Mobil melaju cukup lancar. Nggak ada kemacetan kali ini karena waktu memang hampir subuh.
Zia hanya menatap ke arah kaca mobil sambil sesekali menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.
Setelah melihat berita di tv, Zia memastikan kepada keluarga bi Sum di kampung tentang kebenaran kabar kecelakaan itu. Ternyata benar, bi Sum turut berada di dalam bus yang mengalami kecelakaan dan masuk ke jurang. Dia sangat terkejut lalu memaksa pak Jamal untuk langsung pergi ke kampung bi Sum.
Sebelum berangkat, pak Jamal sempat menghubungi mami Viola untuk mengabari tentang kejadian ini. Maminya Zia menyuruh pak Jamal berangkat terlebih dahulu sedangkan ia akan berangkat esok harinya jika urusannya telah selesai.
......********......
Hari telah berganti pagi. Seluruh keluarga sanak saudara serta tetangga bi Sum telah berkumpul di rumah duka. Mereka tengah menanti kedatangan jenazah bi Sum yang kabarnya masih dalam perjalanan.
Matahari telah merangkak naik menandakan pagi telah berganti siang. Sayup terdengar suara sirine ambulance yang membawa jenazah. Tangis penuh haru terpancar dari setial orang yang ada di sana termasuk Zia.
Ketika jenazah tiba, hanya disemayamkan sebentar untuk disholatkan kemudian langsung dibawa ke pemakaman umum setempat.
Air mata tak pernah berhenti terus membanjiri pipi Zia dan juga anak serta suami bi Sum. Mereka benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi.
Hari semakin sore namun mami Viola dan papi Samuel yang katanya akan menyusul juga belum nampak. Zia enggan memikirkan kedua orangtuanya. Pikirannya saat ini hanyalah kasihan melihat anak bungsu bi Sum yang tampak pucat karena penyakitnya. Ditambah lagi ia harus kehilangan sang ibu.
"Pak, saya benar-benar turut bersedih atas kejadian ini. Saya harap bapak beserta keluarga bersabar dan ikhlas".
"Iya nak Zia, kami sekeluarga mohon maaf jika selama bekerja dengan non Zia, istri saya melakukan banyak kesalahan", jawab pak Usman, suami bi Sum.
"Nggak kok pak, sama sekali nggak ada kesalahan. Malah saya sangat berterima kasih kepada almarhumah, kalo nggak ada beliau nggak tau selama ini saya akan seperti apa. Beliau selalu ada buat saya, nemenin saya", kata Zia sambil terisak.
"Ya semoga ini menjadi amal kebaikan untuk almarhumah non".
"Iya pak, aamiin. Oh iya, untuk membalas semua kebaikan bibi, saya akan membiayai seluruh pengobatan anak kalian, dan juga setiap bulan saya akan tetap kasih uang sebesar gaji bibi dulu pak. Saya harap bapak mau menerima".
"Syukur alhamdulillah non, terima kasih banyak", ucap pak Usman sambil menahan tangis.
......********......
Sementara itu di sekolah.
"Eh Mit, Zia kemana kok hari ini nggak masuk?"
"Ya mana gue tau", jawab Mita ketus.
"Lah elo kan temen deketnya".
"Tapi dia nggak ada tuh ngasih tau gue".
"Ah elah percuma nanya ama elo".
Ya benar, saat ini Rey tengah mencari keberadaan Zia, lebih tepatnya mencari tahu kenapa Zia tidak masuk sekolah.
Selain penasaran ia juga ingin cepat-cepat bisa bimbingan belajar bareng Zia. Entah kenapa tapi Rey merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri Zia.
Selain itu, ia juga sudah lelah tiap hari kena omel sama maminya. Ada aja kelakuan Rey yang membuat maminya naik darah. Apalagi dengan nilai akademisnya. Bahkan mami Marinka sendiri heran, kenapa dulu anaknya bisa masuk ke kelas IPA.
"Eh Rey, lo nyariin Zia ya?", tanya salah satu temannya.
"Iya, lo emang tau dia kemana atau kenapa nggak masuk hari ini?"
"Kagak juga sih, hahhaa".
"Sialan lo Yo", balas Rey seraya memukul lengan temannya.
"Gue denger sih Rey, katanya Zia pergi ke Surabaya ke tempat pembantunya. Katanya juga sih pembantunya itu meninggal karena jadi salah satu korban yang ikut dalam bus Jakarta-Surabaya yang kecelakaan kemaren", ucap salah satu siswi teman sekelas Rey dan juga Zia.
"Serius lo, kasihan juga ya si Zia", pikir Rey.
"Kenapa kasihan Rey? Kan cuma pembantu ini", tanya Mita penasaran.
"Pembantu bukan sekedar pembantu, dia itu udah kayak pengganti emaknya Zia, soalnya lo tau sendiri kan orang tuanya itu sibuk banget. Jarang ada di rumah, jadi pasti Zia sedih banget tu pasti", sahut salah satu siswi lain.
"Tuh udah di jawab".
"Lo kok tau banget sama kehidupan Zia, gue aja nggak pernah diajak cerita soal kehidupan pribadinya", tanya Mita lagi penasaran.
"Ya kan supir yang kerja di rumah Zia itu si pak Jamal tetangga gue, nah istrinya sering tuh cerita-cerita sama nyokap", jawab siswi yang tadi menyahuti.
"Ooohj gitu", jawab Mita manggut-manggut sambil tercetak senyum smirk di bibirnya.
Sementara Rey yang memperhatikan Mita agak sedikit curiga dengan ekspresinya saat itu. Seperti ada sesuatu hal yang tidak beres. Entah mengapa dalam hatinya ia ingin sekali melindungi Zia.
......********......
Matahari telah berganti rembulan. Seusai para tetangga yang melaksanakan tadarus di rumah almarhumah bi Sum bubar, Zia ikut berpamitan kepada pak Usman untuk segera kembali ke Jakarta.
"Pak, saya sama pak Jamal mohon pamit ya. Saya nggak bisa lama-lama di sini karena juga harus sekolah. Tapi saya pasti akan sering-sering ke sini kok, saya juga tetap akan tepati janji saya tadi siang".
"Lhooh non, ini sudah malam. Apa nggak sebaiknya tunggu besok pagi aja?", pak Usman menanggapi Zia.
"Nggak pak, besok juga saya harus sekolah. Sebentar lagi ujian, saya pasti ketinggalan pelajaran kalo nggak masuk-masuk", ucap Zia.
"Ya sudah kalau begitu, non sama pak Jamal hati-hati ya. Semoga selamat sampai tujuan. Sampaikan maaf almarhumah pada tuan dan nyonya ya non".
"Iya pak pasti, bapak sekeluarga yang sabar dan ikhlas ya", ucap Zia sambil memeluk anak bungsu almarhumah bi Sum yang sedang sakit.
Selesai berpamitan, Zia masuk mobil diikuti dengan pak Jamal yang segera melajukan mobil menjauh dari kampung itu.
Suasana hati Zia sedang sangat berduka namun ia tak ingin berlarut. Hidupnya harus terus berjalan seperti nasihat almarhumah bi Sum dulu.
Zia teringat ketika ia sedang sangat bersedih karena kepergian neneknya dahulu saat ia masih SD. Bi Sum memberinya nasihat bahwa hidupnya harua terus berjalan. Nggak boleh larut dalam kesedihan.
Nasihat itu pulalah yang harus Zia terapkan saat ini dengan kepergian bi Sum, orang yang telah ada disaat-saat terpuruknya Zia.
......********......
Pejalanan jauh yang cukup melelahkan, ditambah lagi dengan hatinya yang rapuh membuat Zia tertidur di dalam mobil.
Beberapa jam kemudian, mobil yang membawanya telah memasuki kota Jakarta. Zia mulai terbangun dan merasakan sesak ketika membayangkan betapa sepinya ia berada di rumah tanpa bi Sum.
Berbagai ilusi tentang kenangannya bersama almarhumah dan juga canda tawa yang menghiasi hari-hari Zia. Ini bahkan beratnya dengan dulu saat kepergian neneknya. Meskipun bi Sum hanyalah orang lain dan bukan keluarganya, tapi sungguh Zia sangat berduka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments