Murid-murid berlarian dengan terburu-buru di lorong sekolah. Semua murid nampak masuk ke dalam kelasnya. Monica berdiri di depan kelas melihat murid-murid itu berkumpul mendengar salah satu temannya bercerita dengan serius.
"Pagi-pagi sudah bergosip," gumam Monica. Ia berbalik tidak jadi masuk kelas. Rupanya di samping ada Sera yang mendengarnya.
"Aku dengar salah satu murid di kelas kalian menghilang secara misterius tadi malam. Para penduduk sedang berusaha mencarinya. Tapi belum menemukan hasil," kata Sera.
"Bukankah kau bisa menebak kemana dia pergi?" ejek Monica.
"Aku tidak bisa melihat orang yang dibawa pergi. Lagi pula aku bukan peramal," jawab Sera.
"Oo, aku ingat kau di juluki 'Si Mulut Bencana'. Tentu saja tidak mungkin bisa meramal," sindir Monica.
"Mereka menyebutku begitu karena beberapa kali hal sial menimpa mereka, itu bukan salahku. Aku sudah memperingatkan sebelum kejadian itu terjadi. Mereka yang bodoh tidak bisa mengantisipasi," jelas Sera membela diri.
Monica berjalan pergi tidak tertarik berbicara terlalu banyak dengannya.
"Hei, hati-hati dengan langkahmu! Kau mungkin bisa terpeleset di depan sana," Sera memperingatkan.
"Ya, terima kasih peringatanmu," balas Monica tanpa menoleh.
Tak lama seorang murid yang tergesa-gesa membawa ember berisi air tak sengaja tersandung dan jatuh. Air di ember tumpah membasahi lantai. Lantai yang licin membuat beberapa murid yang tidak hati-hati terpeleset. Monica yang sudah di peringatkan oleh Sera berhenti melangkah. Murid itu meminta maaf dan segera mengeringkan lantai. Monica berbalik menatap Sera di belakang yang pura-pura tidak melihat.
"Apa ini bukan termasuk meramal?!" batin Monica.
.......
.......
.......
Hari berikutnya terdengar kabar orang hilang lagi. Gadis yang hilang kali ini juga dari kelas Monica. Selama lima hari berturut-turut, sudah lima orang gadis di kelas Monica yang hilang secara misterius. Sampai hari ini ke lima gadis itu tidak di ketahui keberadaannya. Suasana sekolah pun jadi gaduh. Murid-murid yang tidak suka dengan Monica semakin memojokkannya.
"Beruntung kalian berdua tidak berteman dengannya lagi. Jangan sampai kalian menjadi korban berikutnya," kata Liona pada Renata dan Leslie. Renata dan Leslie hanya diam.
"Benar sekali! Bayangkan saja sudah lima teman kita yang hilang selama lima hari berturut-turut. Sebelumnya tidak pernah ada kejadian seperti ini di desa kita. Menara lonceng berbunyi, teman-teman menghilang, semua terjadi setelah dia datang ke sini! Siapa lagi kalau bukan dia yang membawa sial?!" timpal Kelly.
Monica hanya diam saja di tempat duduknya mendengar mereka yang dengan jelas menuduhnya.
"Keadaan sedang kacau. Sebaiknya tidak mencari masalah dengan mereka," kata orang yang duduk di sebelah bangkunya.
Monica menoleh. Nathan hanya tersenyum kecil. Selama ini Nathan yang duduk di sebelah bangkunya itu tidak pernah bicara atau menyapanya. Tapi kali ini justru bisa berbicara seperti itu.
...****...
Monica duduk di tepi jendela kamar. Pandangannya menatap ke arah menara lonceng. Semua tuduhan teman-teman di sekolahnya, satu per satu muncul di kepalanya.
"Aku hanya ingin memulai hidupku dengan tenang. Tidak cukupkah hidup sebatang kara? Kini harus di tambah dengan semua tuduhan ini? Apa yang terjadi dengan desa ini, itu tidak ada hubungannya denganku!" gumam Monica dengan perasaan kesal.
Ia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Tanpa sadar ia tertidur.
"Monica ... Monica ...." Suara bisikin itu memanggil Monica.
"Monica ...." Suara itu berbisik di telinga Monica. Monica menggerakkan kepalanya setengah sadar.
Teng... Teng... Teng.... Teng....Teng.... Teng....
Bunyi lonceng menyadarkan Monica sepenuhnya. Suara bisikan itu juga hilang.
Teng... Teng... Teng... Teng.... Teng..... Teng...
Angin bertiup dari jendela membuat tirai jendela ikut bergerak-gerak.
"Sial! Kenapa aku bisa lupa menutup jendela?!"
Monica pun bangun untuk menutup jendelanya. Ia masih berhenti menatap menara lonceng. Menara itu nampak seperti siluet hitam tanpa adanya penerangan. Sangat gelap di sana, yang nampak hanya lonceng itu yang bergerak pelan. Monica tersadar ia segera menutup jendelanya.
...***...
Sampai di sekolah, murid-murid ramai berkumpul di kelasnya.
"Itu dia! Gadis pembawa sial itu sudah datang," seru Liona menunjuk Monica yang baru tiba.
Monica menelan saliva.
"Ada apa?" tanyanya gugup.
"Ada apa?! Renata menghilang kemarin malam! Sampai hari ini sudah enam orang murid di kelas ini yang hilang. Kau masih bertanya ada apa?" seru Liona sambil mendekati Monica.
"Sebelum kau datang ke desa ini, semuanya baik-baik saja! Sekarang sejak kau muncul, desa kami mulai kacau. Lonceng menara berbunyi, teman-teman sekelas menghilang satu per satu. Siapa lagi kalau bukan kau yang membawa petaka ke desa kami?" tuduh Kelly.
Murid-murid yang lain ikut menyahut membenarkan ucapan kedua gadis itu. Monica merasa terpojok.
"Kalian jangan menuduh tanpa bukti!" Nathan yang muncul di belakang Monica membelanya.
"Nathan! Kenapa kau membelanya? Apa itu semua masih belum cukup untuk dijadikan bukti?" tanya Liona dengan lantang.
"Satu per satu teman kita hilang dan belum ditemukan sampai sekarang. Jika dia terus di sini, entah besok giliran siapa lagi yang hilang," ujar Kelly.
"Ya, usir saja dia dari desa kita ini!" seru Martin memprovokasi.
"Ya, usir! Usir!" teriak murid yang lain.
Monica yang terpojok langsung berlari meninggalkan kelas. Nathan mengejarnya.
"Monica!"
Nathan berhasil menarik tangan Monica. Monica melepaskan tangannya.
"Terima kasih sudah membela ku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan desa kalian," kata Monica.
"Aku tahu, tidak masuk akal mereka menuduh dirimu seperti ini. Mereka pasti hanya terbawa suasana saja. Ayo kembali ke kelas. Sebentar lagi guru datang," bujuk Nathan.
Monica diam.
"Kau kembali saja sendiri. Hari ini aku mau izin. Aku merasa tidak nyaman," katanya lalu berjalan pergi. Nathan tak bisa menghentikannya.
.......
.......
.......
Monica kembali ke apartemennya. Dia melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Terpaksa bolos hari ini untuk menghindari tuduhan teman sekelasnya.
"Hari ini bisa menghindar. Apa besok dan seterusnya bisa terus menghindar? Bisa-bisa aku dikeluarkan dari sekolah. Argh ...." Monica memegang kepalanya dengan kesal.
Ia melihat foto Allen bersama dirinya yang tergeletak di samping tempat tidur. Monica mengambil foto itu. Menatap wajah nenek Allen dengan sedih.
"Nenek, bagaimana kabarmu di sana? Kenapa kau meninggalkanku begitu cepat? Apa yang harus kulakukan seorang diri di tempat ini? Dalam keadaan seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek tidak mengajakku ikut pergi? Mungkin akan lebih baik jika aku ikut bersama nenek," kata Monica kemudian ia mendekap foto itu sampai tertidur.
Monica terbangun saat hari telah gelap. Angin yang berhembus memainkan tirai jendela yang terbuka. Monica pergi menutup jendela itu. Ia menatap menara lonceng yang berdiri kokoh. Teringat ucapan Kelly tadi pagi. "Entah besok giliran siapa lagi yang hilang".
Monica melirik jam di samping tempat tidur. Baru pukul 7 malam. Monica berjalan mondar-mandir di kamarnya. Berpikir apa yang harus dilakukannya. Monica mengacak-acak rambutnya tidak menemukan jalan. Dia merasakan perutnya yang lapar. Ia baru ingat seharian ini belum makan apa pun. Ia pun memutuskan pergi jalan ke luar saja. Lagi pula ia sudah bosan seharian di kamar.
Monica pergi ke kedai makan. Penjual makan menatap Monica dengan senyum ramah.
"Kau pulang sekolah selarut ini, Nona?" tanya bibi penjual makanan.
"Eh, tidak aku ..." Monica baru tersadar ia masih memakai seragam sekolah. Ia tersenyum.
"Aku terburu-buru sampai lupa mengganti seragamku," jawabnya.
"Kau belajar dengan keras. Makanlah yang banyak!" kata bibi penjual makanan dan menyodorkan pesanan Monica dengan porsi besar.
Monica tersenyum. Padahal ia tidak memesan porsi besar.
"Terima kasih."
"Nona, setelah selesai makan, kau harus cepat pulang ke rumah! Desa sedang tidak aman akhir-akhir ini." bisik bibi itu.
"Iya, bibi. Terima kasih sudah mengingatkan," balas Monica.
"Andai semua orang di desa seperti bibi ini," batin Monica. Ia melahap habis makanannya.
Setelah makan bukannya mengikuti saran bibi penjual makanan untuk segera pulang, Monica justru jalan-jalan sendiri. Suasana malam di desa tidak seramai di kota besar. Apalagi setelah kejadian beberapa gadis hilang, tidak banyak anak muda yang berkeliaran.
"Eh ... kau Monica, kan?" tanya seorang gadis yang berpenampilan ala Gothic. Ia nampak seumuran dengan Monica
"Kau siapa? Bagaimana kau tahu nama ku?" tanya Monica.
"Namaku Isabelle Yelda. Kita satu sekolah hanya beda kelas. Ini temanku Melisa Kay. Kebetulan sekali kita bertemu. Ayo, pergi minum bersama!" ajak Isabelle.
"Minum? Aku tidak--"
"Ikut saja! Temani kami juga boleh. Semakin ramai akan semakin seru." Isabelle langsung merangkul pundak Monica memaksanya pergi bersama.
Mereka tiba di sebuah cafe. Di dalam cafe ternyata ada mini bar. Isabelle dan Melisa memesan minuman cocktail. Minuman cocktail mereka memiliki warna merah yang mencolok. Monica masih nampak bingung.
"Hey, kenapa diam saja? Pesanlah minuman yang kau suka. Aku yang traktir!" ujar Isabelle.
"Bukankah kita tidak seharusnya minum ini? Dan lagi aku tidak bisa minum alkohol," kata Monica.
"Ck, ku pikir kau anak kota yang gaul! Ternyata lebih parah dari gadis desa!" ejek Isabelle. Ia menyodorkan segelas cocktail yang berbeda untuk Monica.
"Ini tidak akan membuatmu mabuk!" katanya.
"Kenapa kau masih mengenakan seragam sekolah, Monica? Apa kau kekurangan baju di rumah?" tanya Melisa yang diikuti gelak tawa Isabelle.
"Aku buru-buru ke luar cari makan jadi lupa mengganti pakaian," jawab Monica.
"Kau pasti sedang kelaparan setengah mati baru bisa sampai begitu," ledek Isabelle.
Monica tersenyum kecil.
"Aku pikir semua orang di sekolah tidak suka pada ku. Tapi kenapa kalian mengajakku minum?" tanya Monica.
"Aku tidak peduli dengan apa masalahmu. Kami berdua bisa berteman dengan siapa saja, selama mereka asyik dan tidak menganggap kami aneh. Kau tahu di mata mereka, penampilan kami berdua sama anehnya denganmu! Ya, meski secara penampilan kau itu membosankan!" jelas Isabelle blak-blakan.
"Jadi kalian tidak akan menjauhiku hanya karena rumor itu?" tanya Monica.
"Tidak. Rumor itu tidak beralasan! Lagi pula ini jaman apa? Kami berpakaian seperti vampir, apa kami ini seorang vampir?" jawab Isabelle sambil meliuk-liuk.
"Hahaha ...." Melisa tertawa.
"Sudahlah malam ini kita bersenang-senang saja!" ujar Isabelle sambil mengangkat gelasnya, mengajak kedua temannya untuk bersulang.
bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
〈⎳ HIATUS
namanya juga manusia
2023-06-19
1
Keysha ʚHiatusɞ
Isabelle blak2an banget moga aja hati Monica tidak tertusuk oleh kata2 itu
2023-06-19
1
༄𝑓𝑠𝑝⍟𝓜§ ᴮᵉᵉ ⃝•Offff👏 🅠🅛
kasian Sera teman nya malah mengatainya dengan si mulut bencana padahal dia cuman memberitahu mereka
2023-06-19
1