Istri Yang Tidak Diharapkan
Pamitnya sama kedua orang tuanya mau ke rumah Eli, taunya ternyata Naya pergi mengantar kepergian Wahyu ke stasiun kereta.
"Mas, hati-hati disana, jangan lupa sholat." pesannya pada Wahyu.
"Pasti."
Rasanya Naya begitu berat berpisah dengan Wahyu, tapi mau bagaimana, ini demi masa depan mereka, meskipun sudah berusaha supaya dia tidak terlihat sedih saat melepas kepergian Wahyu, toh, ternyata dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya, wajah Naya terlihat mendung.
"Jangan nangis Nay, aku pasti kembali, janji deh aku gak akan nakal disana." Wahyu berusaha bercanda, berat juga dia harus berpisah jauh dengan kekasih hatinya.
"Apa sieh mas, siapa juga yang nangis."
"Emang belum, tapi itu wajahnya mendung, sebentar lagi kayaknya pasti bakalan turun hujan deras deh."
"Ya wajarlah mas, mas kan akan pergi, Naya kan jadi sedih."
"Aku juga sedih Nay, tapi ini demi masa depan kita, seperti kata pepatah, bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian, upss." Wahyu langsung menutup bibirnya, "Kebalik, hehehe."
Candaan garing Wahyu tersebut ternyata mampu menciptakan senyum di wajah Naya, "Nah, gitu donk senyum, sebelum pergikan aku ingin lihat senyum pacar aku agar perginya tenang."
Naya membenarkan ucapan Wahyu, dia tidak boleh sedih supaya Wahyu bisa pergi dengan tenang.
"Oh ya, hampir lupa." Wahyu merogoh kantong celananya, dari sana dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun dan isinya adalah sebuah kalung perak dengan lionton berinisial namanya dan nama Naya yaitu NW
Naya membekap mulutnya karna terharu.
"Nay, apa boleh aku memasangkannya dileher kamu."
Naya hanya mengangguk, dia hanya gak menyangka saja Wahyu akan memberikannya hadiah sebelum dia pergi, dia menyingkirka rambutnya ke samping untuk memudahkan Wahyu memasangkan kalung tersebut.
"Aku harap ketika aku jauh, kalung ini bisa mengobati rasa kangen kamu kepadaku."
Naya menyentuh lionton kalung tersebut, "Indah sekali mas."
"Kamu suka."
"Suka sekali."
Terdengar suara petugas yang mengumumkan kalau kereta yang akan membawa Wahyu ke perantauan akan berangkat sebentar lagi.
"Aku pergi ya Nay, jaga dirimu, dan tunggu sampai aku pulang."
Naya mengangguk, tak sanggup rasanya dia membalas kalimat Wahyu.
Wahyu menaiki kereta, ketika dia sudah berada di atas dia melambaikan tangan yang dibalas oleh Naya, gak lama kereta tersebut mulai bergerak secara perlahan dan semakin lama semakin cepat sampai menghilang dipandangan Naya.
"Selamat Jalan mas Wahyu, semoga Allah selalu melindungimu." doanya, tanpa dia sadari bulir bening mulai berjatuhan membasahi pipinya.
************
Lio tengah sibuk memeriksa berkas diruang kerjanya ketika deringan dari ponselnya terdengar.
Lio mendengus kesal, "Siapa sieh yang ganggu, awas saja kalau gak penting."
Ternyata yang menelponnya adalah dokter Vito, dokter keluarganya.
"Dokter Vito." gumamnya, langsung menggeser simbol telpon untuk menjawab, pasalnya kalau dokter Vito menelponnya itu pasti berkaitan dengan kakeknya, dan Lio berharap tidak terjadi apa-apa dengan sang kakek mengingat doktet Vito menelponnya di saat jam kerja begini.
"Iya Dokter."
"Lio, sebaiknya kamu segera pulang ke rumah."
"Pulang, gak terjadi apa-apa dengan kakek kan Dok."
Dokter Vito tidak langsung menjawab, dia terdiam beberapa saat untuk mendramatis keadaan, "Dokter, jangan diam saja, kakek saya baik-baik saja kan."
Terdengar helaan nafas berat, "Sayangnya, tuan Handoko saat ini kondisinya tengah memburuk."
"Apa, ya udah Dokter tolong bawa kakek saya ke rumah sakit, saya menyusul ke sana."
"Lio, kakek mu tidak mau dibawa kerumah sakit, dia ngotot ingin dirumah saja, kamu tau kan kakek kamu itu keras kepala gak bisa di paksa."
Lio panik, "Ya udah Dokter saya akan pulang sekarang, biar saya yang akan memaksa kakek, mama mana mama Dok."
"Mama kamu juga dalam perjalanan pulang."
"Baiklah Dokter, tolong buat kakek saya sehat."
Lio mematikan telpon, dan membereskan dokumen yang tengah diperiksanya.
"Lho, Boss." tegur Rafa melihat Lio membereskan berkas-berkas penting tersebut, "Lo mau ketemu Cleo lagi."
"Gue mau pulang."
"Bukannya jam kantor belum selesai."
"Siapa peduli, yang penting saat ini gue harus pulang dan berada di samping kakek gue."
"Bos sepuh, apa yang terjadi dengan Bos sepuh."
"Sepertinya jantungnya kumat." Lio sudah selesai membereskan mejanya.
"Gue ikut lo."
"Lo disini saja urus perusahaan selama gue pergi."
"Mana bisa begitu, kemarin saja pas lo mau ketemu Cleo lo ngajakin gue, pas Boss sepuh sakit lo malah nyuruh gue disini, asal lo tahu, Boss sepuh lebih penting dari perusahaan ini."
"Udah deh terserah lo." ujar Lio.
Biasanya Rafa yang akan mengendarai mobil, tapi kali ini Lio yang duduk dibangku pengemudi, dia melajukan mobil dengan kencang, melihat Lio yang seperti ini, Rafa berkesimpulan pasti Boss sepuh kumatnya parah, oleh karna itu tidak butuh lama buat Lio sampai dirumah.
Dia langsung berlari memasuki rumah dan menuju kamar kakeknya, Rafa menyusul dibelakang. Dia sana, di kamar kakeknya sudah berkumpul semua penghuni rumah, mulai dari mamanya yang ternyata sudah sampai duluan, tiga Art dirumah besar itu, pak Asep satpam rumah dan pak Paijo tukang kebun, dan satu lagi Dokter Vito yang berdiri disamping kakeknya, meskipun orang lain, tapi Dokter Vito sudah dianggap keluarga oleh keluargnya, semua yang berada di ruangan tersebut terlihat bersedih melihat keaadan kakeknya yang terbaring lemah.
Mamanya duduk disamping kepala kakeknya, wajahnya terlihat sedih, begitu dia datang, mamanya langsung memberitahu kedatangannya pada sang kakek dengan mendekatkan bibirnya ke telinga kakeknya, "Pa, Lio sudah datang."
"L l io." Handoko memanggil dengan susah payah.
Lio mendekati kakeknya dan memegang tangan kakeknya, "Kakek, kita kerumah sakit ya, biar kakek ditangani di sana."
Handoko menggeleng, "Kakek rasa, waktu kakek tidak lama lagi."
"Jangan bilang begitu pa." pecahlah tangis Renata.
"Kakek pasti sembuh, jadi jangan berfikir yang aneh-aneh."
Nafas Handoko terputus-putus persis seperti orang sekarat, "Sebelum pergi kakek ingin kamu berjanji satu hal sama kakek Lio."
"Apa itu kek."
"Menikahlah dengan gadis yang kakek pilihkan untukmu."
"Apa, Lio dijodohkan." Rafa membatin.
Ini adalah keputusan yang berat yang membuatnya tidak mungkin mengatakan iya secepat itu meskipun kondisi kakeknya dalam kondisi sekarat begitu, selain itu juga kan dia punya kekasih yang gak mungkin dia tinggalkan.
"Bilang Iya Lio, kenapa kamu malah diam." Renata mendesak putranya.
"I...i..iya kek." suara Lio terbata-bata, "Lio mau menikah dengan gadis pilihan kakek."
Dan anehnya, begitu mendengar janji cucunya, nafas Handoko kembali normal, melihat hal tersebut, Dokter Vito mendekat memeriksa kondisi kakek Handoko, wajahnya terlihat lega, "Syukur alhamdulillah, ini adalah keajaiban, kondiisi tuan handoko kembali normal, apa mungkin setelah mendengar janji cucu tersayangnya."
Renata menarik nafas lega, sedangkan Lio, dia memang sangat bersyukur kondisi kakeknya membaik, tapi dia juga harus memenuhi janjinya untuk menikahi gadis pilihan sang kakek.
"Baiklah, semuanya, untuk saat ini tolong keluar dulu, biar tuan Handoko istirahat dulu."
Semua yang ada diruangan itu keluar dengan patuh, sekarang diruangan itu hanya menyisakan Handoko dan Dokter Vito.
Handoko langsung bangun dan tersenyum sangat lebar, "Anda memang hebat tuan, akting anda bener-bener luar biasa, anda layak mendapatkan piala Citra." puji Dokter Handoko mengacungkan kedua jempolnya.
"Hahaha." Handoko tertawa dengan suara rendah, "Sik keras kepala itu kudu dikerjain dulu supaya nurut." ujarnya pada cucunya.
Ya, ini adalah sandiwara antara Handoko dan Dokter Vito saja, tujuannya tentu saja supaya Lio mau menikah dengan cucu sahabatnya.
***********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Anonymous
'
2024-07-08
0