Suara gemericik air masih terdengar dari kamar mandi Zia. Hampir dua jam Zia terus berada di bawah guyuran shower. Bibirnya mulai gemetar dan wajahnya tampak memucat.
Sejak kejadian dirinya bersama Rey, Zia tidak bisa memejamkan mata. Saat waktu hampir subuh, ia lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Berharap dengan terus mengguyur seluruh tubuhnya dengan air akan membuatnya sedikit lega.
Bi Surti yang merasa khawatir karena Zia tak kunjung turun pun lantas naik menuju kamar Zia. Diketuk pintu kamar itu beberapa kali namun tak ada sahutan dari dalam. Ia semakin khawatir.
Dicobanya memutar gagang pintu namun terkunci. Bi Surti terus mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama Zia namun tetap tak ada jawaban.
Ingin mendobrak pintu itu tapi tenaganya tak cukup kuat. Akhirnya ia memutar otak.
"Pasti ada kunci cadangan", gumamnya sambil membuka beberapa laci meja yang berada di depan kamar Zia.
"Ketemu", teriak bi Surti saat mendapati beberapa kunci dalam sebuah gantungan.
Ia mencoba memasukkan kunci-kunci itu ke dalam lubangnya namun masih belum menemukan yang cocok.
Hingga saat tinggal dua kunci, bi Surti harap-harap cemas. Semoga diantara dua kunci itu salah satunya cocok, dalam hati bi Surti berharap.
ceklek
Benar saja, salah satu kunci itu cocok. Segera bi Surti masuk ke kamar Zia dan mencari keberadaannya. Di dalam kamar tidak ada.
Ia mendengar suara gemericik air. Pasti di dalam pikir bi Surti.
Saat bi Surti mencoba membuka pintu kamar mandi, ternyata tidak dikunci. Dilihatnya Zia berada di bawah guyuran air dengan wajah yang sudah sangat pucat.
Segera diambilnya bathrobe dan memakaikannya ke tubuh Zia. Bi Surti menuntun Zia keluar kamar mandi lalu mengeringkan seluruh tubuh Zia.
"Ya ampun non, non Zia kenapa? Apa yang terjadi non?", tanya bi Surti pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi dengan Zia.
"Aku nggak apa-apa kok bi. Bibi bisa keluar, tolong bikinin sup hangat ya buat sarapan. Aku mau siap-siap dulu", jawab Zia mencoba tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
"Baik non, bibi bikinin sekarang, tapi non jangan aneh-aneh lagi ya. Bibi khawatir non", ucap bi Surti lagi yang dijawab anggukan oleh Zia.
Sarapan telah siap. Bi Surti memanggil Zia untuk makan sebelum ke sekolah.
Zia yang sudah siap dengan seragam dan tas sekolah segera menuju meja makan.
Bi Surti hendak pergi ke dapur namun Zia memintanya menemaninya seperti biasa.
Tak ada percakapan sama sekali.
Bi Surti melihat perubahan dalam diri Zia. Zia yang biasanya banyak bicara kali ini tidak mengeluarkan suara. Makan pun tampak nggak berselera. Bi Surti akhirnya mengeluarkan suaranya.
"Non Zia kenapa? Apa hari ini non sakit kok kelihatan pucat?", tanya bi Surti.
"Nggak apa-apa kok bi, mungkin kecapekan aja jadi agak gimana gitu. Tapi aku nggak sakit kok bi. Ya udah aku berangkat sekolah dulu bi, ntar telat lagi", jawab Zia yang juga langsung pamit pergi.
"Iya non, hati-hati di jalan. Atau sebaiknya non diantar pak Jamal aja?", usul bi Surti khawatir.
"Nggak apa-apa kok, aku berangkat sendiri aja", ucap Zia sambil berjalan ke arah pintu.
Zia berangkat ke sekolah mengendarai mobil sport miliknya dengan kecepatan rata-rata. Sekalut apapun pikirannya, ia masih waras. Tak mau membahayakan dirinya sendiri ataupun orang lain jika ia ngebut.
Tiga puluh menit kemudian Zia sampai di depan gerbang sekolahnya. Masih ada sekitar sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Ia kemudian berjalan menyusuri lapangan sekolah menuju kelasnya yang berada di ujung.
Satu hal langka yang tidak pernah dibayangkan Zia adalah ketika Reynand menarik tangannya menuju belakang sekolah.
"Apaan sih!!", teriak Zia sambil menghempaskan tangan Reynand yang menggenggam tangannya.
"Gue cuma mau minta maaf. Kenapa lo nggak angkat gue telepon?", ucap Reynand sambil memegang bahu Zia.
"Udahlah Rey nggak usah dibahas. Anggap aja nggak ada apa-apa", balas Zia menatap mata Rey.
"Gue ngerasa bersalah banget Zi, nggak mungkin bisa gue lupa gitu aja", Rey menundukkan wajahnya menandakan penyesalan yang begitu dalam.
"Gue udah maafin lo, kita sama-sama nggak tau apa yang terjadi kan??", sahut Zia yang membuat Reynand menegakkan kembali wajahnya dan menatap mata Zia.
"Beneran..makasih ya Zi. Ya udah, kita ke kelas aja udah bel", ajak Reynand dan diangguki Zia lalu mereka berjalan berdampingan ke dalam kelas.
Sedikit lega perasaan Reynand setelah mendengar pernyataan Zia tadi. Tadinya ia pikir bahwa Zia akan sangat membencinya. Ia takut Zia akan menjauhinya karena ia merasa akan ada sesuatu yang kurang jika tanpa Zia.
Zia dan Reynand memasuki kelas lalu duduk di bangku masing-masing. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.
Sikap Zia hari ini sangat berbeda. Ia lebih banyak diam. Ketika sesi tanya jawab, Zia pun tidak mengangkat tangannya sama sekali. Padahal biasanya ia sangat aktif.
Mita yang duduk di samping Zia menyadari perubahan itu. Ia sedikit menyunggingkan senyum licik. Pasti sudah berhasil pikirnya.
Bel istirahat berbunyi. Semua murid keluar dari kelas masing-masing. Ada yang ke kantin, perpus, atau hanya sekedar duduk di taman sekolah.
Namum tidak dengan Zia. Ia enggan hanya untuk beranjak dari duduknya, apalagi harus keluar kelas.
"Zi, lo nggak ke kantin?", tanya Mita menunjukkan kepeduliannya.
"Nggak Mit", jawab Zia singkat tanpa menoleh kepada mita.
"Lo sakit Zi, kok banyak diem aja?", tanya Mita lagi yang dijawab anggukan oleh Zia.
"Ya udah kalau gitu gue kantin dulu ya", ucap Mita yang kembali diangguki Zia sebagai jawaban.
Reynand yang dari tadi hanya menyimak obrolan Zia dan Mita dari bangkunya yang ada di belakang mulai mendekat.
Ia duduk di bangku sebelah Zia.
Tak ada reaksi apapun dari Zia, meskipun ia tahu jika ada yang mendekat.
Reynand mulai membuka suara.
"Lo masih marah sama gue?"
Zia mendongak sedikit ke arah Reynand lalu menggeleng.
"Gue bener-bener minta maaf", ucap Rey lagi.
"Udahlah nggak usah dibahas, udah terlanjut kan", kali ini Zia mengeluarkan suaranya.
Reynand maupun Zia kini saling diam. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing.
Reynand tahu bahwa hati Zia sangat hancur. Apa yang selama ini dijaga kini harus terenggut paksa bahkan di luar kesadarannya.
Tidak akan mudah bagi Zia, begitu pun Rey.
Sedangkan Zia lebih diliputi rasa takut. Rasa takut telah melakukan perbuatan dosa juga rasa takut jika kedua orangtuanya mengetahui.
Yang lebih ditakutkan Zia adalah jika sampai apa yang telah ia dan Rey lakukan justru menumbuhkan sesuatu yang bahkan tidak pernah ia bayangkan.
Mereka masih sangat muda. Masih banyak keinginan dan cita-cita yang harus dikejar, terutama Zia yang ingin menjadi dokter.
Bahkan akhir-akhir ini Reynand telah banyak berubah. Ia yakin keinginan Rey untuk menjadi lebih baik semakin tinggi.
Hingga sampai bel masuk berbunyi lagi, Rey dan juga Zia masih sama-sama saling diam. Rey memilih kembali ke bangkunya karena guru juga telah masuk ke kelas mereka.
Saat pulang sekolah, Rey masih mencoba mendekati Zia. Perubahan sikap Zia membuatnya bingung harus bagaimana. Juga dengan tugas bimbingan belajar yang diperintahkan bu Mona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments