Monica tidak menjawab. Ia justru menarik tangan Isabelle dan langsung menggigitnya. Isabelle tidak terkejut. Tapi ia tidak boleh membiarkan Monica terlalu lama menghisap darahnya. Ia memanggil Arthur dengan kekuatan telepati. Arthur muncul dengan cepat.
"Monica!" Arthur mengusap wajah Monica.
Monica melepaskan tangan Isabelle lalu menatap Arthur. Wajah Monica kembali merona. Isabelle mulai sedikit pusing. Ia menyandarkan diri ke pohon dan terduduk lemas.
"Monica, sadarlah!" kata Arthur sambil memegang wajah Monica.
Monica mengerjapkan mata, tersadar melihat Arthur berada di depannya.
"Arthur?!"
Melisa datang menghampiri Isabelle. Ia berjongkok di depan Isabelle.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya. Hanya sedikit pusing," jawab Isabelle sambil memegang tangan yang digigit Monica.
Monica menoleh pada Isabelle dan Melisa. Ia melihat tangan Isabelle terluka.
"Isabelle, kau terluka?"
Arthur tersenyum mengusap sudut bibir Monica yang menempel bercak merah. Monica melihat tangan Arthur. Ia lalu mengusap bibirnya sendiri dan terkejut melihat bekas darah.
"A-- Apa yang kulakukan?" tanya Monica kaget. Ia kembali menatap Isabelle.
"Isabelle, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak sadar melakukannya!" Monica nampak ketakutan.
"Aku tidak apa-apa. Tenang saja, Monica!" kata Isabelle enteng.
"Itu hal yang wajar, Monica. Aku seharusnya memberitahumu lebih awal. Isabelle akan kembali sehat setelah beristirahat sebentar," jelas Arthur.
"Benarkah? Tapi aku benar-benar tidak sadar melakukannya. Bagaimana kalau suatu hari aku tak sengaja melukai orang lain?" tanya Monica pada Arthur.
"Lain kali kau tidak akan melakukannya lagi. Sekarang kita pergi!" jawab Arthur.
"Aku masih harus kembali ke--"
"Aku sudah meminta izin untukmu, Monica! Sera akan membawa tasmu pulang nanti. Isabelle juga butuh istirahat," potong Melisa.
"Begitu ya ..." gumam Monica.
"Ayo!" Arthur mengulurkan tangan.
Monica meraihnya lalu Arthur langsung mengangkat tubuh Monica.
"Pegang yang erat!"
Monica menurut. Ia melingkarkan tangannya ke leher Arthur. Dan dengan sekali lompat, mereka sudah berada di atas dahan pohon. Kemudian berpindah dari satu pohon ke pohon lain dengan cepat. Monica memeluk Arthur lebih erat takut terjatuh. Melisa memapah Isabelle mengikuti di belakang. Tak butuh waktu lama mereka sampai di Katedral.
Arthur menurunkan Monica. Mereka masuk melalui pintu samping yang tersembunyi oleh tanaman merambat dan pohon besar. Melisa membawa Isabelle ke tempat istirahat. Itu adalah ruangan yang sama dengan yang didatangi Monica pertama kali.
Arthur mengambil tisu dan membersihkan bibir Monica. Monica menahan tangan Arthur lalu mengambil alih tisu dari tangannya.
"Biar aku sendiri," ucap Monica. Arthur menurutinya. Ia memberikan cermin rias berbingkai antik pada Monica.
Monica merasa seperti pernah melihat cermin itu, tapi ia lupa di mana. Sekilas bayangan dirinya saat memegang cermin di masa lalu muncul lalu lenyap begitu saja.
"Ada apa?" tanya Arthur melihat Monica yang diam saja.
"Eh, tidak ada," jawab Monica. Ia segera membersihkan bibirnya.
"Aku akan ambilkan minum," Arthur beranjak pergi.
Tak lama kemudian Isabelle dan Melisa muncul. Monica menatap ke arah keduanya.
"Bagaimana keadaanmu, Isabelle?" tanya Monica.
"Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Aku merasa lebih baik setelah mendonorkan darahku padamu," jawab Isabelle sambil bercanda.
"Tapi luka itu ...."
"Kita ini bukan manusia biasa. Hanya luka kecil. Besok juga akan hilang dengan sendirinya," jelas Isabelle santai.
"Monica, kau memang masih memiliki darah manusia dan setengahnya darah vampir. Kau memang tidak perlu menghisap darah untuk bertahan hidup, tapi bukan berarti kau tidak membutuhkannya. Sebagai manusia setengah vampir, darah segar itu ibaratnya 'susu'. Sama seperti Isabelle dan aku. Kami juga bisa menjadi liar sewaktu-waktu jika terlalu lama tidak mendapatkan minuman itu." Melisa menerangkan dengan cara yang mudah di pahami.
"Benar yang dikatakan Melisa. Biasanya kami pergi minum minimal seminggu sekali," timpal Isabelle.
"Jadi kalian harus menggigit manusia?" tanya Monica dengan polosnya.
"Tentu saja tidak! Tidak seseram itu," jawab Isabelle sambil mengibaskan tangannya.
"Kami punya langganan tempat 'minum' khusus." Melisa menambahkan.
"Ya. Kau bisa ikut kalau mau." Isabelle menimpali.
"Lalu, bagaimana dengan Arthur? Apa dia menggigit?" tanya Monica pada keduanya.
"Menggigit?!" Arthur tiba-tiba muncul.
Isabelle dan Melisa saling menatap. Keduanya tak berani menjawab. Arthur berjalan mendekat lalu meletakkan segelas air putih yang ia siapkan untuk Monica. Isabelle dan Melisa langsung meninggalkan mereka berdua.
"Apa kau bertanya apa aku menggigit?" tanya Arthur sekali lagi.
Monica menunduk tak berani menatap wajah Arthur.
"Ya? Mungkin? Aku hanya asal bertanya," jawabnya takut-takut kalau Arthur marah.
Arthur menyentuh dagu Monica. Ia mendekati Monica. Wajahnya sudah dekat di depan wajah Monica. Monica tak bisa menghindar.
"Orang yang aku gigit hanyalah orang yang spesial. Dan itu juga kulakukan ketika keadaan terpaksa saja. Hanya untuk menyelamatkan nyawa mereka," jelas Arthur. Ia melepaskan tangannya dan berbalik.
"Lalu bagaimana kau bertahan hidup? Maksudku kalau aku saja bisa kehilangan kesadaran dan menyerang Isabelle, bagaimana denganmu?" tanya Monica.
"Apa kau mencemaskanku? Atau hanya ingin tahu saja?" tanya Arthur.
Monica tak menjawab.
"Minumlah!" suruh Arthur.
Monica menurut. Ia meraih gelas air dan menghabiskan hingga setengahnya. Perasaannya benar-benar aneh setiap kali melihat Arthur. Arthur lalu mengajaknya berkeliling. Mereka berjalan menyusuri lorong di dalam ruangan. Monica memperhatikan sekeliling. Katedral yang dari luar nampak sederhana tapi begitu banyak ruangan rahasia di dalamnya. Tidak tahu berapa luas Katedral ini sebenarnya. Akhirnya mereka sampai di bawah menara. Monica sangat kenal ruangan itu.
"Bukankah ini menara lonceng?" tanya Monica.
"Benar!" jawab Arthur.
Keduanya kembali melangkah. Arthur mengajak Monica naik ke atas menara. Tangga-tangga yang sebelumnya dipenuhi debu tebal sekarang nampak bersih. Kayu pada tangga itu pun nampak mengkilap. Monica melangkah setapak demi setapak, tiba-tiba waktu berubah. Monica mengangkat gaun panjangnya yang indah sambil menapaki anak tangga. Begitu terburu-buru untuk segera sampai di atas sehingga kurang hati-hati dan hampir terjatuh. Beruntung pemuda di belakangnya menahan tubuhnya. Pemuda berwajah buram yang hanya terlihat senyumnya yang jelas. Ia tersenyum pada Monica dan menyuruhnya agar berhati-hati.
"Monica? Monica ..." panggil Arthur.
Monica tersadar. Arthur berada di depannya.
"Ah ya ... Maaf, aku melamun."
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Arthur.
"Tidak ada," jawab Monica sambil menatap ke arah lain.
Arthur tiba-tiba memegang tangannya. Monica langsung menoleh.
"Baiklah, aku tidak akan membiarkanmu melamun lagi. Ayo!" ujar Arthur. Dan meneruskan langkah.
Akhirnya keduanya sampai di puncak menara lonceng. Lonceng masih bergelantungan dengan kokoh. Lantai nampak bersih. Monica berjalan mengelilingi puncak menara itu. Dari sini ia bisa melihat dengan jelas apartemennya, sekolah bahkan pemandangan hijau di sekitarnya. Seutas tali dari lonceng yang terikat di sisi tiang menarik perhatian Monica.
"Tali itu ...."
"Itu sudah diperbaiki. Memang seharusnya tali itu digunakan untuk menarik lonceng agar berbunyi," jelas Arthur.
"Aku pikir lonceng ini tidak akan digunakan lagi," kata Monica.
"Setelah lonceng yang penuh teror ketakutan. Lonceng yang membawa kebaikan juga harus berdentang," tutur Arthur.
"Itu terdengar bagus."
"Ternyata pemandangan dari sini sangat indah. Aku pikir kau hanya berani muncul di malam hari saja," kata Monica.
"Awalnya memang begitu. Tapi setelah 'menggigit' seorang gadis di malam purnama itu, aku jadi bisa bebas berkeliaran saat langit terang. Aku juga tidak tahu kenapa bisa," ujar Arthur.
Monica tertawa kecil.
"Mungkin kebetulan kau menggigit gadis yang memiliki nama yang sama dengan Katedral St. Monica ini," kata Monica.
"Apa kau tahu kenapa kau diberi nama Monica?" tanya Arthur.
"Nenek yang membesarkanku memberiku nama Monica dengan harapan aku mengikuti teladan Santa Monica yang sabar dan tidak mudah putus asa," jawab Monica. Ia melanjutkan.
"Tapi kata bibi Amariz, aku seharusnya tidak diberi nama Monica. Nama ini diberikan nenek sejak aku masih bayi. Baik atau buruknya takdir yang harus aku jalani dengan nama ini, juga tidak mungkin mengubahnya."
"Apa kau mau dengar cerita tentang tempat ini sampai kemudian menjadi Katedral St. Monica?" tanya Arthur.
"Coba ceritakan!" Monica nampak tertarik.
bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
ɴᴏᴠɪ
Arhur cuma menggigit orang yg spesial,jadi monica spesial dnk ya kan dia yg di gigit 😆
2022-11-22
2
❤️⃟Wᵃfᴍ᭄ꦿⁱˢˢᴤᷭʜͧɜͤіͤιιᷠа ツ
bagus lah kalau gak harus gigit manusia,kan kasian manusia yang gak bersalah harus jadi korban
2022-08-27
1
🎤༈•⃟ᴋᴠ•`♨♠Echa🐞Jamilah🍄☯🎧
like mendarat..
2022-03-22
1