Rasa lapar membuat Zia terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai dengan ritual mandinya, Zia berganti baju lalu bergegas turun karena perutnya sudah memberontak meminta diisi.
"Bi..kok aku nggak dibangunin sih, udah ketiduran sampek jam segini coba", rengek Zia pada bi Sum dengan manja.
"Ya mana bibi tega non, orang non Zia tidur enak banget", jawab bi Sum.
"Heemmm, kayaknya enak banget nih masakan bibi, jadi laper", ucap Zia sambil tersenyum lalu mengambil makanan.
"Ya udah, non makan yang banyak".
"Sini bibi temenin dong, masak aku makan sendiri, nggak enak tau", ajak Zia sambil menepuk kursi sebelahnya.
Bi Sum menurut saja karena memang sudah biasa mereka makan bersama. Zia tak pernah membedakan dirinya maupun bi Sum yang notabenya adalah asisten rumah tangga keluarganya. Baginya, Bi Sum adalah pengganti maminya yang sangat jarang pulang bahkan makan bersama.
Di sela-sela makan, Zia sempat melirik beberapa paper bag yang tergeletak di sofa depan tv. Dia sudah mengira bahwa barang itu adalah barang yang dibawa maminya, namun ia enggan untuk bertanya pada bibi. Bi Sum yang melihat perubahan raut wajah Zia pun lalu mengeluarkan suaranya.
"Tadi nyonya pulang non, bawain barang-barang itu buat non. Tapi nyonya langsung pergi lagi karena katanya harus berangkat ke Singapore. Tadinya bibi mau bangunin non, tapi nyonya melarang bibi, maafin bibi ya non".
"Bibi nggak salah kok, justru aku seneng karena bibi nggak bangunin aku jadi nggak tambah sedih aja bi", ucap Zia sambil tersenyum getir.
Bi Sum merasa sangat kasihan pada Zia, dia jarang sekali bertemu kedua orangtuanya. Bahkan hari libur pun seperti bukan hari libur bagi mami Viola dan papi Samuel.
Selesai makan malam, bi Sum segera membereskan bekas makannya. Zia hendak membantu namun bi Sum melarangnya, karena tahu jika nonanya ini sedang dalam bad mood. Bi Sum sendiri jadi ragu untuk bilang rencananya untuk pulang kampung melihat keadaan Zia.
Kriing
Kriing
Tiba-tiba ponsel bi Sum bunyi.
"Halo, ada apa pak?"
".."
"Apa??"
".."
"Iya iya, aku akan segera pulang".
Tuuuut, telepon dimatikan.
"Haaahh", helaan nafas cukup panjang terdengar dari mulut bi Sum
"Gimana ini, sepertinya keadaan non Zia sedang kurang baik. Tapi aku harus segera pulang," gumamnya lagi.
Bi Sum segera menyelesaikan mencuci piring, setelah itu ia harus segera menemui Zia untuk membicarakan rencana pulang kampungnya.
Tok tok tok
"Masuk".
Ceklek
"Bibi, masuk sini bik. Ada apa tumben bibi malem-malem ke kamar aku?", tanya Zia penasaran.
"Itu non..emm anu".
"Ih bibi anu anu apa sih, ngomong yang jelas dong".
"Eh iya non. Maaf sebelumnya, tapi bibi mau bilang kalo besok harus pulang kampung. Ada masalah di kampung sampai menyebabkan anak bibi sakit parah non. Sebenarnya bibi nggak tega ninggalin non sendirian tapi saya benar benar harus pulang non", jelas bi Sum.
"Ya ampun bi, aku kira ada apa. Kalo emang kayak gitu ya bibi pulang aja, aku nggak apa-apa kok".
"Tapi kalo bibi pulang, non di rumah sendirian jadinya".
"Nggak apa-apa kok bi, beneran. Emang rencana bibi di kampung berapa lama?", tanya Zia.
"Ya paling 2 minggu non, sampai nunggu anak bibi enakan".
"Iya bibi pulang aja, nggak akan ada apa-apa kok sama aku, tenang aja", hibur Zia.
"Baiklah, besok pagi bibi berangkat ya non. Ingat jaga kesehatan selama bibi pergi", ucap bibi sambil memeluk Zia yang tampak bekaca-kaca.
Meskipun mengizinkan bibi pulang kampung namun hati Zia benar-benar berat. Bukan apa-apa, tapi karena dia pasti akan sangat kesepian tanpa bibi. Bi Sumi udah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Zia. Dia sangat bersyukur dengan adanya bi Sumi, karena dia merasa masih ada orang yang peduli dan sayang padanya.
Malam beranjak naik. Namun rasa kantuk tak kunjung menemui Zia. Entah mengapa malam ini sulit sekali untuk tertidur. Biasanya meskipun tidur siang, Zia tak pernah kesulitan untuk tertidur kembali di malam hari. Perasaannya sangat resah. Sejak bi Sum mengatakan rencana pulang kampungnya itu ada rasa nggak rela di hati Zia.
"Ah mungkin cuma perasaan gue doang", pikir Zia, "tp kok perasaan bener-bener nggak enak sih, kenapa ya?", gumamnya lagi.
Pikiran Zia benar-benar nggak karuhan saat ini. Gelisah, nggak tenang, seperti ada sesuatu hal buruk yang akan terjadi esok. Saking nggak tenangnya, ia baru bisa terpejam ketika hari hampir subuh.
.........********.........
Kring
Kring
Kring
Suara alarm telah berbunyi dari beberapa menit yang lalu, namun sama sekali tak mampu mengusik tidur nyenyak Zia. Tidur lewat tengah malam bahkan hampir subuh membuat Zia sulit terbangun. Padahal hari ini dia berencana akan mengantar bi Sum dulu sebelum berangkat ke sekolah.
*Tok
Tok
Tok*
"Non..non Zia, ayo bangun. Udah pagi ini lo, nanti terlambat ke sekolahnya", teriak bi Sum namun tak ada sahutan apa-apa dari dalam.
Bi Sum akhirnya masuk. Tampak Zia masih menikmati tidur nyenyaknya, namum bi Sum tetap harus membangunkannya.
"Non, ayo bangun, ini udah pagi lo nanti terlambat ke sekolah", ucap bi Sum sambil menggoyang goyangkan tubuh Zia.
"Ntar lah bi sebentar lagi, masih ngantuk ini", tolak Zia sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Udah hampir setengah tujuh ini non".
"Haaa apa!!!" terian Zia sambil melompat dari tempat tidur langsung berlari ke kamar mandi.
Sementara bi Sum sendiri turun kembali untuk menyiapkan sarapan serta menyiapkan segala keperluan yang akan dibawa pulang kampung karena rencananya ia akan berangkat bersama Zia.
Zia akhirnya turun dengan tergesa-gesa karena hari sudah semakin siang. Kemungkinan ia tak kan bisa mengantar bi Sum dulu ke terminal. Kalau memaksa pun pasti ia akan sangat terlambat sampai ke sekolah.
"Ayo sarapan aja dulu non", tawar bi Sum.
"Tapi bi udah siang ini, kalo sarapan dulu ntar aku nggak sempet nganter bibi ke terminal".
"Kalo pun nggak sarapan juga pasti nggak sempat non, pasti non bakal telat sampek sekolah. Udah non nggak usah ikut nganter, ada pak Jamal kok yang bakal nganterin bibi ke terminal. Sambil nanti nganter non dulu ke sekolah".
"Lhah kok pak Jamal, bukannya ikut mami?".
"Nyonya kan ke luar negeri non, jadi pak Jamal nggak ikut. Semalam bibi juga minta ijin sama nyonya kalau mau pulang kampung, terus kata nyonya biar diantar aja sama pak Jamal, gitu non", jelas bi Sum.
"Oh ya udah deh, berarti aku nggak bisa nganter bibi dong".
"Ya nggak apa-apa non".
Akhirnya Zia dan bi Sum saraan bersama. Tak lama kemudian mereka segera berangkat agar tak telat. Bi Sum dan pak Jamal mengantar Zia ke sekolah terlebih dahulu sebelum ke terminal. Sesampai di sekolah Zia memeluk bi Sum sangat lama. Ada perasaan berat dan tak rela ketika bi Sum harus pulang kali ini. Sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
"Aaahhh kok perasaan gue nggak enak gini sih dengan kepulangan bibi kali ini", gumam Zia sambil menatap mobil yang akan mengantar bi Sum ke terminal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments