Karna akun IGnya hanya memiliki folower hanya dua, makanya Naya memutukan memposting foto bersama kakek Handoko di akun media sosial FBnya yang memiliki dua ribu lebih pertemanan. Dan begitu tuh foto diposting, wieh ramai banget yang ngasih komentar. Begini nieh kira-kira komentarnya.
Sinta imoet, "Astaga Naya, itu suami lho, itu lebih cocok jadi kakek lo ketimbang suami lo."
Lilimanis, "Yang sabar ya Nay, lo mengorbankan diri demi orang tua lo, lo emang anak berbakti."
Tonianak juragantanah, "Wahyu patah hati banget Nay, tapi dia bisa mengerti."
Fatimah, "Itu sieh udah bau tanah, bentar lagi koit, hartanya pasti bakalan jadi milik lo Nay, bakalan jadi janda kaya deh lo dan bisa dapat yang muda."
Eli gadisdesa, "Nay, menderita banget hidup kamu, harus menikah dengan aki-aki begitu."
Wahyu Prtama, "Semoga bahagia Nay."
Toni anakjurgan tanah, "Yang sabar bro, kamu pasti dapat yang lebih baik."
Naya membaca komentar-komentar tersebut, dan sebagian besar komentar-komentar itu dari temen-temen sekolahnya, Naya yakin pernikahannya karna dia dijodohkan pasti sudah tersebar, didesakan berita gampang banget tersebar apalagi desa Naya hanya desa kecil. Namun diantara komentar itu terdapat komentar Wahyu, komentar Wahyu membuat Naya sedih, Naya yakin pasti Toni telah memberitahu Wahyu kalau Naya sudah menikah. Mengingat Wahyu membuat bulir-bulir bening dari matanya berjatuhan, meskipun dia sudah menerima Lio sepenuhnya sebagai suaminya, dan meskipun dia sudah berusaha melupakan Wahyu, tentu saja hal tersebut belum terwujud sepenuhnya, perasaan itu masih ada, gak semudah itu melupakan laki-laki yang dicintainya yang berstatus sebagai pacarnya selama tiga tahun ini, apalagi Wahyu adalah cinta pertamanya.
Ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari nomer asing, sejak Naya pindah ke Jakarta, dia memang mengganti kartunya sehingga tidak banyak temennya didesa yang tahu.
Naya menggeser simbol telepon berwarna hijau, dan menempelkannya ditelinganya.
Terdengar suara familiar dari ujung sambungan, "Naya."
Perlu waktu beberapa detik untuk Naya menjawab, "Mas Wahyu." tanya Naya untuk memastikan.
"Iya, ini aku Nay."
Naya gak menyangkan Wahyu akan menghubunginya, Naya fikir Wahyu akan membencinya dan tidak mau lagi mengenalnya, sehingga untuk sesaat dia membeku tidak bisa berkata-kata, Naya yakin, pasti Wahyu mendapatkan nomernya dari Eli.
"Nay, kamu disanakan."
"Eh, iya mas, Naya disini."
Naya bersykur karna saat ini Lio belum pulang dari kantor, bukannya dia ada niat selingkuh, namun fikirnya memang diantara dirinya dan Wahyu ada yang perlu diluruskan sehingga mereka perlu bicara, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
"Kamu apa kabar Nay."
"Naya baik mas, mas sendiri gimana."
"Aku juga baik Nay."
Untuk sesaat hening, tidak ada yang kembali membuka percakapan, sampai Wahyu kembali berkata, "Kita dekat tapi jauh ya." suaranya terdengar serak seperti menahan sesak.
"Maafin Naya mas, Naya gak bisa berbuat apa-apa, Naya terpaksa."
"Aku ngerti Nay, kamu gak perlu minta maaf."
"Makasih mas atas pengertiannya."
"Apa kamu bahagia."
Dibilang bahagia gak, dibilang tidak bahagia juga tidak, namun Naya menjawab, "Iya."
"Syukurlah, itu lebih dari cukup untuk membuatku tenang."
"Sekali lagi maafin Naya mas, Naya harap mas dapat jauh yang lebih baik."
"Amin."
"Naya, apa boleh aku minta sesuatu."
"Apa."
"Aku ingin lihat kamu untuk yang terakhir kalinya."
"Tapi, tapi aku gak tahu jalan di Jakarta mas."
Wahyu terkekeh, "Maksud aku, boleh aku melakukan panggilan vidio, pasti HP kamu canggih sekarangkan, secarakan kamu istri orang kaya."
"Jangan meledek mas."
"Siapa yang meledek, itu faktakan."
Naya gak merespon.
"Nay, bolehkan aku VC."
"Boleh mas."
Dan hanya berselang tiga detik panggilan diubah menjadi panggilan vidio, dilayar memampangkan wajah Wahyu. Hati Naya bergetar, dia menangis.
"Mas Wahyu maafin aku." lirihnya untuk keberapa kalinya.
"Jangan nangis Nay, aku tidak ingin melihat kamu menangis."
"Aku, aku." suara Naya terputus, "Aku merasa bersalah karna udah ninggalin mas."
"Sudahlah, aku tahu ini bukan kemauan kamu, takdirlah yang membuat kita tidak bisa bersatu."
Air mata Naya makin deras mengucur mendengar kata-kata Wahyu, wahyu begitu berhati besar menerima semua kepahitan ini.
Wahyu meraba layar ponselnya, maksudnya adalah menghapus air mata Naya, namun sayang hanya itu sebuah layar saja, "Makasih ya Nay, karna telah mengizinkan aku melihat kamu."
Naya tidak bisa berkata-kata, hanya isakannya yang terdengar, ketika terdengar suara langkah dari luar, Naya berkata, "Mas, sudah ya, suami Naya sudah pulang.".
"Selamat tinggal Nay." ucap Wahyu untuk terakhir kalinya.
Bener saja, gak lama pintu menjeblak terbuka, memampangkan tubuh Lio lengkap dengan stelan jasnya yang baru pulang kantor, Naya buru-buru menghapus sisa air matanya, gak mau donk diketahuan nangis, apalagi menangisi mantan.
"Sudah pulang mas." sapa Naya berusaha menormalkan suaranya yang serak gara-gara menangis, sadar matanya sembab Naya tidak mau melihat kearah Lio.
"Hmmmm."
"Mas mau makan, Naya siapkan ya."
"Gue gak lapar." Lio menjawab ketus.
"Mas mau mandi kalau gitu Naya siapkan air hangat."
"Hmmmm."
Lio melepaskan jas formalnya menjatuhkannya begitu saja ditempat tidur, sebelum Naya beranjak, Lio berkata, "Lo lepasin dulu sepatu gue."
Naya mendekati Lio, dia menunduk supaya Lio tidak melihat matanya yang memerah, Lio pasti bertanya kenapa dia menangis. Naya kemudian duduk untuk melepas sepatu dikaki Lio,
"Perasaan dari tadi lo gak mau lihat mata gue deh, kenapa." Lio ternyata menyadarinya juga.
"Gak apa-apa mas."
Tanpa mempedulikan kalimat tidak apa-apa Naya, Lio meletakkan jari tanganya didagu Naya dan mengangkatnya, Lio bisa melihat mata merah Naya.
"Lo nangis."
"Gak, aku cuma kelilipan mas." bohongnya.
"Kelilipan gimana, rumah gue tuh super bersih gak ada debunya, jadi lo gak mungkin kelilipan." tukas Lio jelas gak bisa dibohongi, "Jadi lo nangis karna apa."
Akhirnya terpaksa Naya bohong, "Naya, kangen bapak dan ibu didesa mas." gak mungkin donk dia bilang dia nangis karna habis dihubungi mantannya.
"Lo kangen bapak dan ibu lo, lo telpon donk, gitu aja perlu dikasih tahu."
"Iya mas nanti Naya telpon."
"Udah sana siapin gue air hangat, gue ingin berendam."
Naya mengangguk dan melangkah ke kamar mandi.
****
Setelah makan makan malam dan membantu bi Darmi dan mbak Wati membereskan meja makan, Naya harus memaksa kakek Handoko yang tengah asyik nonton TV untuk minum obatnya, dan itu bukanlah tugas yang mudah karna kakek Handoko perlu bujukan dan nasehat panjang lebar sebelum mau minum obat, dan setelah itu barulah Naya mengantarkannya kekamar untuk istirahat. Setelah melakukan semua itu barulah Naya naik kekamarnya yang ada dilantai dua. Ketika dia masuk Lio tidak ada kamar, namun suara gemerisik air dari kamar mandi memberitahunya kalau Lio saat ini tengah ada dikamar mandi.
Naya duduk didepan cermin rias, buat apalagi kalau bukan mulai perawatan, mencoba produk-produk skincare yang dibelinya ditoko.
"Pakai yang mana dulu ya." Naya bingung saking banyaknya produk-produk kecantikan diatas meja, "Sepertinya yang ini, ya begitu kata sik mbaknya." Naya meraih botol toner, namun dia kembali meletakkannya, "Sepertinya bukan yang ini." dia jadi bingungkan, maklum ini untuk pertama kalinya dia melihat produk skincare yang begitu banyak macamnya.
Ketika dia tengah dibingungkan untuk mengaplikasikan yang mana terlebih dahulu, Lio keluar dari kamar mandi, memandang Naya sekilas kemudian berjalan ketempat tidur.
Iseng-iseng Naya bertanya pada Lio, "Mas, kalau mau pakai produk skincare dimulai dari yang mana dulu ya."
"Mana gue tahu."
"Pakai serum dulu, atau micelerwater dulu mas."
"Gue gak tahu, jangan tanya gue, lo fikir gue cewek apa tau masalah-masalah begituan."
"Ya udah mas, gak usah ngegas gitu juga donk, Nayakan cuma nanya, gak suruh mas makein." sewot Naya.
"Beli banyak produk skincare, emang bisa gitu bikin kulit buluk lo glowing."
Naya langsung melempar botol toner kearah Lio dan itu tepat mengenai dada Lio, "Istri durhaka lo ya."
"Siapa suruh kalau ngomong gak disortir dulu, rasain." balas Naya galak.
"Dasar menyebalkan."
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments