Sinar matahari pagi yang menembus celah-celah tirai jendela, membangunkan Cleantha dari tidurnya. Gadis itu menggeliatkan tubuhnya dengan malas. Mengerjapkan mata tiga kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan terang yang menyilaukan.
Cleantha menegakkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. Menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dan menggerakkan kaki perlahan. Rasa kaku di pergelangan kakinya, mengingatkan Cleantha akan peristiwa menakutkan yang dialaminya di tengah hutan.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah semalam ia tidur seranjang dengan Raja.
Anehnya, ia justru merasa lebih tenang karena keberadaan Raja. Ia tidur sangat nyenyak tanpa terbangun sedikitpun.
Namun pagi ini, ia mendapati Raja sudah tidak ada di sampingnya.
"Kemana Tuan Raja? Apa dia bangun lebih pagi dari aku?"
Cleantha melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi.
"Nyonya, apa Anda sudah bangun?" terdengar suara seorang wanita dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Cleantha.
"Saya Imas, istrinya Mang Jaya," jawab wanita itu.
"Masuk saja, Bi."
"Permisi, Nyonya," ucap Bi Imas masuk ke dalam kamar Cleantha.
Wanita berusia akhir empat puluh tahunan itu membawakan sarapan pagi untuk Cleantha.
"Nyonya, saya dipanggil Tuan Raja kesini untuk melayani Anda. Saya akan menemani Anda sampai jam empat sore nanti."
"Bi, dimana Tuan...maksudnya suami saya?" tanya Cleantha meralat ucapannya.
"Tuan Raja pergi kira-kira satu jam yang lalu, Nyonya. Tuan mengatakan akan berolahraga pagi di sekitar sini."
Bi Imas memasangkan meja lipat di depan Cleantha.
Ia meletakkan nasi goreng, roti panggang serta susu hangat untuk sarapan.
"Silakan dimakan Nyonya. Bibi akan memeriksa kaki Nyonya."
Bi Imas memegang pergelangan kaki Cleantha yang tampak membiru. Dengan cekatan, ia mengompres bagian yang memar dengan air dingin.
"Nyonya, apa Anda terkilir saat menjelajahi hutan?"
"Iya, Bi."
"Kalau kaki Anda sakit begini, bulan madu Anda jadi terganggu. Seharusnya Anda bisa jalan-jalan berdua bersama Tuan. Pengantin baru biasanya ingin selalu berduaan. Apalagi Nyonya masih sangat muda dan cantik. Tuan Raja pasti ingin cepat-cepat memiliki momongan dari Nyonya," ucap Bi Imas sembari tersenyum.
"Tidak, Bi. Suami saya sudah memiliki seorang putri dari istri pertamanya," jawab Cleantha menghindar.
"Nyonya, orang kaya seperti Tuan Raja biasanya menginginkan anak laki-laki sebagai penerus garis keturunannya. Karena Nyonya masih muda, Bibi yakin kandungan Nyonya subur. Bisa melahirkan banyak putra untuk Tuan."
"Bibi dulu waktu menikah dengan Mang Jaya terpaut usia enam tahun. Kalau usia suami lebih matang, dia akan mengayomi dan sayang sama istrinya. Bibi yang sudah membuktikan sendiri. Rumah tangga Bibi dan Mang Jaya langgeng sampai sekarang. Kami punya tiga orang anak," lanjut Bi Imas sambil mengoleskan minyak ke kaki Cleantha.
"Saya baru tahu kalau jarak usia suami istri bisa mempengaruhi sebuah pernikahan."
"Percaya saja pada Bibi, Nyonya. Tuan pasti akan memanjakan Nyonya. Apalagi kalau Nyonya sudah memberinya anak."
Cleantha hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Bi Imas.
"Bibi ke dapur dulu, Nyonya. Nanti Bibi kesini lagi untuk membantu Nyonya mandi."
Setelah Bi Imas keluar dari kamar, Cleantha menyantap sarapan paginya sendiri.
Entah mengapa ucapan Bi Imas barusan terngiang-ngiang di telinganya.
Bayangan saat perutnya membesar karena mengandung anak Raja, terlintas begitu saja di benak Cleantha.
Kemudian muncul seorang anak laki-laki yang memegang tangannya dan memanggilnya dengan sebutan "Bunda".
"Tidak, ini tidak mungkin!" teriak Cleantha menepis khayalan konyolnya.
"Kenapa kamu histeris? Apanya yang tidak mungkin?" tanya Raja yang baru saja sampai di depan pintu kamar.
Cleantha langsung menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan. Ia merasa sangat malu karena Raja memergokinya berteriak sendiri tanpa alasan yang jelas.
"Tidak ada, Tuan."
Raja bersedekap sambil melancarkan tatapan penuh curiga.
"Kamu pasti bohong. Tidak mungkin kamu berteriak sekeras itu kalau tidak ada hal yang kamu takutkan," tutur Raja tidak percaya.
"Saya hanya...teringat suasana hutan yang gelap," jelas Cleantha berusaha mengelak.
Raja menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa kamu punya trauma masa lalu atau fobia terhadap hutan? Kalau benar begitu sekembalinya kita ke Jakarta, aku akan memanggil psikolog agar memberikan terapi padamu."
"Tidak, Tuan. Saya tidak punya masalah kejiwaan. Saya normal dan baik-baik saja."
"Tapi jangan berteriak atau bertingkah aneh lagi. Orang lain akan menganggap mentalmu sedang terganggu," ucap Raja melepaskan jaket sportnya.
"Oh ya, setelah mandi aku akan mendaki gunung bersama Mang Jaya. Kamu tinggal di vila saja dengan Pak Darma dan Bi Imas."
"Berapa lama Tuan akan pergi?" tanya Cleantha.
"Kemungkinan aku akan berkemah disana. Besok pagi-pagi sekali aku akan pulang ke vila."
Cleantha menggigit bibir bawahnya.
"Tuan, lalu apa yang harus saya lakukan seharian di vila?"
Raja terdiam sebentar seolah mengingat sesuatu.
"Jaringan internet di daerah ini tidak begitu bagus karena lokasinya dikelilingi pegunungan. Kamu tidak akan bisa bermain sosial media atau menikmati film kesukaanmu. Lebih baik kamu menonton TV atau membaca buku."
"Buku apa yang bisa saya baca, Tuan?"
"Tunggu sebentar," ucap Raja berjalan keluar dari kamar.
Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan membawa setumpuk buku di tangannya.
"Baca saja buku-buku ini. Sebagian merupakan koleksi lamaku yang aku pindahkan dari rumah. Ada buku penjelajahan alam dan buku tentang leasing."
"Untuk dua buku paling atas ini adalah bekas kepunyaan Zevira. Isinya mengenai perawatan bayi. Dulu dia membelinya sebelum melahirkan Ivyna. Sekarang tidak terpakai lagi. Siapa tahu akan berguna untukmu di kemudian hari," jelas Raja meletakkan buku-buku itu di hadapan Cleantha.
"Jika kamu butuh sesuatu, minta saja pada Bi Imas. Aku menyuruhnya datang kemari untuk menjagamu. Aku akan bersiap-siap sekarang," ucap Raja berlalu meninggalkan Cleantha.
Cleantha menatap buku bersampul gambar bayi itu dengan perasaan gelisah. Ia teringat kembali perkataan Bi Imas mengenai bayi laki-laki.
"Pasti semua ini hanyalah kebetulan. Aku terlalu berlebihan menyikapinya."
...****************...
Sepanjang siang, Cleantha bergantian membaca buku-buku yang dipinjamkan Raja. Buku yang paling menarik perhatiannya adalah mengenai perbankan dan leasing. Seusai lulus dari perguruan tinggi, ia selalu berharap bisa bekerja di perusahaan leasing yang besar seperti Keyla.
Saat mengingat Keyla, Cleantha tiba-tiba merindukan ayah dan kakak perempuannya itu. Entah bagaimana kabar mereka saat ini.
Cleantha mengambil ponselnya. Mencoba menghubungi Keyla beberapa kali. Namun sinyal yang buruk membuat panggilannya sulit tersambung.
"Yang dikatakan Tuan Raja memang benar. Di tempat ini aku tidak bisa menghubungi siapapun."
Akhirnya Cleantha menyerah dan menyimpan ponselnya di dalam laci.
Menjelang sore hari, Cleantha merasa sangat bosan berdiam di dalam kamar. Ia berjalan sendiri perlahan-lahan menuju ke ruang tengah.
"Nyonya, kenapa Anda tidak memanggil saya?"
"Saya tidak mau merepotkan Bibi. Saya cuma ingin menonton TV sebentar," jawab Cleantha duduk di sofa.
"Nyonya, makan malamnya sudah siap. Apa ada yang Nyonya butuhkan lagi? Kalau tidak Bibi mau izin pulang. Langit mulai mendung, takut kehujanan di jalan."
"Iya, Bibi boleh pulang. Masih ada Pak Darma yang menemani saya."
"Terima kasih, Nyonya. Saya pamit pulang sekarang."
"Hati-hati, Bi," ucap Cleantha penuh ketulusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments
ande
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2022-01-29
0
Aqiyu
👣👣👣👣👣
2022-01-17
0
nonaAurora
Aku dah kesini yaa kak, dah tinggalin favorit , boom like , jangan lupa mamp*r juga yaa Tentang Rindu 😁
2022-01-05
0