...Part ini sudah direvisi....
...***...
Matahari sudah menampakkan dirinya. Angin pagi yang sejuk berhembus menerpa dedaunan.
Kedua mata yang tadinya terpejam mulai terbuka perlahan. Mengerjap secara perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang mulai terang.
“Emh ....” Suara lenguhan memecahkan keheningan di dalam kamar berwarna biru muda itu.
Ayu menggeliat merenggangkan otot tubuhnya. Mengubah posisinya menjadi duduk di atas tempat tidurnya. Mengambil ponsel yang berada di atas meja. Ada beberapa pesan masuk, tapi dia belum berniat untuk membalasnya. Ayu hanya memeriksa sudah pukul berapa sekarang dan ternyata masih cukup pagi, pukul sembilan pagi lebih tepatnya.
Dia turun dari tempat tidur dan merapikan semuanya. Setelah itu berjalan ke kamar mandi, ia menggelung rambutnya. Mencuci wajah dan menggosok gigi. Setelah selesai ritual di dalam kamar mandi, Ayu turun ke lantai satu menuju ruang makan dan dapur.
“Pagi ibu.” sapanya mencium pipi Bu Ningrum—ibunya.
“Pagi, Sayang.”
“Tumbenan, kesiangan. Biasanya bangun pagi buat joging.” tanya Bu Ningrum tangannya tetap mengaduk kopi.
“Nggak apa-apa, kok. Ayu lagi nggak mood buat joging pagi ini.”
“Owalah, ya sudah. Sarapan dulu aja kalau gitu.”
Ayu mengangukkan kepalanya.
Bu Ningrum menaruh kopi di atas nampan yang sudah dibuatnya.
“Masih pagi sudah tamu?”
“Sepupumu datang, katanya mau ngajakin kamu pergi.”
“Hah?”
“Mas-mu nggak kabarin ke kamu?”
Ayu menggelengkan kepalanya.
“Mau kasih surprise kali, soalnya dia juga nggak bilang sama ibu mau ngajakin ke mana. Tapi katanya ke tempat yang seru.”
“Biar Ayu saja yang bawa ke depan.”
“Biar ibu saja, kamu sarapan dulu. Habis itu mandi, baru nanti ke depan.”
Ayu mengangukkan kepalanya. Ia melangkahkan kakinya mendekati tempat roti dan memoleskan selai kacang hazelnut kesukaannya di atas roti tersebut. Kebetulan tadi ibunya sudah memasak air panas, Ayu tinggal menuangkan saja untuk membuat teh.
Setelah menghabiskan sarapannya ia melangkahkan kakinya menuju kamar untuk mandi. Setelah itu baru menemui sepupunya.
...***...
“Lama banget, Ay. Aku sampai lumutan nungguin kamu.” Raihan—sepupunya– protes.
“Suruh siapa dateng nggak bilang-bilang.” Ayu mencebik mendengar protes Kakak sepupunya itu.
“Hemh, kualat nanti. Makin jelek kamu, Ay.”
“Ish, kebiasaan kalau ngomong” tangannya mencubit pinggang Raihan.
“Awww! Sakit, Ay.” Raihan meringis kesakitan.
“Kita mau ke mana?” tanya Ayu penasaran.
“Ada deh, ikut saja. Nanti kamu pasti suka, pokoknya tinggal ikut saja jangan cerewet. Oke.”
“Oke. Awas kalau nggak asik, Ayu do’akan calon istri mas Raihan cerewet sama seperti Ayu atau malah mirip sama Budhe.”
“Astaga, Ay. Kamu tega bener.” Raihan mengelus dadanya.
Ayu terkikik melihat sepupu yang berubah melas.
Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Ayu dan Raihan masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan kendaraannya.
“Kita mau ke mana, sih, Mas sebenarnya?” tanyanya penasaran.
“Nanti aku kasih tahu kalau sudah dekat. Pokoknya yang penting ikut saja, jangan bawel.”
Ayu hanya menggelengkan kepalanya dan duduk diam menuruti perintah Kakak sepupunya itu.
Tatapan matanya lurus ke depan, menikmati pemandangan kendaraan dan rumah-rumah serta gedung-gedung tinggi pencakar langit.
Biasanya weekend adalah waktunya dia habiskan bersama Danu, tapi itu dulu. Saat keduanya masih hidup bersama tanpa adanya orang ketiga, terlebih saat Danu memutuskan untuk menceraikan dan pernikahan keduanya berakhir kandas beberapa bulan yang lalu.
Ayu kembali teringat saat menceritakan semua kepada kedua orang tua dan juga keluarga besarnya, tentang bagaimana kondisi rumah tangganya sebelum memutuskan untuk menerima keputusan mantan suaminya itu.
Mereka tidak ada yang menghakimi Ayu sedikitpun. Setidaknya di depannya, entah kalau di belakang Ayu.
Awalnya Raihan dan Ayahnya begitu marah saat mendengar Ayu di tampar oleh Danu, tapi Ayu mengatakan jika dia baik-baik saja. Semenjak kejadian itu, baik Danu maupun keluarganya tidak ada itikad baik untuk datang ke rumahnya.
Hanya pak Gunawan, mantan Ayah mertuanya lah yang datang meskipun satu minggu pasca ketukan palu berbunyi. Beliau datang dan mengatakan permintaan maaf karena telah gagal menjaga menantunya itu, sedangkan ibu mertuanya dan Danu sendiri sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.
Ayu menghela napasnya.
Pikirannya kembali melayang kala mengingat sidang di pengadilan waktu itu.
Saat hari persidangan tiba, Ayu menguatkan hatinya untuk mendengarkan keputusan hakim.
Dan saat dirinya sempat berpapasan dengan Danu, dan Ayu sempat terkejut karena melihat wajah Danu terdapat lebam.
Tok!
Tok!
Tok!
Hakim mengetuk tiga kali palu yang dipegangnya. Menandakan, jika semuanya telah berakhir baginya dan juga Danu.
Sebelum dia pergi meninggalkan ruang sidang, Ayu meminta izin kepada kedua orang tuanya untuk menghampiri Danu. Mereka menganggukkan kepala dan akan menunggu di lobby.
“Mas, boleh bicara sebentar?”
“Apalagi?” jawab Danu dengan nada ketus.
Hati Ayu mencelus mendengar jawaban dan melihat raut wajah pria yang pernah hidup bersama dengannya itu. Orang yang pernah menghabiskan waktu bersama dengannya dalam sebuah ikatan pernikahan, kini nampak menebarkan aura permusuhan dan rasa benci tercetak di matanya.
“Aku hanya ingin mengatakan, aku ingin minta maaf jika selama menjadi istri belum bisa melakukan yang terbaik, atau melayanimu dengan baik. Aku juga minta maaf kalau aku pernah berbuat salah saat kita masih bersama. Terima kasih untuk semuanya. Semoga kamu bahagia, aku permisi.”
Tanpa menunggu respon dari Danu, tubuh Ayu berbalik pergi meninggalkan pria yang pria yang pernah menjadi imam dalam kehidupannya.
Dia melangkahkan kakinya tanpa menengok kebelakang. Di sana, di depannya ada keluarga yang sudah menantinya. Ayu tak ingin membuat mereka, orang-orang yang begitu menyayanginya khawatir atau menunggu terlalu lama dan melihat dirinya tampak begitu menyedihkan di hadapan mereka.
“Ay, Ayu....”
Suara Raihan menyadarkannya dari lamunan.
“Eh, iya Mas. Kenapa?”
“Yey, dipanggil-panggil nggak jawab malah melamun. Ayo, buruan turun. Kita sudah sampai.”
Ayu melihat sekelilingnya. Pantai. Raihan membawanya pergi ke pantai. Jika diingat-ingat lagi, kapan dirinya pergi ke pantai? Rasanya sudah lama sekali.
Astaga, bahkan lebih lama dari perkiraannya. Ayu baru sadar, jika dirinya tidak pergi ke alam terbuka seperti ini.
Sejak kapan? Sepertinya sejak dia menikah.
Bersama Danu, Ayu hanya akan menghabiskan waktunya untuk berjalan di taman, makan malam romantis di restoran, menonton film di bioskop atau sekedar berkeliling mall.
“Tsk, kebanyakan melamun kamu, Ay. Ayo, buruan turun. Sudah ditunggu sama yang lain.” Raihan berdecak melihat sepupunya masih setia berdiam diri di kursi penumpang.
Setelah Ayu keluar, dia mengikuti langkah kaki Raihan dari belakang.
“Mas Raihan, mas—” panggilnya.
“Kenapa, lagi Ay? Kamu kebelet. Tahan dulu deh, nanti di sana saja ya. Di sana juga ada toilet. Lagian kita sudah telat ini, yang lain sudah pada nungguin dari tadi.” Raihan berjalan dengan tergesa-gesa.
“Ih, siapa yang mau ke kamar kecil.”
“Ya terus?”
“Mas mau bawa aku ke mana? Dan yang lain itu siapa?”
“Aduh, nanti kamu juga tahu kok. Pokoknya ikut saja—nah, tuh, mereka di sana.” jawab Raihan menunjukkan ke satu arah dengan jari telunjuknya.
Mata Ayu mengikuti arahan tangan Raihan. Matanya seketika membola.
Ya ampun, itu rekan kerjanya saat bekerja di tempat Raka. Bahkan dia juga melihat Raka di sana.
“Sorry lama, nungguin Putri Keraton dulu yang kebanyakan bengong. Makanya lama," Raihan memberitahukan perihal keterlambatannya kepada teman-temannya di sana.
Ayu memukul lengan Kakak sepupunya itu.
“Aduh!” Raihan memekik pura-pura kesakitan, sedangkan yang lain hanya tertawa melihat hal itu.
“Apa kabar, mbak?” tanya Jemi—anak divisi IT kepada Ayu.
“Baik, Jem. Kamu sendiri gimana, apa Ratna ikut?” dia melihat sekeliling mencari keberadaan orang yang disebutnya.
Jemi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Diputusin dia, Ay.” ujar Ika—Bagian keuangan— Melihat Jemi hanya diam tak menjawab pertanyaannya.
“Ya ampun, Mbak nggak tahu. Maaf ya, Jem.” Ujarnya karena merasa tidak enak kepada Jemi.
“It’s okey, mbak. Santai saja, mungkin memang belum jodohnya kali. Makanya sekarang ikutan liburan bareng, waktu pak Raka nawarin senang banget. Lumayan, mumpung gratis. Kapan lagi coba ditraktir sama bos.” setelah mengatakan itu dia terkekeh.
Sontak saja perkataan Jemi disambut gelak tawa dan sorakan oleh rekan-rekannya. Semua yang hadir di sana adalah pegawai yang jarang sekali memiliki waktu luang untuk berlibur beberapa bulan terakhir ini, karena harus lembur akibat proyek yang sukses Raka ajukan bersama dengan investor dari perusahaan asing. Ayu tahu betul, karena dia sendiri yang menyusun semua jadwal dan dokumen penting milik Raka.
“Bener, Jem. Aku setuju, setelah ‘penyiksaan’ kemarin. Sekarang waktunya kita santai.”
“Kalau kata peribahasa, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu—”
“Bersenang-senang kemudian!” seru mereka bersamaan.
Semuanya tampak tertawa bahagia menikmati liburan hari ini. Termasuk juga dengan Ayu sendiri, untuk sejenak dia melupakan lukanya. Membaur dan mengobrol bersama mereka. Saling bertanya kabar dan bercerita tentang berbagai hal, terkadang diselingi canda tawa.
Raka dan Raihan yang sedang melihat dari kejauhan merasa lega melihat Ayu kembali menjadi dirinya lagi, meskipun mereka tahu semuanya itu butuh hanyalah sementara. Karena pasti butuh waktu lama baginya untuk sembuh dari luka yang ditorehkan begitu dalam.
“Awas, tuh mata keluar,” bisik Raihan di telinga Raka.
“Sialan!” umpat Raka lalu mendorong bahu Raihan. Dirinya merasa malu tertangkap basah tengah memandangi adik sepupu sahabatnya itu.
Raka kemudian menghela napasnya.
“Dia sudah jauh lebih baik sekarang, semoga seterusnya pun begitu. Harapnya tulus.
“Gue harap juga gitu. Bakalan nyesel, tuh, kampret. Sudah buat adik sepupu gue sengsara.”
Raka hanya terkekeh mendengar ucapan Raihan. Dirinya tentu tahu pasti bagaimana Raihan sangat menyayangi Ayu, meskipun Ayu bukan sepupu satu-satunya tapi Raihan lah yang paling dekat dengan Ayu sedari mereka kecil.
Raka juga kembali mengingatkan kejadian sehari sebelum sidang perceraian antara Ayu dan Danu. Dirinya dan Raihan mendatangi kantor Danu untuk memberikan pria itu pelajaran yang setimpal karena sudah menampar Ayu.
Bugh!
Satu pukulan telak bersarang di wajah Danu saat Raihan pertama kali memasuki ruangan kantor milik Danu.
“Sakit? Itu belum seberapa. Nih, gue tambahin lagi.”
Raihan memukul ulu hati Danu dan pria itu langsung terjatuh di lantai.
“Apa-apan kalian!” serunya merasa tak terima atas perlakuan Raihan.
“Epe-epeen kelen–” Raihan mengulangi perkataan Danu dengan cara mengejek.
“—Eh, kampret. Lo udah berani-berani nikah tanpa sepengetahuan dia, terus bawa itu selingkuh lo ke rumah kalian, dan lo juga mukul Ayu. Cih! Dasar banci.”
Danu bangkit dan masih memegang perutnya.
“Saya memang salah karena menikah tanpa sepengetahuan Ayu, tapi saya tidak selingkuh. Saya bukan dia yang selingkuh dengan pria lain!” ujar Danu dengan lantang.
Bugh!
Kali ini Raka yang sedari tadi menahan amarahnya, melayangkan tinju kepada Danu.
“Kamu sebaiknya berkaca dengan tingkahmu yang menjijikkan itu, jangan memutar balikkan fakta. Suatu saat kamu akan menyesali, karena sudah menyakiti hatinya dan memilih wanita murahan seperti selingkuhanmu itu.
“Tidak akan pernah! Untuk apa menyesali seseorang yang sudah mengkhianati pernikahan kami dan wanita yang saya pilih sekarang jauh lebih baik daripada Ayu.”
Sontak perkataan Danu mengundang gelak tawa Raihan dan Raka. Keduanya tertawa terpingkal-pingkal.
“Sudah kalau memang udah bego, mau dinasihati apapun gak akan mempan. Cabut, Br!. Nanti ikutan bego juga kita, seperti dia.” Ujarnya mencemooh Danu.
Raihan merangkul Raka meninggal Danu yang wajahnya babak belur oleh keduanya.
“Lah, stres nih, orang. Diajakin ngobrol malah senyam-senyum sendiri, kerasukan setan penunggu pantai lo?”
Raka tersadar dari lamunannya, awalnya dia kesal mendengar ucapan Raihan tapi tiba-tiba saja dia memiliki sebuah ide di kepalanya. Bibir Raka menyeringai, kakinya melangkah mendekati Raihan.
“Sayang, kamu datang. Aku kangen,” ujar Raka dengan nada dibuat semanja mungkin dan memeluk Raihan erat.
Raihan terkejut mendapati Raka bertingkah aneh, terlebih tiba-tiba bergelayut manja kepadanya.
“Emak, Ayu, tolong! Si Raka gila, karena belum kawin!”
Sontak semua mata tertuju kepada mereka. Mereka melihat Raihan yang tengah meronta-ronta di pelukan Raka. Mulut mereka ternganga.
“Sepertinya pak Raka terlalu frustrasi, karena kelamaan jomlo.”
“Iya, ya kasihan. Eh, tapi, kan, sekarang Bu Ayu sudah single. Jadi Pak Raka bisa maju terus. dong”
“Iya, ya.”
Mereka semuanya tertawa bersamaan. Berbeda dengan Ayu yang hanya geleng-geleng kepala tanpa berniat menimpali godaan yang ditujukan kepadanya.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
putia salim
yg aq suka dr cerita ini,ceritanya g berbelit2,alurnya sat set sat set,g bertele2👍
2023-06-17
0
✨viloki✨
Nunggu karma buat Danu sama si nenek gayung
2022-05-20
0
NIZAP02
Halo, untuk yang baru baca pasti bingung kok ngacak? Untuk Cerita ini sudah aku revisi setiap partnya ya. Selamat membaca 🤗
2022-04-28
0