Dilema

...Part ini sudah revisi...

...***...

Permintaan Bu Wati rupanya tak hanya hari itu saja. Bu Wati terus menerus mendesak Danu untuk menikahi seorang wanita pilihannya, karena dia berharap jika dapat segera menimang cucu, anak dari Danu.

Hingga membuat Danu dilema dan seringkali tak berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Bahkan saat di rumah, dia lebih banyak diam serta melamun.

“Mas, ngelamunin apa, sih? Dari tadi aku panggil dicuekin terus.” Protes Ayu kepada sang suami.

Danu tersentak dari lamunannya lalu tersenyum ke arah Ayu yang tengah duduk di sampingnya.

“Nggak apa-apa, cuma lagi banyak kerjaan.” Danu berbohong menutupi kegundahan hatinya dan dia juga takut untuk menceritakan hal yang kini mengganggu pikirannya.

“Kerjaan jangan dipikirin, tapi dikerjain.” Gurau Ayu.

Ayu tahu ada yang suaminya pikirkan. Saat pulang dari rumah ibu mertuanya waktu itu, wajah suaminya itu tampak terlihat murung dan lesu.

Bahkan, beberapa kali Ayu memanggil Danu saat keduanya tengah makan malam, Danu justru seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan hal itu terjadi hingga sekarang, tapi dia tidak mendesak suaminya untuk bercerita.

Danu mencubit pipi Ayu, karena gemas.

“Sekarang malah istri mas yang cantik malah gantian melamun.”

“Aw, sakit.” Ayu mengelus pipinya, berpura-pura kesakitan.

“Tidur yuk, Mas Udah malam, nggak baik kalau begadang.” Ajak Ayu, mulai menarik selimut menutupi tubuhnya.

Danu mendekat ke arah Ayu, mengatakan sesuatu di telinganya. “Boleh minta satu ronde nggak, sebelum tidur?” pinta Danu berbisik kepada istrinya.

Ayu tersenyum, pipinya bersemu merah. Kemudian menganggukkan kepalanya tanda mengizinkan Danu meminta haknya sebagai suami.

...***...

“Gimana keadaan ibu, pak?”

Danu dan Ayu langsung menyalami tangan pak Gunawan.

Napas Danu masih sedikit terengah-engah, karena berlarian. Ayu yang berdiri di samping Danu juga sama.

Saat selesai rapat penting dengan investor asing, Danu mendapatkan telpon dari pak Gunawan—ayah Danu– mengenai ibunya yang jatuh tidak sadarkan diri. Pak Gunawan segera membawa Bu Wati ke rumah sakit terdekat, dibantu supir dan mbok Darmi. Dan kebetulan sekali Ayu juga tengah bersamanya, karena selesai rapat penting tadi keduanya berjanji akan makan siang bersama.

“Ibu lagi diperiksa dokter, kita tunggu saja sebentar lagi ya.” Jawab Pak Gunawan.

“Bapak sudah makan?” tanya Ayu.

Pak Gunawan menggelengkan kepalanya.

Ayu memalingkan wajahnya ke arah Danu.

“Mas, kamu temani bapak dulu. Aku mau belikan bapak makan dan minum, dulu ya.”

Danu mengangukkan kepalanya. “Apa perlu mas atau supir antar? Mbok Darmi juga, sepertinya sudah pulang.”

“Nggak perlu, mas. Aku cari di kantin rumah sakit saja, atau di sebrang di depan rumah sakit kebetulan tadi Ayu lihat ada restoran juga. Mas Danu temani bapak saja, di sini. Takutnya sebentar lagi dokter keluar.”

“Baiklah, hati-hati ya sayang.”

“Iya, assalamualaikum.”

“Waallaikumsallam,” jawab pak Gunawan dan Danu bersamaan.

Beberapa saat setelah kepergian Ayu, dokter keluar dari ruangan tempat ibunya berada.

“Keluarga ibu Wati?” tanya dokter tersebut memastikan.

“Saya anaknya, dok. Bagaimana keadaan ibu saya saat ini?” tanya Danu kepada dokter tersebut, sedangkan pak Gunawan berdiri di samping Danu.

Pak Gunawan hanya terdiam menunggu jawaban dari dokter tersebut perihal bagaimana keadaan istrinya saat dengan hati yang cemas.

“Ibu Wati mengalami dehidrasi dan juga kelelahan, serta tekanan darahnya rendah. Hal ini disebabkan karena ibu Wati tidak memberikan asupan makanan pada tubuhnya dan beliau juga mengalami stres karena terlalu banyak pikiran. Tolong usahakan agar beliau makan dengan teratur, perbanyak konsumsi makanan bergizi dan juga jangan membuat beliau memikirkan sesuatu yang berat-berat dulu, ya Pak.” jelas dokter tersebut perihal bagaimana keadaan ibu Wati.

“Baik, dok. Apakah sekarang kami sudah bisa masuk untuk melihat ibu saya?”

“Boleh, kalau begitu saya permisi dulu. Untuk resep vitamin yang saya berikan, silakan nanti dibeli di apotek rumah sakit.”

“Terima kasih, dokter.”

Setelah dokter itu berpamitan, Danu dan Pak Gunawan segera masuk ke dalam kamar pasien.

Bu Wati yang tengah tertidur tampak begitu pucat dan terlihat lemah. Selang infus sudah terpasang di tangan kirinya.

“Bapak istirahat dulu saja, nanti kalau Ayu sudah datang bapak bisa makan. Biar Danu yang jagain ibu, ya.”

Pak Gunawan mengangukkan kepalanya. Sedari tadi dirinya memang begitu lelah, selain karena belum menyentuh air dan makanan sedari pagi. Pak Gunawan juga masih syok, ketika melihat Bu Wati yang jatuh tidak sadarkan diri di dalam kamar.

Pak Gunawan tidur di sofa yang berada tak jauh di samping tempat tidur pasien. Beberapa saat kemudian Ayu masuk ke ruang tempat mertuanya di rawat.

“Mas.” Ayu memegang pundak Danu yang tengah merebahkan kepalanya di tempat tidur Bu Wati.

Danu menoleh, menegakkan punggungnya.

“Ayu belikan makanan dan minum untuk bapak, juga mas Danu. Mas Danu bangunin bapak dulu ya, terus makan.” Ujar Ayu menaruh kantong plastik berisikan makanan yang dia beli di restoran di depan rumah sakit di atas meja.

“Mas, cuci muka dulu.” ujar Danu.

Ayu mengangukkan kepalanya. Danu kemudian beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah kamar mandi yang ada di ruangan itu.

...***...

“Pokoknya ibu nggak mau makan, sebelum kamu bilang setuju dengan permintaan ibu!” Ujar Bu Wati yang tetap keras kepala, dirinya terus mendesak Danu agar menikah kembali.

“Kamu kok jadi keras kepala gini, Bu. Permintaan kamu juga nggak masuk akal, anak sudah menikah kok disuruh menikah lagi. Rumah tangga Danu dan Ayu juga baik-baik saja, mereka berdua bahagia.” Pak Gunawan hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku istrinya.

“Tapi mereka belum punya anak, pak! Padahal sudah satu tahun berumah tangga. Ibu malu sama orang-orang, malu sama saudara.” Bu Wati semakin kesal mendengar pembelaan suaminya terhadap menantunya.

“Ngapain malu sama orang-orang, toh, mereka berdua tidak melakukan hal yang memalukan. Namanya anak itu bukan kuasa Danu atau Ayu, hal yang seperti itu mintanya sama Allah. Rumah tangga mereka pun baru satu tahun, jadi tidak perlu terlalu buru-buru yang penting mereka berdua bahagia. Nggak perlu kita dengar omongan orang,” pak Gunawan ikutan kesal.

Dirinya berpikir tak masuk akal jika memaksakan kehendak istrinya, kepada anak dan menantunya hanya karena ucapan orang lain.

“Berdoa itu pasti, pak. Ayu-nya saja yang mandul, nggak bisa punya anak!” ujar Bu Wati dengan nada tinggi dan ketus.

“Astaghfirullah, istighfar, Bu.” Pak Gunawan mengingatkan Bu Wati yang sudah mulai dirasa keterlaluan dalam berkata.

“Biarin, kalau Danu masih tetap nggak mau menuruti permintaan ibu, biarin ibu mati sekalian.”

Danu hanya bisa terdiam mendengar ucapan Bu Wati, sedangkan Pak Gunawan hanya menggelengkan kepalanya.

...***...

“Mas dari tadi kamu melamun terus sehabis pulang dari menjenguk ibu di rumah sakit. Apakah dokter mengatakan sesuatu yang gawat atau keadaan semakin ibu parah?” tanya Ayu dengan mimik wajah khawatir.

Ayu memang tak ada di sana saat tadi Danu terus dicecar permintaan memaksa ibunya, saat itu Ayu tengah melaksanakan shalat isya yang sempat tertunda.

Namun begitu Danu dan Ayu pulang ke rumah, sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, Danu hanya terus tenggelam dalam pikirannya. Bahkan, beberapa kali Danu mengehala napasnya.

Ayu hanya bisa memerhatikan suaminya tanpa berniat bertanya karena keduanya masih mengetadarai mobil Dan kini begitu sampai di rumah, Danu bukannya turun tapi justru masih terdiam memikirkan ucapan ibunya.

“Nggak apa-apa, mas cuma berat ninggalin kamu sendirian. Kebetulan lusa harus ke luar kota, karena ada kerjaan di kantor cabang yang harus mas langsung turun tangan. Kamu nggak apa-apa, kan, mas tinggal sendiri?”

Ayu tersenyum, dirinya memaklumi jika suaminya merasa berat meninggalkannya seorang diri. Terlebih saat ini mertuanya masuk rumah sakit seperti sekarang.

“Ayu nggak apa-apa, mas. Mas yang harus banyak istirahat dan jangan suka melamun. Masalah dipikirkan boleh, tapi kalau berlarut-larut malah jadi semakin pusing. Kita doakan juga semoga ibu segera sehat.”

“Istri mas satu ini bisa aja ya,” ujar Danu menjawil hidung Ayu, karena gemas.

“Hidung Ayu lama-lama panjang seperti Pinokio kalau ditarikin terus.” Protes Ayu sembari mengerucut bibirnya.

“Ya udah deh, mas mau narik yang lain. Boleh?” canda menggoda sang istri.

“Mas, ih.” Ayu tahu maksud perkataan suaminya, wajahnya bersemu kemerahan.

“Masih malu? Padahal mas udah lihat semuanya, kita udah satu tahun loh,” goda Danu lagi. Dia begitu senang saat melihat wajah istrinya yang merona akibat ulahnya.

Wajah Ayu semakin memerah karena malu. Dia keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah meninggalkan suaminya sendirian di dalam mobil.

Danu tersenyum melihat bagaimana ekspresi Ayu, tetapi begitu tubuh istrinya tak terlihat lagi senyum di wajahnya pun ikut menghilang.

“Maafkan mas ya, Ay.” Danu berujar dengan nada lirih.

...****...

Terpopuler

Comments

putia salim

putia salim

kalau danu smpai nikah lg nurutin kemauan ibu nya,...berarti salah satu suami tolol

2023-06-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!