Sementara Naya pergi bersama dengan Rafa, Lio juga langsung pergi begitu mobil Rafa sudah pergi, tujuannya adalah untuk menemui kekasih hatinya yaitu Cleo, karna selama satu minggu ini dia tidak pernah punya kesempatan untuk menemuinya, dia begitu sangat merindukan kekasihnya itu.
Begitu tiba diapertmen mewah Cleo, sebenarnya Lio yang membelikan apertmen itu untuk Cleo sebagai hadiah ulang tahun Cleo, begitulah kalau cowok udah bucin, jangankan apertmen dengan harga selangit, langit kalau bisa akan dibeli untuk sang pujaan hati. Karna dia yang membeli apertmen tersebut, dia langsung memencet beberapa kombinasi angka yang merupakan pasword untuk membuka pintu apartmen tersebut, begitu dia masuk, suasana apertmen tersebut tampak lenggang, namun televisi yang menyala menandakan penghuninya memang ada disana, karna ini hari minggu, Cleo tidak disibukkan dengan kegiatan modelingnya.
Cleo ternyata tidur malas-malasan di sofa dengan mata terpancang ketelevisi menonton acara favoritnya yaitu top model.
"Pagi yang indah sayang." tegur Lio tersenyum melihat kelakuan kekasihnya, dan Lio yakin kalau Cleo belum mandi, tapi dia gak peduli, mandi atau gak, baginya Cleo tetap cantik dan sempurna dimatanya.
Cleo mendengus, "Kayaknya aku harus mengganti pasword apertmenku deh agar kamu tidak sembarangan keluar masuk."
Lio terkekeh, duduk disamping Cleo yang sudah merubah posisinya dari berbaring ke duduk, "Ganti saja, tapi aku akan selalu tahu paswordnya yang baru."
Dia merangkul Cleo, mengacak rambut kusut itu dengan gemes, Cleo mendorong dada Lio, dengan kesel berkata, "Ngapain kamu kesini."
"Ya kangenlah sayang, apalagi."
Cleo mendengus, "Kangen, setelah kamu puas tidur dengan istri barumu." ternyata Cleo tengah ngambek, ya ngambeklah, fikirnya selama satu minggu ini Lio sibuk menikmati masa-masa bulan madu dengan Naya.
"Apa sieh yang kamu katakan, akukan sudah bilang, kalau aku tidak akan menyentuhnya sedikitpun, pernikahan ini cuma untuk membuat kakek senang, itu saja, tidak lebih."
Cleo berdecih, dia meyilangkan tangannya didada, "Hanya membuat kakekmu senang, tapi selama satu minggu kamu tidak pernah menghubungiku, katakan saja kamu menikmatinya."
Baiklah, dibutuhkan usaha yang cukup keras memang membujuk wanita yang ngambek, hal itu juga yang dilakukan oleh Lio yang tidak tahan kalau melihat gadis yang dicintai merengut begini, dia menggeser tubuhnya mendekat, dia meraih tangan Cleo dan mengarahkannya pada bibirnya, Cleo berusaha menarik tangannya, namun ditahan oleh Lio, karna memang laki-laki dilahirkan dengan bakat merayu, Lio kembali melancarkan aksinya merayu Cleo dengan kata manis semanis gula, "Sayangg, maafkan aku plisss, aku berani bersumpah hanya kamu yang ada dihatiku, sekarang dan selamanya."
"Gombal."
Lio kembali mengarahkan tangan Cleo yang masih dalam genggamannya kedadanya, "Belahlah dadaku kalau kamu gak percaya."
Cleo ternyata masih belum bisa diluluhkan juga ternyata, Lio menggunakan jurusnya yang terakhir, "Oke sayang, bagaimana kalau kita ketoko tas langganan kamu, mungkin ada barang baru yang kamu sukai."
Dan sepertinya ini manjur, buktinya Cleo kini memberikan perhatiannya pada Lio, "Kamu serius." Cleo tidak susah payah menyembunyikan antusiasnya, kelihatan bangetkan matreknya.
Namun kalau udah serangan bucin, cowok mana peduli kalau ceweknya matrek, termasuk Lio, "Kapan sieh aku tidak pernah serius."
Cleo kini menyandarkan kepalanya didada Lio, "Ada sieh mas, tapi harganya mahal."
"Tidak ada yang mahal untuk membeli senyum manismu." Lio mengecup bibir mungil Cleo dan Cleo membalas lebih ganas, cukup lama sampai mereka memisahkan diri dengan terengah-engah.
Cleo kemudian berdiri dan berkata, "Oke mas, tunggu aku ya, aku mau siap-siap dulu." ujarny berlari kekamar mandi.
****
Dalam perjalanan pulang, didalam mobil, Naya bertanya, "Mas, kalau Naya mau beli sesuatu lagi boleh gak ya."
"Emang kamu beli apa lagi Nay, kenapa tadi gak ngomong waktu dimall."
"Anu mas, Naya ingin membeli sedikit oleh-oleh buat ART dirumah, boleh ya."
"Boleh donk, ku fikir tadi kamu ingin beli mobil ferari."
Rafa menghentikan mobilnya tepat didepan penjual martabak pinggir jalan, dia menunggu dimobil sementara Naya membeli martabak.
"Baik banget sih dia, sempet-sempetnya dia memikirkan ARTnya." lirih Rafa memperhatikan Naya dari dalam mobil.
"Sudah." Rafa bertanya begitu Naya kembali memasuki mobil.
"Sudah mas." kini tangannya menenteng dua kotak berisi martabak.
Rafa kembali menjalankan mobilnya. Mereka tiba dirumah besar, Rafa membantu Naya membawakan barang-barang belanjaannya, "Biar Naya saja mas."
"Udah gak apa-apa, aku saja, nanggung ini."
"Ya udah kalau gitu, makasih ya mas." Naya berjalan didepan, begitu sudah berada didalam dan Rafa meletakkan barang belanjaan Naya.
"Mas, mas mau mampir dulu gak, minum teh dulu gitu." Naya menawarkan.
"Boleh deh."
Dengan membawa kotak martabak Naya berjalan menuju dapur, setelah menyerahkan kotak berisi martabak pada Wati salah satu ART disana, Naya membuatkan teh untuk Rafa .
Melihat hal tersebut, Wati berusaha mengambil alih apa yang dilakukan oleh nona mudanya, "Biar wati saja nona yang bikin tehnya."
"Gak apa-apa mbak Wati aku saja."
Meskipun Wati adalah ARTnya, Naya manggilnya mbak karna Wati umurnya lebih tua darinya.
"Tapi nona..."
"Mbak Wati mending istirahat saja, capekkan dari tadi ngurus rumah."
"Iya nona, tapi kalau tuan..."
"Ini perintah mbak, jadi jangan membantah."
Wati akhirnya menyerah dan membiarkan nona mudanya membuat teh untuk Rafa.
Naya meletakkan teh dimeja, "Maaf ya mas lama."
"Santai aja Nay."
Rafa meraih paperbag berukuran mungil dan mengambil isi yang ada didalamnya yang ternyata berisi kotak ponsel yang dibelikannya untuk Naya.
"Nah Nay, ini ponsel baru untuk Naya, jadi Naya pakai yang ini saja sekarang ya, jangan pakai HP Naya yang butut itu lagi." Rafa mengeluarkan benda pipih multifungsi tersebut dari kotaknya dan menyerahkannya pada Naya.
Naya membolak balikkan ponsel tersebut mencari tombol untuk menghidupkannya.
"Mas, tombol untuk menghidupkannya yang mana." tanyaya karna memang gak tahu.
Rafa ingin tertawa, tapi ditahannya, wanita ini ternyata bener polos dan gaptek, fikirnya, "Nieh yang disamping Nay." tunjuknya pada tonjolan disamping.
Naya menekan tonjolan disamping ponsel tersebut dan menyala, "Nyala mas." antusiasnya kayak baru pertama kali lihat HP saja, "Terus gimana kalau mau telpon atau kirim pesan mas, HP inikan gak ada tombol abjadnya."
"Hahaha." Oke kali ini Rafa bener-bener tidak bisa menahan tawanya, namun dia langsung berhenti karna Naya bener-bener tidak tahu bukan pura-pura tidak tahu.
"Mas kok ketawain Naya sieh." tersinggung rupanya Naya.
"Sorry sorry, keceplosan Nay."
Dengan sabar Rafa mengajar Naya cara mengoperasikan ponsel barunya, menunjukkan satu persatu aplikasi yang ada disana dan manfaatnya, jempolnya mengarah pada kamera.
"Ini namanya kamera Nay, kamu bisa selvi dengan menggunakan kameranya."
"Itu sieh Naya tahu mas."
"Tahu ya, sorry, habisnya saking menghayatinya sebagai guru dadakan, jadinya aku ingin menjelaskan semua aplikasi yang ada di HP ini." dia lalu mengarahkan jempolnya menekan kamera tersebut, tampaklah bayangannya disana, "Sini Nay, kita coba tes kamera HP kamu."
Naya mendekatkan dirinya didepan layar, dan berujar, "Wah, Naya kok putih banget ya dikamera, apa Naya berubah putih ya setelah satu minggu disini."
Jawab Rafa dalam hati, "Jelas putihlah, kan pakai filter." tapi gak tega begitu melihat Naya yang mengagumi dirinya.
"Ayok mas jepret."
Rafa menekan simbol kamera untuk mengambil foto mereka berdua, dan lalu menyerahkan kembali pada Naya.
"Ihh, kok Naya cantik sieh." pujinya memandang fotonya dari segala sudut.
Rafa hanya bisa mengomentari kepolosan Naya dalam hati, "Ya Tuhan, bener-bener polos sik Naya."
"Nay."
Teguran Rafa mengalihkan perhatiannya dari mengagumi diri sendiri, "Eh iya mas kenapa."
"Aku boleh minum tehnya gak."
"Ya ampun jadi lupa, iya mas ayok diminum sebelum dingin."
Rafa meraih cangkir berisi teh tersebut dan mendekatkanya kebibirnya, diseruputya dan kemudian, lidahnya melet-melet, bukan karna kepanasan tapi keasinan.
"Busett, Naya masukin gula apa garam sieh, asin banget."
Memang Naya memasukkan garam, dia gak bisa membedakan mana gula mana garam karna sama-sama putih dan halus.
Melihat reaksi Rafa itu membuat Naya bertanya, "Kenapa mas."
Karna gak enak dengan kebaikan Naya, Rafa berbohong, "Gak apa-apa Nay, cuma panas saja."
"Makanya ditiup dulu mas sebelum minum."
"Iya."
"Diminum lagi mas, Naya yakin mas pasti kehausan."
"Minum lagi ya." raut wajah Rafa kelihatan ngeri, namun karna dia orangnya tidak enakan makanya dengan terpaksa kembali menyeruput tehnya.
Beberapa menit kemudian Rafa pamit undur diri dengan alasan sudah siang, tentu dengan meninggalkan setengah tehnya yang masih tersisa.
"Mas Rafa ini, bener-bener tidak bersyukur." komentarnya melihat sisa teh yang masih banyak itu, "Banyak orang diluar sana yang gak mampu beli gula buat minum teh, dia malah menyisakannya." karna pemikirannya itu, daripada mubazir Naya meneguk dengan sekali tegukan sisa teh barusan, dan langsung menyemburkannya kembali.
"Astagfirullahhalajim, asin sekali, kenapa mas Rafa gak jujur ya tadi, pantas saja tehnya gak dihabisin." Naya membereskan gelas dan tatakannya membawanya kedapur.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments