"Ya sudah sekarang kau istirahat saja dulu, lagipula kau sedang lelah. Kita berdoa saja semoga besok kau akan hamil." Titah Haris pada menantuya.
"Baik Pah," jawab Aisyah patuh. Yoga pun mengambil bantal agar membuat Aisyah nyaman. Kedua orang tuanya terlihat keluar dari ruangan tersebut.
"Ingat ya sayang, kamu tidak boleh terlalu capek. Kalau butuh apa-apa tinggal bilang saja pada Mas." Ucap Yoga menggenggam tangan istrinya.
Kedua sudut bibir Aisyah terangkat ke atas. "Iya Mas, sebenarnya menurutku juga kau terlalu berlebihan jika seperti ini. Aku hanya hamil Mas, bukan sakit." Kekeh Aisyah.
"Tidak sayang, jelaslah aku harus menjagamu. Aku tahu, di setiap detiknya pasti ada saja rasa sakit yang kau rasakan. Dan tidak enak badan, terimakasih ya kau telah memberiku kesempatan menjadi Ayah."
"Itu rezeki dari Tuhan Mas, semoga kita bisa menjaga amanah dari-Nya dengan baik yah."
"Iya sayang."
...***...
Dewi memasak dengan kesal, "Bagaimana bisa sih, Aisyah sudah hamil secepat itu. Setelah ini pasti dia akan lebih dimanja, dan pekerjaan rumah? Siapa lagi kalau bukan aku yang melakukan. Benar-benar menyusahkan saja." Gerutunya lirih.
Tak lama, datanglah Intan dengan wajah letihnya. Ia sempat mampir keluar tadi, jadi terlambat pulang. Tak mempedulikan Dewi, ia berjalan begitu saja. Membuat Dewi geram.
"Hei kamu, ada orang tua di sini kok di diamkan saja. Di mana sopan santun kamu Intan?!" Ujarnya menghampiri Dewi.
Intan menoleh, ia menutup mulutnya karena menguap. "Apa? Oh maaf Tante. Intan sangat lelah dan mengantuk jadi tidak memperhatikan sekitar. Maaf ya Tante."
"Maaf, maaf sudah sekarang bantuin Tante. Tidak lihat apa kamu, Tante lagi memasak. Seharusnya itu tugas kamu yang masih muda, lah ini orang tua kok disuruh memasak."
Salah satu alis Intan terangkat. "Memangnya siapa yang menyuruh Tante? Perasaan Tante melakukan itu semua atas kemauan Tante. Kalau aku malas memasak, aku lebih memilih untuk membeli saja di luar."
"Hei kamu itu, bisanya cuma menjawab terus. Kamu itu masih muda, harusnya punya pemikiran yang luas. Peka, orang tua itu badannya suka encok, tidak sekuat dulu, dan.."
"Iya, iya Tante. Ya sudah sekarang biarkan Intan mandi dulu ya. Setelah itu baru aku bantu Tante masak." Intan memotong pembicaraan Tantenya.
"Bagus." Sahut Dewi dan kembali ke dapur.
Intan menggeleng kepalanya pusing, "Bagaimana bisa kamu masih bertahan di sini Aish. Bahkan tiap pagi aku terbangun karena mendengar Tante yang selalu memarahi kamu karena terlambat lima menit saja.
Belum lagi suka disuruh ini itu, kau memang punya kesabaran luar biasa. Semoga lapangnya hati kamu menular padaku," gumamnya berjalan menuju kamarnya sendiri.
Kemarahan dalam diri Dewi sudah sampai ubun-ubun. Bagaimana bisa Intan yang tadinya mengatakan bahwa akan membantunya memasak tak kunjung keluar hingga ia selesai masak. Dengan emosi ia pun melangkah menuju kamar Intan.
Baru ingin membuka mulutnya pintu terbuka. Nampaklah Intan dengan handuk melilit rambutnya. Ternyata ia baru selesai keramas.
"Kamu itu bagaimana sih Intan, Tante menunggu kamu dari tadi. Kenapa tidak keluar-keluar hah?" Tanyanya dengan nada tinggi.
"Maaf Tante, Intan baru saja mandi besar jadi lama. Terus ada telepon juga." Jawab Intan santai.
"Kamu itu ya, sudah bersyukur dikasih tumpangan di rumah ini. Tapi malasnya minta ampun." Hardik Dewi dengan suara lantangnya.
Intan yang mendengar celotehan Tantenya merasa pusing, "Ya sudah Tante iya Intan salah dan minta maaf. Lain kali Intan tidak akan mengulanginya." Jawabnya mengalah dan pergi meninggalkan Dewi begitu saja.
...***...
Aisyah menutup mulutnya haru, dua garis biru di hadapannya membuat air matanya meluruh. Meski ia telah menduga semuanya dari awal, namun tetap saja hatinya bergetar melihat bahwa itu terpampang nyata.
Dengan menyiapkan hatinya, Aisyah pergi keluar untuk membangunkan suaminya. Lagi pula sudah masuk waktu Subuh.
"Mas," ucapnya menyentuh bahu sang suami.
"Eunghh." Terdengar erangan dari bibir tipis Yoga. Dengan malas ia membuka matanya.
"Aish, sudah adzan yah?" Tanya nya, dan duduk di dinding kasur. Ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya.
"Em sebentar lagi Mas." Jawab Aisyah tersenyum, binar kebahagiaan di wajahnya membuat Yoga tersenyum.
"Ada sayang?"
Aisyah menggeleng kecil, ia memandang wajah teduh suaminya. Menarik nafas panjang, dengan tangan bergetar ia menunjukkan benda yang sedari tadi membuatnya bahagia tak kepalang.
Mata Yoga membesar seketika, disusul manik yang kian mengembun. Berkali-kali ia mengucek matanya, berusaha meyakinkan bahwa ini semua memang benar nyata adanya. Merasa kurang puas, ia pandangi wajah istrinya. Sirat kebahagiaan tak pernah luntur dari sana, justru semakin meluap saja.
"Alhamdulillah ya Allah." Ujarnya bersyukur, langsung saja ia beranjak menghadap kiblat. Ia ungkapkan kebahagiaannya dalam sujudnya.
Direngkuhnya erat tubuh Aisyah dan acap kali mendaratkan sentuhan penuh kasih sayang. Ia regangkan rengkuhan tersebut, Aisyah tersenyum malu. Yoga memandangnya dengan penuh kebahagiaan pada istri kecilnya.
Ia tarik nafasnya perlahan dan beberapa kali mencium perut rata istrinya. "Ini ada hadiah terindah dalam hidup Mas Ai. Tidak ada yang lebih berharga dari ini. Terimakasih memberi Mas kesempatan untuk mendapatkan gelar Ayah. Kita jaga ini baik-baik ya. Semoga kita bisa menjaga amanah dengan baik-baik. Dengan genggaman cinta yang begitu erat kita miliki, mari kita curahkan segalanya pada anak kita.
Kita buktikan pada Tuhan, bahwa kelak dia akan menjadi penghuni yang akan mewarnai tempat terindahnya nanti. Aku sangat mencintaimu Aish, sangat." Ungkap Yoga membuat Aisyah semakin deras mengeluarkan air matanya. Dinginnya dini hari sama sekali tak dapat menghampiri pasutri tersebut, lingkup suasana harulah yang sedang mendominasi keduanya.
Adzan Subuh yang sedang dikumandangkan membuat Yoga tersadar. Aisyah menjadi salah tingkah, ia begitu erat memeluk tubuh Mas Yoga hingga membuatnya lupa segalanya.
Yoga menangkupkan tangannya di wajah Aisyah, "Aku pergi dahulu ya, biar aku adukan semuanya pada Tuhan. Tapi biarkan aku memelukmu lebih lama lagi." Merengkuh kembali tubuh istrinya dan ia benamkan lama bibirnya di dahi Aisyah. Lalu berlalu darinya pergi mengambil air wudhu.
Aisyah tersenyum melihatnya, matanya mengarah ke bawah. Dengan lembut ia usap perutnya perlahan. Matanya terpejam membayangkan sosok makhluk yang sedang bertandang di rahimnya. Pikirannya juga berkelana jauh saat ia melahirkan.
"Terimakasih ya Allah, dia anugerah terindah untuk hamba." Lirihnya. Lalu beranjak untuk menyiapkan pakaian suaminya ke Masjid.
"Mas pergi yah, kamu jaga diri baik-baik. Bila perlu jangan mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya. Masih ada Mama dan Intan di sini." Ujar Yoga sebelum berangkat ke Masjid.
"Kau tidak perlu khawatir Mas, aku akan jaga diri dan dia sebaik mungkin." Jawab Aisyah tersenyum.
"Sayang Papa pergi dahulu yah, nanti Papa akan mengajakmu juga. Jangan menyusahkan Mama yah, nanti Papa jenguk kamu."
"Ish Mas." Cebik Aisyah kesal mendengar kelimat terakhir suaminya. Sedangkan Yoga hanya terkekeh.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
_____________
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan like, komen dan vote.
Terimakasih ;)
Ig; @nick_mlsft
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments