...***...
Tidak terasa usia pernikahan Danu dan Ayu sudah memasuki satu tahun. Pagi ini seperti biasa, Ayu yang hendak berbelanja sayur di tukang sayur keliling langganan sedang bersiap untuk keluar rumahnya.
Ayu dan Danu sepakat untuk membeli perumahan yang standar. Ayu tidak berniat untuk tinggal di perumahan elite seperti kebanyakan orang kaya.
Dirinya lebih menyukai perumahan yang standar karena masih dapat bersosialisasi dengan tetangga. Dia berpikir mungkin suatu hari nanti saat dirinya tengah dalam keadaan tidak baik, ada tetangga yang menolongnya.
Sedangkan Danu setuju, selain karena lokasinya tidak terlalu jauh dari kantornya. Juga karena dirinya berpikir, jika nanti mereka mempunyai anak, sang anak butuh bersosialisasi juga dengan orang lain.
Ada rasa nyeri di dada Ayu ketika Danu menyebutnya setiap kata anak, bukannya tidak ingin melainkan tidak mungkin hal itu terjadi. Ayu hanya tersenyum setiap kali suaminya berbicara seperti itu.
Setelah kepergian Danu mendadak pagi ini, karena ada rapat penting di kantornya. Ayu berjalan menuju tukang sayur yang tak jauh dari rumahnya.
“Pagi, Mbak Ayu.” sapa Bu RT.
“Selamat pagi, Bu RT. Pagi ibu-ibu semua,” balas Ayu tersenyum ramah.
“Mas Danu kerja, Mbak? Ini, kan, weekend.”
“Iya, Bu Henny. Kebetulan ada rapat penting, makanya buru-buru tadi.”
“Oh, gitu.”
“Duh, masa bos weekend kerja. Seharusnya kan, jalan-jalan. Alasan aja kali, Mbak. Jangan-jangan mau ke rumah madu.”
Ayu menghela napasnya.
Mulai lagi, deh.
Menghadapi wanita di hadapannya ini memang butuh lebih sabar karena mulutnya yang seperti cabai.
Ayu hanya diam dan tersenyum. Kalau meladeni pun tidak ada gunanya, Ayu tahu kalau Bu Henny memang terkenal bermulut lemes di lingkungan komplek perumahan ini.
“Hush! Nggak boleh asal ngomong,” tegur Bu RT.
“Ih, Bu RT. Kan, cuma bercanda, ” ujarnya tanpa rasa bersalah lalu terkekeh.
“Mbak Ayu, masih betah ya jadi pengantin baru?” tanya Bu Ulfa dengan nada menyindir. Sifatnya tak kalah jauh dari Bu Henny, karena keduanya memang berteman baik.
“Biar bisa 4646 terus ya, nggak mbak.” Siska menimpali. Disambut tawa oleh ibu-ibu lainnya.
“Ah, Mbak Siska bisa aja.” Ayu tahu akan lari ke mana arah pembicaraan itu, karena ini bukan kali pertama hal itu terjadi.
“Mbak Ayu, belum kepikiran punya anak gitu? Ini udah satu tahun loh, Mbak. Masa iya, nunggu Mas Danu kepincut sama perempuan lain dul—”
“Henny!” Bu RT memotong perkataan Bu Henny yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.
Beberapa ibu-ibu di sana saling bisik-bisik satu sama lain. Ada yang membenarkan, ada pula yang mengatakan jika Bu Henny memang sudah keterlaluan.
“Doakan saja ya, Bu Henny.” ujar Ayu masih tetap ramah, “Mang Udin, ini uangnya ya.” Ayu menyodorkan tiga lembaran seratus ribu kepada tukang sayur tersebut.
“Terima kasih, Mbak. Ayu.” Mang Udin menerima uang tersebut.
“Mari ibu-ibu, saya duluan ya.” Ayu berpamitan.
Merasa tidak enak atas ucapan Bu Henny, Bu RT menegurnya.
“Kamu itu Hen, sudah Mbak bilang jangan asal ngomong. Kalau ngomong disaring dulu!” Bu RT menegur Bu Henny yang memang merupakan adik iparnya.
“Ya habisnya, sudah satu tahun masih belum hamil juga. Jangan-jangan mandul kali,” Bu Henny masih dengan rasa tidak bersalah mengatakan hal itu.
Ayu memang sudah berpamitan dan pergi dari tempat itu, tetapi Ayu masih dapat mendengar ucapan mereka yang jaraknya masih cukup dekat.
Dia mencoba untuk tetap sabar setiap kali orang-orang membicarakan dirinya dan mengatakan hal yang menyakitkan hatinya. Meskipun mereka tidak tahu yang sebenarnya.
...***...
Entah perasaan Ayu saja atau memang Bu Wati—ibu mertuanya– yang memang sedari tadi berwajah masam. Setiap kali Ayu bertanya sesuatu kepada Bu Wati, selalu saja dijawab ketus oleh ibu mertuanya.
“Ibu dari tadi kenapa, sih? Kok mukanya gitu, nada bicaranya juga ketus terus.” Dewi, adik ipar Ayu bertanya.
Berarti bukan hanya Ayu saja yang merasakan hal tersebut.
“Nggak apa-apa, kamu jagain anakmu saja. Kamu tahu, kan, punya anak itu susah. Nanti kalau anakmu kenapa-napa, gimana coba?” ujar Bu Wati dengan nada menyindir. “Ini biar Ayu saja yang bawakan,” tukasnya lagi.
“Tapi ini banyak lohh, Bu.” ujar Dewi merasa keberatan dan tidak enak kepada Ayu.
“Aduh, biar aja. Nggak berat kok, kamu kan, udah punya anak pasti repot. Beda sama Ayu.”
Deg.
Sakit. Itu yang Ayu rasakan saat ini, ibu mertuanya dengan terang-terangan mengatakan hal menyakiti dirinya.
“Sana gih, tuh, anakmu nangis.” Bu Wati mengandeng tangan Dewi membawanya pergi dari ruang makan menuju ruang keluarga yang sudah mulai ramai.
Kebetulan hari ini rumah mertuanya didatangi oleh para sanak saudara, acara keluarga yang diadakan setiap bulannya.
“Nyonya nggak apa-apa?” tanya asisten rumah tangga ibu mertuanya.
“Nggak apa-apa kok, Mbok. Yuk, kita lanjutkan ini.”
Bohong jika dirinya baik-baik saja. Ayu juga merasakan sakit dan terluka, tapi Ayu hanya bisa menahan semuanya sendiri. Ayu lebih menyibukkan dirinya, menaruh kue-kue ke dalam piring.
“Beres, Mbok. Kita bawakan ke dalam yuk,”
Keduanya berjalan beriringan menuju ruang keluarga. Setelah menyajikan kue-kue dan makanan lainnya, Ayu menyapa dan menyalami paman dan bibi dari pihak suami. Dan, di sini Ayu sekarang. Terjebak di antara para adik dari ibu mertuanya dan juga para menantu lain.
Banyak obrolan antara mereka, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, perlengkapan sekolah anak, anak-anak sekolah yang pelajarannya semakin banyak. Ada pula perihal arisan, dan kegiatan lain.
Hingga adik dari ibu mertuanya bertanya perihal anak kepada Ayu. Entah mengapa sedari kemarin seolah semua tidak memberikan jeda terhadap rasa sakit yang dirasakan oleh Ayu.
“Doakan, kami saja ya, Bi. Semoga kami segera diberikan momongan.”
Danu yang tiba-tiba muncul di samping Ayu menjawab pertanyaan dari saudari ibunya, ia menarik Ayu, merapatkan rangkulannya.
“Di do’akan itu pasti, tapi juga harus diusahakan. Masa cuma berdoa tanpa usaha, periksa gitu loh. Siapa yang bermasalah, kalau keturunan kita sih, nggak ada. Nggak tahu kalau yang lain,” ujar Bu Wati dengan nada ketus.
Danu merasa atmosfer di sekitarnya sudah tidak mengenakan, terlebih ibunya sendiri yang membuat hal itu. Dirinya memutuskan untuk berpamitan kepada sang ibu dan sanak saudara yang datang.
Sepanjang perjalanan Ayu juga hanya diam tanpa mengatakan apapun. Danu tahu, jika istrinya sangatlah terluka atas ucapan yang dilontarkan sang ibu. Danu menggenggam erta tangan Ayu.
Ayu yang sedari tadi hanya memandang ke arah luar jendela mobil kini berpaling ke arah suaminya, keduanya saling melempar senyum untuk menguatkan satu sama lain.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
putia salim
dimana2 mulut julid pst ada y....🤦♀️
2023-06-17
0
Ainun
gk seru jln cerita ny
2021-12-18
1
SyaSyi
mampir aku ka
tetap semangat
aku suka ayu Sama Raka. Danu ga tegas kasihan ayu
2021-10-20
1