Sepasang mata milik Rita dan Wisnu tertuju pada 3 orang yang menuruni anak tangga bersamaan. Rita sangat kesal melihat Ardhi semesra itu kepada Risma, sedang Ishana berjalan seorang diri di belakang mereka. "Yang harus kamu manjakan saat ini adalah istri kedua kamu Dhi! Bukan bini kamu yang mandul itu!"
Ucapan pedas Rita sontak membuat senyuman yang menghiasi wajah Ardhi, Risma, dan Ishana luntur.
"Mama, jangan terlalu menekan Ardhi, biar semua proses berjalan lancar, kalau mama seperti ini, yang ada mama kena penyakit jantung," tegur Wisnu.
Rita mencoba menetralkan emosinya. "Kamu masih kerja Na?" tanya Rita.
"Iya bu, dengan bekerja saya merasa lebih rilex, stres saya berasa hilang, karena bisa menengok papa juga, apa ibu keberatan?" tanya Ishana.
"Kalau Ardhi, apa dia keberatan?" Rita balik bertanya.
"Ishana dan aku sudah membicarakan semua ini sebelum kami menikah mah, dan aku tidak keberatan, kasian Ishana stres kalau harus berdiam diri saja, setiap orang berbeda mah, Risma bahagia menghabiskan waktu bersama tanaman mama dan koleksi buku novel dia, dan berkunjung ke Panti, sedang Ishana, dia terbiasa bersosialisasi dengan rekan-rekan perawatnya."
"Mama sih tidak keberatan, selama itu tidak mengganggu program hamil kalian." Rita kembali fokus menyiapkan sarapan untuk suaminya.
Ardhi dan Ishana saling tatap, bagaimana mereka mewujudkan, sedang keduanya sama-sama tidak mampu melakukannya.
Mereka bedua berusaha santai, kejadian dibalik pintu kamar, hanya mereka yang tau. Semuanya menikmati sarapan pagi mereka.
Selesai sarapan, Ardhi dan Ishana berpamitan pada Wisnu dan Rita. Sedang Risma mengantar Ishana dan Ardhi sampai kedepan pintu.
"Na, kamu bareng saja sama mas Ardhi, lagian kantor mas Ardhi melewati Rumah Sakit Harapan Afiat," usul Risma.
"Aku lebih santai naik ojek saja," jawab Ishana.
"Jangan paksa Ishana, biarkan dia melakukan hal yang membuat dia senang."
Ardhi berulang kali menghujani wajah Risma dengan ciuman lembut. Ishana hanya tersenyum melihat adegan mesra itu.
"Mas, dalam poligami, suami itu harus adil terhadap istri-istrinya, mas terus cium aku, mas sudah lakukan itu pada Ishana?"
Sepasang mata Ishana seketika membulat sempurna. Hal yang sama juga terjadi pada Ardhi.
"Maaf, ojek aku datang, Ma, kak Ardhi, aku pamit." Ishana langsung berlari kearah pintu gerbang, di snaa terlihat motor tukang ojek melewati gerbang.
"Saat pertama kali kita melakukan ehekkk itu, aku susah berjalan, lah Ishana kuat banget ya mas, dia bisa lari selincah itu." Sorotan mata Risma tertuju kearah Ishana.
Ardhi berusaha santai, kalau dirinya jujur, yang ada Risma malah semakin mendesaknya. "Sayang, mas berangkat ya, nanti aku telat."
"Iya mas." Risma meraih telapak tangan Ardhi, dan mendaratkan ciuman di punggung telapak tangan itu.
Sesampai di kantornya, Ardhi tidak bisa bekerja. Tujuan utama menikah lagi demi mendapatkan anak, sedang dirinya tidak bisa menyentuh Ishana.
“Arggggg!” Ardhi geram sendiri, dia ingin membahagiakan papanya tanpa melukai hati Risma lebih dalam lagi.
Dalam keputus asaanya, Ardhi teringat sosok Jully sahabatnya. Dia langsung menelepon Jully dan menceritakan keluhannya.
“Aku ingin istri keduaku hamil, Jul. Tapi, aku tidak bisa menyentuhnya.”
“Lebih baik kamu datangi dokter Sonia, konsultasi dengannya, katakana keinginanmu. Biasanya orang menempuh dua jalan untuk mendapatkan anak dengan program. Pertama bayi tabung, kedua Inseminasi buatan. Untuk lebih
lanjutnya, kamu bicara langsung saja sama dokter Sonia.”
“Terima kasih Jul, aku senang kamu selalu membantuku dan sangat memahamiku.”
Ardhi pergi menuju Rumah Sakit miliknya, dia langsung menemui dokter Sonia, di ruangan itu dia ditemani oleh dokter Jully.
“Beberapa jam lalu, aku menikah lagi, kalian tahu sendiri kalau papaku sangat ingin cucu. Masalahnya aku tidak bisa menyentuh Wanita itu, aku sangat mencintai Risma.”
“Aku ingin dia hamil anakku, tanpa aku menyentuhnya.”
“Kamu aneh Dhi, apa susahnya menyuntikkan ****** mu langsung pada istri keduamu.”
“Aku nggak bisa.”
Setelah diskusi Panjang, dokter Sonia menganjurkan agar Ardhi dan istri keduanya melakukan Inseminasi. Ardhi pun setuju.
“Secepatnya kamu bawa istri keduamu kesini Dhi, kita melakukan bermacam pemeriksaan padanya.”
Ardhi setuju, dia segera menelepon Ishana, dan meminta Ishana menemuinya di parkiran Rumah Sakit. Ardhi menunggu Ishana dalam mobilnya. Setelah menunggu hampir 20 menit, akhirnya terlihat Ishana berjalan
kearah mobilnya, Wanita itu langsung masuk kedalam mobil Ardhi.
“Ada apa kak?”
Ardhi membuang kasar napasnya. “Kamu tahu sendiri Na, kita berdua tidak akan sanggup melakukan hubungan suami istri, sedang pernikahan kita terjadi karena keinginan papa. Kita harus berusaha Na supaya kamu tetap
hamil.”
“Maksud kakak?”
“Aku sudah konsultasi bersama dokter Sonia. Kita akan melakukan Inseminasi, supaya kamu bisa hamil Na.”
Ishana lega, dia berpikir mereka harus memaksa diri untuk melakukan hal itu. “Kapan kita mulai melakukan programnya kak?”
“Kita temui dokter Sonia sekarang.”
Mereka berdua segera menuju ruangan dokter Sonia.
Sejak hari itu, Ishana melakukan bermacam proses untuk mempersiapkan dirinya menjalani Inseminasi. Setelah waktu yang Panjang, intisari dari tubuh Ardhi yang telah diproses masuk kedalam Rahim Ishana.
*Nasibku, kenapa terlalu indah. Rahimku dimasuki bibitmanusia dengan cara seperti ini.
Ishana menertawakan dirinya sendiri.
****
3 bulan berlalu.
Kegiatan semua orang tidak ada perubahan, Ardhi dengan pekerjaannya, Risma juga begitu menikmati harinya, Ishana juga menjalani harinya begitu bahagia, walau beberapa malam dalam seminggu dia tidur sekamar bersama Ardhi, namun keduanya tidak mampu melakukan apa-apa. Malam ini Ardhi tidur di kamar Ishana.
“Maaf kak, prosesnya gagal,” sesal Ishana. Ishana sedih, merasa dirinya sangat tidak bisa diandalkan.
“Jangan menyalahlan diri Na, kan dokter Sonia bilang, keberhasilannya hanya sekitar 20%."
"Bagaimana kalau Risma atau ibu terus menunggu? Jujur, melakukannya langsung aku tidak bisa, namun jika harus melakukannya aku juga tidak sanggup."
"Semoga dengan berjalannya waktu, mereka bisa lupa."
"Maafkan aku, harusnya aku menolak dari awal, karena menerima atau menolak, hal ini sama-sama menyakiti Risma."
"Jangan merasa bersalah gitu Na, aku juga minta maaf, kamu cantik, baik, hanya saja di hatiku hanya ada Risma."
"Tetaplah seperti itu kak, aku bahagia melihat kakak hanya mencintai Risma, justru aku akan merasa sakit dan tersiksa jika kakak mencintaiku."
"Kamu tahu Na, apa yang membuatku nyaman denganmu?"
Ishana hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Kamu sangat memahami aku dan mengerti aku, jujur aku sangat bahagia memiliki istri sepertimu, kamu mengerti kalau aku sangat mencintai Risma, dan kamu tidak mengharap untuk dicintai."
"Entah apa aku ini, tapi aku sangat merasa bersalah, jika Risma merasa sakit karena kehadiranku."
"Kamu dan Risma itu seperti kesatuan, Risma yang aku cinta dan mencintaiku, sedang kamu memberi rasa nyaman pada kami berdua."
"Jangan terlalu memuji, nanti cinta kakak terbagi," ledek Risma.
***
Suasana rumah terasa sepi, lalu lalang para pelayan yang melakukan tugas mereka, sedikitpun tidak membuyarkan lamunan Risma.
Ishana sudah pergi ke Rumah Sakit, Ardhi di kantor, Risma hanya menghabiskan waktu di rumah sambil menemani Rita.
Risma terus memikirkan Ardhi dan Ishana, keduanya terlihat bahagia, bahkan tidak ada kecanggungan. Sulit mencari celah, apakah mereka.
"Mikirin apa kamu Risma?" tanya Rita.
"Ishana sama mas Ardhi," jawab Risma.
"Kamu menyesal mengizinkan Ardhi menikah lagi?"
"Bukan mah, tapi ... rasanya ada yang aneh." Risma terlihat memaksa otaknya bekerja lebih keras lagi. "Mas Ardhi sama Ishana, iya mereka baik-baik aja, tapi nggak ada mesra-mesranya mah, masa pergi bekerja saja Ishana selalu menolak bareng sama mas Ardhi, aku mau protes takut dibilang pelit mah," adu Risma.
"Mungkin mereka masih malu, terus Ishana itu sahabat kamu, mana tega dia nyakitin kamu." Rita duduk di samping Risma.
"Mama ingat kan, 3 bulan setelah menikah aku hamil, tapi sampai sekarang Ishana belum ada perkembangan. Apa mereka belum melakukan itu ya ma?" Risma menerka-nerka.
"Ini belum setahuh, masih aman, kalau lebih 1 tahun mereka tidak ada perkembangan, mama akan turun tangan." Rita tersenyum, dia bahagia Risma benar-benar tulus. "Setiap orang punya kadar yang berbeda, jangan jadikan dirimu tolak ukur mereka, jangan jadikan mereka juga sebagai tolak ukur kamu." Tepukkan lembut mendarat di bahu Risma.
"Ma, aku ingin mereka bulan madu. Apa mama keberatan?"
"Atur saja sayang."
Risma bahagia mendapat dukungan dari mertuanya, jika Ishana cepat hamil, harapannya segala beban di pundaknya juga terangkat.
"Risma ...." panggil Rita.
"Iya mah ...."
"Andai Ishana berhasil memberikan anak untuk Ardhi, apa langkah kamu selanjutnya?"
Risma terdiam. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu.
"Tentu kita akan bersama-sama membesarkan anak itu mah."
Terlihat wajah Rita begitu lega mendengar jawaban Risma. "Mama bahagia, mama juga bangga sama kamu, kamu mengorbankan banyak hal, untuk keluarga ini." Rita memeluk erat menantunya.
***
Cahaya sang Surya semakin meredup kearah barat. Saat bersamaan Ishana dan Ardhi sampai di rumah.
"Selamat sore kak," sapa Ishana.
"Sore juga," sahut Ardhi.
Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Ishana menuju kamarnya, sedang Ardhi langsung masuk ke kamar Risma.
Selesai membersihkan diri, ketampanan Ardhi tidak berkuarang sedikitpun, walau dirinya hanya mengenakan pakaian rumahan.
"Kamu sedang apa sayang?" Ardhi langsung mengurung Risma kedalam pelukannya.
"Lagi mikir tempat bulan madu yang asyik buat kakak dan Ishana." Perhatian Risma tidak teralihkan sedikitpun dari layar handphonenya.
"Kamu ini wanita apa robot?" Ardhi sungguh bingung dengan Risma yang tidak bosan-bosan memintanya mendekati Ishana. "Ini hati, tidak bisa kamu pasang tali kendali, bagaimana kalau aku beneran jatuh cinta pada Ishana? Kamu siap untuk itu."
"Mas, aku percaya sama Ishana, dia wanita yang tepat untuk kuajak berbagi, maka beri tempat di hati mas untuk Ishana juga."
Ardhi melepaskan pelukannya, dia menarik Risma agar posisinya menghadap kearahnya. "Saat ini, aku belum tau apakah aku mencintai kamu, tapi yang pasti, aku sayang sama kamu, dan aku hanya ingin sama kamu."
"Mas, beri tempat buat Ishana sedikiittt aja!"
"Kamu tuh mau berusaha mencintai aku apa enggak? Masa nggak ada cemburu-cemburunya sama wanita lain?"
"Mas, aku tuh yakin, bagaimanapun baiknya Ishana, mas nggak akan lupa sama aku, makanya kalau dengan Ishana, aku tidak akan cemburu."
"Kenapa yang jadi suami bukan kamu aja, kamu tau nggak, sulit bagi untuk menerima Ishana. Bahkan sampai detik ini, aku belum ikhlas ada Ishana dalam rumah tangga kita."
Risma berusaha memasang raut ketegarannya. "Aku tau, walau kita sama-sama buta dengan yang namanya cinta, tapi aku ngerasa itu semua karena cinta kita yang begitu kuat, namun saat ini ada hati yang harus kita jaga, hati papa."
"Bulan madu, mau ya mas ... pulang nanti buat Ishana hamil."
"Bulan madu oke, tapi bertiga, titik gak pake koma!"
Risma tidak bisa mengatur agar suaminya hanya berdua dengan Ishana. Melawan Ardhi, yang ada Ardhi menolak rencananya. Risma bingung, tidak tau bagaimana caranya membuat Ardhi dan Ishana benar-benar dekat.
Kalau Ishana, dia tipe yang mudah akrab sama siapa saja, berbeda dengan Ardhi. Setelah membicarakan dilemanya pada Rita, Risma pun setuju untuk pergi bulan madu bertiga.
Tidak butuh waktu lama, semua persiapan selesai, setelah Ardhi dan Ishana bisa cuti dari pekerjaan mereka. Bulan madu bersama dua istri pun harus Ardhi jalani.
Prioritas Ardhi tetap Risma, laki-laki itu selalu bersikap romantis dan selalu menempel pada istrinya Risma, dia hanya melakukan keinginan yang satu itu hanya dengan Risma.
"Mas, ini bulan madu mas sama Ishana loh." Risma protes, selama di hotel Ardhi sangat sering bersamanya.
"Aku adil salah, nggak adil salah." Ardhi memasang wajah cemberut.
"Jadi ... mas sudah melakukannya dengan Ishana?" Wajah Risma seketika semangat.
"Melakukannya dengan istri keduaku, apa aku harus bilang dulu padamu?"
Risma diam, dia bahagia jika Ardhi melakukan hal itu bersama Risma.
"Jadi, siang sepanjang waktu bersamamu, dan malam bersama Ishana, itu adil bukan?" Ardhi memastikan.
"Iya, nggak apa-apa, padahal mau ku siang dan malam, mas bersama Ishana, sampai Ishana berhasil hamil."
"Hamil melulu, memang setelah Ishana hamil mau di apain?"
Risma tersenyum. "Impian papa terwujud, aku juga bisa jadi ibu."
***
Kamar Ishana berada tepat di sebelah kamar Risma, bahkan balkon kamar mereka terhubung. Ishana sekilas mendengar obrolan suami istri itu, dia sekuatnya menahan tawanya.
Cemburu.
Cemburu bagian dari rasa sayang dan cinta. Melihat kemesraan Ardhi dan Risma sedikitpun tidak membuat Ishana cemburu. Baginya Ardhi hanya temannya dan Risma sahabatnya.
Bukan ak nggak mau serahin diri aku sama kak Ardhi, mengingat jasa kamu menyelamatkanku dari kobaran api saat kita kecil, jangankan rahimku, apapun yang kamu mau, aku akan berikan Risma. Tapi ... yang aku takutkan, aku jatuh cinta pada suamimu, tidak ada alasan untukku untuk tidak jatuh cinta pada kak Ardhi. Dia tampan, perhatian, penyanyang, juga setia.
Semoga aku bisa memberikan tubuhku, tanpa harus memberikan hatiku.
***
Seperti janji Ardhi, malam dia akan menghabiskan waktu bersama Ishana. Keduanya hanya duduk santai, sambil menikmati segarnya minuman hangat di tangannya.
"Kak aku punya pertanyaan." Ishana membuka pertanyaan.
"Apa?"
"Aku tidak berani bertanya pada Risma, apakah dirinya ingin aku selamanya dalam ikatan ini, atau hanya butuh--" Ishana bingung mengatakan maksudnya.
"Dia butuh dirimu selamanya. Dia tidak punya rahim lagi, untuk melakukan tugasnya tidak sebebas dulu, makanya dia butuh partner."
"Aku punya ...." Ardhi menahan ucapannya. "Entah apa ini suatu kekurangan atau kelebihan, aku memiliki naf-su se-k* yang lebih, dan sepertinya Risma memikirkan hal itu, walau sejak dia menjalani operasi kala itu, aku sudah berusaha menekan keinginan itu."
Ishana menggidik membayangkan ucapan Ardhi, namun dia berusaha kembali pada pembahasan sebelumnya. "Maafkan aku, bukan maksudku berpikiran jelek, jika Risma butuh Rahimku, maka secepatnya kita lakukan hubungan ini, agar aku bisa pergi secepatnya dari kalian, setelah mewujudkan keinginan Risma."
"Jika Risma memang menginginkan aku, maka kita akan memulai hubungan saat kita berdua benar-benar siap."
Ardhi terpukau dengan jawaban Ishana. "Tapi, aku teringat ucapan dokter Sonia, jika kita melakukannya langsung, angka keberhasilannya lebih besar." Ardhi menatap wajah Ishana begitu serius.
Ishana seketika menegang mendengar ucapan Ardhi. "Ji-ji-jika itu perlu, ya sudah aku coba paksa diriku."
Wajah Ishana sangat lucu bagi Ardhi, tawa pun terlepas, Ardhi tidak sanggup lagi menahannya. "Kita akan melakukan prosesn Inseminasi alami, tapi saat kita berdua sama-sama siap."
"Huh ...." Ishana merasa sangat lega.
"Kadang aku bertanya-tanya, kenapa wanita sebaik dirimu malah terperangkap dalam ikatan poligami. Kamu baik Na, sangat baik, kamu itu pantasnya menjadi ratu dalam kehidupan sesorang, bukan menjadi istri kedua dari seorang laki-laki pen-cun-dang sepertiku."
"Kakak bukan pencundang, tapi kakak laki-laki setia, yang menjadi impian setiap wanita."
"Jika sampai nanti kita tidak bisa melakukannya, aku harap andai kita berpisah, hubungan kita tetap teman baik Na."
"Setuju, apapun hubungan kita nantinya, ku harap kita masih bisa berteman." Ishana mengulurkan tangannya pada Ardhi.
"Deal!"
Ishana dan Ardhi saling berjabat tangan.
Seminggu di tempat berbulan madu, dalam pelukan Ardhi hanya ada Risma. Ishana tidak terlihat seperti istri kedua Ardhi, wanita itu terlihat seperti teman Ardhi.
Indahnya kebersamaan, membuat Ardhi dan Ishana lupa, apa tugas utama mereka. Saat ini ketenangan hidup yang dijalani, itu yang utama. Bagi keduanya, mereka akan membuka lembaran baru jika mereka benar-benar siap. Saat ini prioritas mereka hanya Risma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
ummi_Շɧ𝐞𝐞ՐՏ🍻muneey☪️
kaya nggak kuat lanjut baca..tp penasaran 😩😩
2022-06-27
0
ummi_Շɧ𝐞𝐞ՐՏ🍻muneey☪️
apaan ehekk 🤣🤣
2022-06-27
0
ummi_Շɧ𝐞𝐞ՐՏ🍻muneey☪️
ini mama nya gimana sih..sebentar sayang sebentar jahat..perlu diruqyah nih
2022-06-27
0