Selesai melontarkan rencananya untuk menikah lagi, Raja bergegas keluar dari kamar Zevira. Ia tidak ingin berlama-lama tinggal di ruangan yang sama dengan wanita yang sudah mengkhianati cintanya itu.
"Daddy," seru Ivyna memeluk Raja.
"Daddy sudah selesai bicara dengan Mommy? Boleh aku masuk ke kamar Mommy sekarang?" tanya Ivyna menatap Raja dengan mata bulatnya.
"Sudah, Ivy. Kamu boleh menemui Mommy."
"Daddy, apa nanti kita bisa main lego bersama lagi?"
“Maaf, Sayang, Daddy harus kembali ke kantor dan hari ini Daddy pulang malam. Kita bisa main lego di hari Sabtu nanti. Daddy janji akan menemanimu."
"Thanks, Daddy," ucap Ivyna sambil mengecup pipi Raja.
"Jangan nakal, Ivy. Daddy berangkat dulu."
Raja berlalu dari hadapan puteri kecilnya itu dengan perasaan campur aduk. Ia berusaha menahan diri dan tidak menunjukkan rasa frustasinya di hadapan Ivyna. Meski sesungguhnya pikirannya sedang kacau balau.
Dengan lantang, Raja mengumumkan keinginannya untuk menikah lagi di depan Zevira. Namun semua itu dia lakukan semata-mata demi membalas dendam atas perselingkuhan sang istri. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sama sekali tidak ingin berhubungan dengan wanita manapun. Sanubarinya telah mati rasa. Saat ini baginya cinta adalah sebatas omong kosong, kata-kata kiasan yang diciptakan oleh orang-orang yang suka membual.
Seraya menambah kecepatan mobilnya, Raja terus melaju di jalan raya. Ia hanya ingin sampai di kantor dan segera menenggelamkan diri dalam kesibukan. Diam-diam, Raja telah berikrar pada dirinya sendiri untuk tidak lagi terjerat pada sesuatu yang dinamakan cinta.
****************
Cleantha menghela nafas sebelum menerobos kerumunan orang yang sedang berebut membaca pengumuman. Selembar kertas putih yang tertempel di papan berlapis kaca itu, memang menjadi magnet tersendiri yang menyedot perhatian. Bagaimana tidak, disitu tercantum nasib para kandidat pelamar kerja yang telah berjuang melewati serangkaian tahap seleksi.
Mereka sungguh berharap kali ini akan lolos ke tahap akhir. Tinggal selangkah lagi dan mereka akan mencapai impian terbesar untuk menjadi bagian dari sebuah bank ternama.
"Maaf, permisi," ucap Cleantha melewati beberapa orang pelamar kerja yang berdesakan di depan papan pengumuman. Tubuhnya yang mungil, membuatnya mudah menyelinap di antara barisan orang-orang itu.
Tanpa mempedulikan pandangan mereka yang tidak suka, Cleantha berhasil sampai di barisan depan. Dengan cermat, ia menelusuri daftar nama yang ada di pengumuman itu.
"Steven, Anisa, Gilang,..."
Cleantha menggerakkan bola matanya, membaca satu per satu nama yang tertera di daftar itu hingga urutan terakhir. Namun ketika selesai membaca, kaki dan tangannya mendadak lemas.
Cleantha berpegangan pada ujung kayu papan itu untuk menjaga keseimbangannya. Harapannya pupus sudah. Ia harus menelan pil pahit bahwa namanya tidak tercantum di dalam daftar tersebut. Yang artinya ia telah gagal mendapat pekerjaan untuk kesekian kalinya.
Sambil menahan rasa kecewanya, Cleantha bergegas keluar meninggalkan tempat itu.
“Kenapa nasibku seburuk ini. Aku tidak punya pekerjaan. Lalu bagaimana aku bisa membayar bunga pinjaman kepada Tante Puspa bulan ini? Apa benar yang dikatakan Papa bahwa aku ini pembawa sial dan selalu hidup dalam ketidakberuntungan?”
Rasa putus asa kembali menyerang Cleantha. Ia berjalan tak tentu arah menyusuri kompleks gedung perkantoran itu.
“Dimana aku bisa mencari uang? Apa sebaiknya aku mampir ke gedung perkantoran di seberang sana. Barangkali salah satu dari kantor itu ada yang menempelkan info lowongan pekerjaan.”
Dengan langkah yang tidak pasti, Cleantha menyeberangi jalan. Gedung perkantoran itu adalah satu-satunya harapan terakhirnya untuk mendapatkan pekerjaan. Entah usahanya ini akan berhasil atau kembali berujung sia-sia, dia tetap akan mencobanya.
Pikiran-pikiran buruk yang tidak berhenti memenuhi benaknya, menyebabkan Cleantha kehilangan fokus. Ia terlarut dalam lamunan, hingga tak menyadari jika sebuah mobil Mercedez-Benz berwarna hitam sedang melaju kencang ke arahnya.
Spontan, Cleantha dan pengemudi mobil itu sama-sama terperanjat. Cleantha yang berada dalam situasi berbahaya, hanya bisa menjerit seraya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia sudah pasrah bila hari ini dewa maut tiba-tiba datang untuk menjemputnya. Mungkin saja telah tiba waktunya ia pergi meninggalkan dunia fana yang memperlakukannya secara tidak adil.
"Aarrgghhhh!" pekik Cleantha memejamkan mata.
Gadis itu baru berani membuka mata ketika mendengar suara decit ban mobil disertai bunyi tabrukan yang cukup keras.
Cleantha terpengarah melihat mobil hitam itu berhenti mendadak dan menabrak pembatas jalan.
“Pengendara mobil itu membanting setirnya agar tidak menabrakku. Tapi dia malah mengalami kecelakaan. Aku harus menolongnya,”
gumam Cleantha tanpa ragu.
Meski tubuhnya masih gemetaran, Cleanta memaksakan diri berlari untuk menolong si pengendara mobil.
"Pak, apa Anda baik-baik saja?" panggil Cleantha mengetuk jendela mobilnya.
Dari jendela mobil, tampak sosok seorang laki-laki berjas hitam tengah merundukkan kepalanya di kemudi mobil.
"Pak, tolong jawab saya," ulang Cleantha panik.
“Kenapa dia tidak memberikan respon? Apa dia pingsan? Aku harus berusaha sekali lagi.”
"Pak, jika Anda masih sadar tolong buka pintunya! Saya akan membawa Anda ke rumah sakit."
Cleantha memicingkan mata untuk melihat lebih jelas bagaimana keadaan sang pengemudi mobil. Namun ia terkejut saat laki-laki itu mendadak bergerak dan membuka pintu mobilnya.
Terdapat beberapa luka berdarah di tangan lelaki itu. Begitu pula memar yang tampak di bagian dahinya. Manik mata cokelat milik lelaki itu memandangi wajah Cleantha tak berkedip, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.
Dari jarak dekat, Cleantha baru menyadari betapa tampannya wajah si pengemudi mobil. Bahkan hingga berusia dua puluh tiga tahun, ia belum pernah melihat pria dewasa yang memiliki tampilan visual sesempurna ini.
“Apa dia ini seorang aktor atau orang terkenal? Atau jangan-jangan dia keturunan bangsawan? Kalau benar begitu, aku bisa mendapat masalah besar,”
pikir Cleantha ketakutan.
"Pak, maaf…maksud saya Tuan, mari saya bantu keluar dari mobil," ucap Cleantha memberanikan diri.
Lelaki itu tidak memberikan jawaban, tapi ia membiarkan Cleantha memegang lengannya dan menolongnya keluar dari mobil. Saat mereka bersentuhan, Cleantha bisa merasakan otot-otot kekar yang menyembul dari lengan pria itu.
Tubuhnya yang tinggi, menyebabkan Cleantha kesulitan memapah pria itu keluar dari mobil. Sejenak pandangan mata mereka saling bertemu, namun Cleantha buru-buru menundukkan kepalanya.
"Tuan, saya akan memanggil taksi dan membawa Anda..."
"Berhenti bicara!" hardik lelaki itu tampak marah.
Biarpun nampak kesakitan, pria tampan itu tidak segan untuk melampiaskan amarahnya kepada Cleantha.
"Apa kamu sengaja ingin bunuh diri dengan menabrakkan diri pada mobil yang melintas di jalan ini? Kamu membuatku berada dalam masalah. Aku hampir saja mati."
"Ma..af, Tuan. Ini bukan jalan utama, saya kira tidak ada mobil yang lewat. Dan...tadi saya sedang melamun."
"Enteng sekali jawabanmu. Perbuatanmu tadi nyaris membuat kita berdua mati, tapi kamu malah mencari-cari alasan."
"Saya minta maaf, Tuan. Saya akan bertanggung jawab."
Sudut bibir lelaki itu naik ke atas membentuk sebuah seringai yang menakutkan. Sorot matanya nampak merendahkan Cleantha.
"Tanggung jawab? Mengurus dirimu sendiri saja kamu tidak becus. Sekarang kamu mau bertanggung jawab atas diriku?"
"Saya benar-benar minta maaf, Tuan..." tutur Cleantha menahan air matanya.
Detik berikutnya, pria itu menunjukkan luka-luka yang ada di wajah dan tangannya, lalu menarik Cleantha mendekat padanya.
"Lihat, luka-luka yang ada di tubuhku ini! Dan terutama perhatikan baik-baik bagaimana kondisi mobilku yang rusak karena ulahmu!"
"Kamu tahu berapa harga mobil milikku ini? Apa kamu punya uang jika aku meminta ganti rugi satu milyar padamu?" ancam lelaki itu seraya memicingkan matanya.
Tak terasa, buliran air mata mulai jatuh dari pelupuk mata Cleantha.
"Sa...tu milyar? Saya...tidak punya uang sebanyak itu, Tuan."
"Aku sudah menduganya. Dengan melihatmu saja, aku yakin kamu tidak punya apa-apa. Karena itu kamu berniat mengakhiri hidupmu sendiri," ujar pria itu mengejek Cleantha.
Ia mendengus kesal sebelum melanjutkan perkataannya.
"Kalau begitu aku akan membawamu ke kantor polisi dan melayangkan tuntutan hukum supaya kamu dipenjara."
Mendengar ancaman mengerikan itu, Cleantha hanya bisa berurai air mata. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain berlutut di kaki pria itu dan memohon kemurahan hatinya.
"Tuan, Anda sudah salah paham. Saya tidak berniat untuk bunuh diri atau mencelakakan Anda. Saya mohon jangan bawa saya ke kantor polisi. Ayah saya sedang sakit, saya harus bekerja untuk membiayai perawatan ayah saya. Saya bersedia melakukan apa saja untuk Tuan, asalkan Tuan melepaskan saya."
Senyuman tipis tersungging di bibir pria itu saat mendengar permohonan Cleantha. Ia memaksa Cleantha berdiri dan merengkuh tubuh langsing gadis itu dengan kasar.
"Apa benar kamu mau melakukan apa saja yang aku minta?"
"I...iya, Tuan."
"Bagus. Aku tidak akan memenjarakan kamu dan aku tidak akan meminta ganti rugi. Sebaliknya aku akan membayarmu seratus juta rupiah," tandas pria itu mendekatkan wajahnya.
"Se...ratus juta?" ulang Cleantha tidak mempercayai apa yang didengarnya.
"Iya, dengan satu syarat. Kamu harus bersedia menjadi isteri keduaku, sekaligus mematuhi semua yang aku perintahkan tanpa membantah," ucap pria itu merendahkan suaranya.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
ya ampun Raja, mentang 2 org ngk mampu di anggap remeh
2024-08-28
0
Selita Awini
yee seratus juta murah banget
2022-03-14
0
Bunda Saputri
Yaa
2022-03-04
0