Permintaan Ibu

...Part ini sudah tahap revisi....

...***...

“Ya, bu. Nanti Danu bawakan bubur ayam pesanan ibu, Waallaikumsallam.” Setelah mengakhiri panggilannya, Danu menaruh ponsel miliknya di atas meja.

Dia mengehala napasnya. Akhir-akhir ini banyak sekali yang Danu pikirkan. Selain pekerjaan yang semakin banyak karena adanya proyek baru, juga kesehatan Bu Wati—ibu Danu– yang juga sering sakit-sakitan.

Untung saja istrinya selalu penuh pengertian. Terkadang Ayu juga membantu pekerjaannya saat di rumah. Memijat tubuhnya yang pegal-pegal dan memasak makanan yang lezat. Dengan kata lain, istrinya selalu memperlakukan Danu seperti layaknya seorang Raja ketika di rumah.

Danu selalu berterima kasih kepada Ayu. Andai saja Ayu seperti istri temannya yang cerewet, atau suka menuntut ini dan itu dan berbelanja menghabiskan uang.

Mungkin Danu akan lebih pusing lagi. Selama pernikahan mereka, Danu belum pernah mendengar keluhan Ayu tentang rumah tangga mereka.

Danu tersenyum setiap mengingat Ayu, serta senyuman manis yang tercetak di bibir Ayu setiap kali memandang wajah istrinya itu. Senyuman itu seolah memberikan energi baru untuk Danu. Dia kemudian mengambil ponsel miliknya dan mengirim pesan singkat kepada Ayu.

Danu

Assalamu'alaikum, Sayang❤️

Nanti Mas pulang terlambat ya. Kebetulan mau mampir ke rumah ibu dulu, ibu minta dibawakan bubur ayam kesukaannya.

Tak lama ponselnya bergetar. Menandakan ada pesan masuk.

^^^Ayu^^^

^^^Waallaikumsallam, Suamiku ❤️^^^

^^^Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya. Sampaikan salam Ayu sama ibu juga. Mas sudah makan siang?^^^

Danu

Iya, kamu juga pulangnya hati-hati. Naik taksi saja, ya. Mobilnya, kan masih di bengkel. Nanti mas sampaikan sama ibu salamnya. Mas sudah makan siang, kamu sendiri bagaimana?

^^^Ayu^^^

^^^Alhamdulillah sudah, Mas. Kebetulan tadi makan di luar karena habis ikutan ketemu klien penting sama atasan Ayu. Kalau gitu selamat bekerja kembali ya, Mas. Assalamualaikum ❤️^^^

Danu

Iya, Waallaikumsallam istriku ❤️

Danu meletakkan kembali ponselnya, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.

...***...

“Assalamualaikum.” Danu memasuki ruang makan dan menaruh bungkusan plastik di atas meja makan.

Salam Danu dijawab oleh Mbok Darmi—asisten rumah tangga– yang tengah berada di dapur.

“Waallaikumsallam, Mas Danu,” jawab wanita paruh baya itu.

“Kok sepi? Ibu sama bapak ke mana, mbok?” tanya Danu.

“Bapak lagi ke luar sebentar, kebetulan ada salah satu temannya yang meninggal dunia. Jadi, tadi bapak berangkat bareng sama beberapa temannya, mas.”

“Innalilahi wa innailaihi roji'un. Ibu ikut, mbok?”

“Ibu nggak ikut, mas. Ibu lagi di kamar, karena sedang kurang sehat. Sudah beberapa hari ini ibu nggak nafsu makan, Mas. Hari ini malah nggak mau makan sama sekali, cuma minum air putih saja. Coba mas Danu yang bujuk, siapa tahu ibu mau makan.”

Danu manggut-manggut. “Ya sudah, mbok. Tolong siapkan bubur ayam ini ya, tadi siang ibu minta Danu bawakan bubur ayam kesukaannya. Semoga mau makan—” Danu menyerahkan kantong plastik berisikan bubur ayam pesanan ibunya kepada mbok Darmi.

“–Danu permisi sebentar mau cuci muka dulu, nanti mbok bawakan saja ya ke kamar ibu.”

Mbok Darmi mengiyakan permintaan anak majikannya itu.

Danu kemudian melenggang pergi ke kamarnya dulu saat dirinya belum menikah.

...***...

Cklek.

Begitu Danu membuka pintu kamar, dia melihat ibunya tengah duduk menghadap ke arah luar jendela kamar. Bubur ayam yang tadi minta dibawakan Danu kepada mbok Darmi sama sekali belum tersentuh di atas meja.

“Bu,” panggilnya kepada sang ibu.

Bu Wati menoleh ke arah Danu. Danu berjalan mendekati Bu Wati dan menyalami tangan ibunya.

“Ibu apa yang dirasa, apa perlu kita ke dokter?”

Bu Wati hanya menggelengkan kepalanya.

“Ibu makan ya, Danu suapi. Oh iya, hampir lupa. Tadi Ayu titip salam buat ibu juga. Semoga lekas sembuh, katanya.”

Wajah Bu Wati berubah tak bersahabat mendengar nama menantunya.

Danu mengambil mangkuk berisikan bubur ayam yang masih hangat.

“Ibu nggak lapar,” ujar Bu Wati.

“Tapi kata mbok Darmi, ibu belum makan sama sekali hari ini. Hanya minum air putih saja, setidaknya ibu makan bubur ini aja yuk. Biar perut ibu juga nggak sakit, atau badan ibu makin lemas.”

“Tapi, ibu nggak lapar,” Bu Wati tetap pada pendiriannya untuk tidak memakan bubur itu.

“Sedikit saja ya, Bu. Biar ibu badannya enakan, nanti Danu nurutin deh permintaan, ibu mau kepingin apa?” pinta Danu kepada ibunya.

“Ibu dan bapakmu sudah kepingin nimang cucu.” Bu Wati dengan nada lirih.

Tangan Danu terhenti di udara saat hendak menyendok bubur ayam yang ada di mangkuk.

“Kalau itu Danu nggak bisa langsung kasih tapi ibu mintanya sama Allah. Do’akan Danu dan Ayu semoga segera diberikan anak, biar Ibu dan Papak cepat nimang cucu,” jawabnya lalu tersenyum ke arah ibunya.

Bu Wati akhirnya memakan bubur yang disuapkan oleh anaknya hingga tandas.

“Tadi kata kamu, kamu mau nurutin semua permintaan ibu.”

“Iya, selagi Danu mampu mewujudkan keinginan atau permintaan ibu. Insyaallah, akan Danu usahakan. Asal jangan minta nguras air di bak mandi pakai sendok saja,” guraunya.

“Ibu minta kamu nikah lagi.”

Senyuman di bibir Danu surut seketika mendengar ucapan ibunya. Namun, dia mencoba tersenyum kembali. Menganggap permintaan ibunya hanyalah gurauan semata.

“Bercandanya ibu nggak lucu, nih. Masa minta Danu nikah, kan, ibu tahu kalau Danu sudah punya istri. Hayo, ibu masa lupa.” Candanya coba mengusir rasa tak enak di hatinya.

“Ibu nggak bercanda, ibu serius. Pokoknya ibu minta kamu nikah lagi.” Kali ini

Bu Wati berkata dengan tegas.

Danu mengehala napasnya.

“Ibu mintanya jangan aneh-aneh, deh. Danu nggak mungkin menikah lagi, Bu. Bagaimana perasaan Ayu nantinya? Kalau Danu menikah lagi dengan wanita lain, apa ibu nggak mikirin perasaan Ayu sebagai istri Danu?”

Sejujurnya dia benar-benar terkejut dan tak habis pikir, mengapa ibunya bisa meminta hal demikian kepadanya.

Bu Wati menegakkan punggungnya.

“Gampang, jangan sampai Ayu tahu. Kamu, kan, bisa menikah secara diam-diam. Ibu juga sudah bicara dengan keluarganya dan mereka juga sudah setuju, gadis itu juga setuju kok.” Bu Wati berkata dengan entengnya, tanpa rasa bersalah sedikitpun seolah permintaan itu bukanlah apa-apa.

Danu ternganga dibuatnya.

“Maksud ibu bagaimana dan gadis siapa?”

“Gadis yang mau ibu nikahkan dengan kamu, dan akan berikan ibu dan bapak cucu.”

“Kenapa ibu seperti ini—”

“Demi, ibu. Ibu juga sudah lelah, setiap pertemuan keluarga selalu ditanyai kapan Ayu hamil. Ibu malu, ibu capek.” Keluhnya kepada sang anaknya disertai isakan.

Hati Danu sebenarnya sakit saat melihat ibunya sedemikian menderita karena keinginannya yang belum kesampaian. Menimang seorang cucu. Padahal dia adalah anak satu-satunya dan sekarang justru membuat ibunya sampai seperti ini.

Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan.

Kini dia benar- benar dilema. Danu dihadapkan dengan pilihan yang sulit, satu sisi dia tidak ingin menikahi gadis itu karena hal itu sudah pasti akan menyakiti perasaan Ayu—istrinya, sekaligus wanita yang dia cintai. Namun di sisi lain, ibunya—seorang wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan dirinya dengan penuh kasih sayang— kini sedang terbaring sakit di hadapannya. Ibu sangat berharap, jika dirinya menikah kembali dan mendapatkan seorang anak.

Memang sudah satu tahun sejak pernikahannya dengan Ayu, hingga saat ini keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Awalnya semua baik-baik saja, tetapi beberapa bulan belakangan ini ibunya selalu mengeluh jika setiap acara berkumpul keluarga, baik arisan maupun pengajian sanak saudaranya selalu bertanya perihal kehadiran buah cinta antara Danu dan Ayu.

Baik Danu maupun Ayu bukannya tidak ada usaha sama sekali, keduanya sudah pergi berobat ke dokter. Serta meminum jamu, toh, keduanya masih baru menikah. Masih banyak pasangan yang justru lebih lama dari keduanya, tapi belum juga mendapatkan anak. Pikirnya begitu, tapi ternyata orang lain tak seperti itu.

Bahkan ada yang selalu secara terang-terangan berkata dengan nada mencibir kepada keduanya, lebih tepatnya kepada sang istri.

Sikap ibunya pun menjadi uring-uringan, bahkan sikapnya berubah menjadi ketus kepada Ayu.

“Ibu mohon sama kamu. Kali ini saja, tolong turuti permintaan ibu untuk yang terakhir kalinya.

Danu hanya terdiam tanpa menjawab permintaan bu Wati.

Danu mendesah, mengusap wajah dengan frustrasi. mengingat percakapan terakhir dengan sang ibu. Tanpa menunggu lama lagi, dia segera menjalankan mobilnya.

...****...

Terpopuler

Comments

putia salim

putia salim

baru jg satu tahun menikah,udah ribut wae....bnyak lebih lama tahunya jg sabar2 saja menanti,...emang blm rejekinya kali,ntar kalau udah wktunya jg bakalan dikasih🤦‍♀️
kalau aq punya ibu mertua ky gitu udah tk kasih sianida kali😬

2023-06-17

0

Tri Widayanti

Tri Widayanti

Mertua oh Mertua

2022-12-26

0

Anonymous

Anonymous

pernikahan baru setahun sdh ribut dan ngebet minta cucu waras gak sih? yg nnti 5th blm jg dikasih anak masih banyak woi..

2022-04-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!