melihat kepergian Azam. Menggunakan motor matic dan mengendarainya sendiri.
"Ya Allah, semoga tuan Azam baik-baik saja," gumam pak satpam. Lalu kembali masuk ke dalam mansion.
Sementara Azam terus mengendarai motornya dengan pikiran yang entah. Ia bahkan tak sadar jika sudah ada air mata yang mengalir di tiap sudut netranya.
Tujuan Azam kini hanya satu, menuju ke pemakaman sang nenek. Meletakkan setangkai mawar putih di samping nisan nenek Zahra.
"Maafkan Azam Nek, maafkan Azam," ucap Azam dengan sesenggukan. Kini ia benar-benar menangis tanpa bisa ditahan.
Hari memang sudah berlalu namun nyatanya kesedihan itu masih begitu jelas menyelimuti hatinya.
Apalagi kini Azam benar-benar merasa sendiri, tidak ada yang menggenggam tangannya, tidak ada yang memeluk tubuhnya.
Cukup lama bersimpuh di makam sang nenek dan akhirnya Azam memutuskan untuk pulang.
Bersiap dan segera menuju Singapura.
Malam sampai di Singapura dan paginya Azam langsung menuju ke apartemen sang istri, Pan Pacific apartment.
Jantung Azam terasa terhenti saat akhirnya ia bisa melihat wajah sang istri.
Bella berdiri disana, persis di pintu keluar masuk lobby apartemen. Bella tidak sendiri, ia didampingi Fhia. Membuat hati Azam merasa lega, bahwa istrinya tidak sendirian.
Pagi itu ia terus mengikuti kemanapun Bella pergi. Memuaskan diri untuk menatap sang istri dari kejauhan.
Seperti seorang penguntit.
Hingga akhirnya Bella dan Fhia memutuskan untuk menyudahi kepergiannya. Membuat Azam merasa sesak seketika saat tahu ia tak bisa lagi melihat Bella.
Maka dengan semua kerinduan yang ia punya, Azam akhirnya menghentikan langkah kedua wanita itu sebelum mereka memasuki apartemen.
"Bella," panggil Azam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
komalia komalia
nyesek
2025-01-23
0
May Keisya
😭
2024-11-16
0
andi hastutty
Sedih juga dengan kesalahan azam buat membuat dia menderita
2024-09-15
0