Musim dingin menuju ikatan, Winter dan Snow. Sepertinya takdir sudah digariskan untuk mereka berdua. Tidak ada sepatah katapun penolakan dari Winter sejak pertemuan keluarga yang terjadi sekitar sebulan lalu dengan keluarga Snow. Tanggal sudah ditentukan, semua urusan keperluan pernikahan juga sudah dipesan setelahnya.
Hari dimana keduanya berdiri diantara rangkaian bunga berwarna ungu muda yang berpadu dengan putih. Disaksikan lebih dari dua ratus orang, dan tidak lupa sepasang cincin yang melingkari jari keduanya. Momen itu sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Winter membawa Snow bersamanya untuk menuju kediaman Winter yang selama ini menjadi saksi bisu pria itu hidup seorang diri.
Bangunan berdesain modern, halamannya tidak terlalu luas, ada taman dengan sebuah kolam ikan yang diberi air mancur ditengah-tengahnya, lalu disisi kanan ada sepasang kursi kayu dan sebuah meja didalam gazebo berwarna putih bersih. Snow bahkan menahan senyuman saat bayangan tempat itu akan menjadi tempatnya bersama Winter menghabiskan secangkir teh pelepas penat kala sore hari dihari libur.
Sepasang kaki berbalut boots hitam setinggi lutut itu sudah menyentuh lantai rumah, berdiri dibelakang dan memperhatikan lekat punggung Winter yang sedang memutar kunci pada daun pintu, Snow merasa semuanya seperti mimpi.
Namun semua lamunannya buyar kala mendengar derit pintu terbuka. Aroma floral menyambut penghirup. Dan ya, Snow kagum akan selera Winter. Laki-laki itu punya selera yang tidak main-main. Kakinya terpaku, maniknya menerawang jauh isi rumah Winter yang minimalis dan sempurna itu.
“Mau sampai kapan kamu berdiri disitu?”
Suara berat Winter membuat Snow kembali di kuasai rasa kejut. Bahkan Snow sontak melangkahkan kakinya masuk, melewati bilah pintu kayu berukir sambil menarik koper miliknya, kemudian mengatupkan lagi daun pintu dengan tingkah lugu khas seorang gadis berusia 23 tahun.
Snow melihat sekeliling, mengagumi setiap detail didalam rumah, lebih tepatnya diruang tamu yang tidak begitu luas namun tetap mempesona bagi Snow. Pada detik lain, ekor matanya tertaut pada sosok Winter yang membanting tubuhnya diatas sofa, bersandar sembari melonggarkan dasi yang memang terlihat mencekik di leher kekarnya.
“Kau bisa memasak?!” tanya Winter tiba-tiba, yang disambut gelengan kepala oleh Snow yang terlihat di belit rasa kejut.
“Membersihkan rumah?”
Gelengan selanjutnya dari Snow menjadi jawaban, membuat Winter turut menggeleng heran dengan senyuman tajam diujung bibir.
“Mencuci baju?”
Lagi-lagi Snow menggeleng sebagai jawaban yang diberikannya untuk Winter. Sumpah demi apapun, Snow dibuat takut kala pria berstatus suaminya itu malah menatapnya tajam.
“Lalu apa yang bisa kau lakukan?”
“Aku—” Snow menarik nafas sejenak saat ucapannya terjeda, menimbang kembali apakah jawaban yang ia lontarkan akan sesuai dengan harapan Winter. “Aku...bisa menggambar!”
“Itu bukan hal yang aku perlukan!” sergah Winter cepat, lalu menaikkan satu kakinya keatas kaki lain. “Dan juga, itu bukanlah hal yang bisa kau banggakan dihadapanku!”
Snow meremat jemarinya, mengangguk kecil tanda mengerti sembari tertunduk sedih sebab ia merasa memang tak berguna. Winter bahkan berkata gamblang jika hal semacam itu memang tidaklah diperlukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Tapi tidak ada hal lain selain itu yang bisa ia lakukan, Snow adalah seorang ilustrator gambar yang bekerja kala mendapatkan comission dari beberapa penulis novel yang ia kenal melalui media sosial yang ia punya.
Winter menegakkan tubuh, menumpu tubuhnya dengan siku yang ia lipat di atas paha. “Itu bukan pekerjaan seorang istri, setauku!”
Snow mengangkat wajah, memperhatikan Winter dengan tatapan takut teramat sangat. Dia bahkan khawatir jika hari ini, hari pernikahannya, adalah hari yang sama Winter akan memutuskan ikatan pernikahan mereka. Snow takut sekali.
Winter berdiri, membuat Snow terperanjat dan tubuhnya seketika menegang. Langkah kaki Winter seolah membuat satu persatu nyali yang ia punya pupus, terbang entah kemana.
“Ayah dan ibu kita menginginkan cucu dari kita, tapi aku tidak.” bisik Winter tepat didepan wajah Ayu Snow White.
Dalam sekejap, semua harapan Indah yang sudah Snow rencanakan jauh-jauh hari sebelum menikah sirna. Winter tak memberikan cela sedikitpun untuknya masuk kedalam kehidupan pria tersebut.
“Dari ekspresi wajahmu, sepertinya kau kecewa padaku, benar?!” tutur Winter benar-benar tak memberi kesempatan bagi Snow untuk berfikir jernih.
“Kak—”
“Ah, benar! Panggil aku seperti itu saja!” ucap Winter tanpa memikirkan perasaan gadis dihadapannya yang masih menatap dengan pupil bergetar. “Perlu kau ingat!”
Snow menajamkan pendengaran, tidak ingin melewatkan barang satu kalimat pun yang akan ia dengar dari Winter. Wajah Winter mendekat, hingga Snow dapat merasakan sapuan hangat nafas mint menyapa wajahnya. “Kau itu bukan tipeku! Satu persenpun tidak! Meskipun ku akui kau memang cantik!”
Winter menyeringai Snow yang masih saja belum melepas pandangan yang ditujukan untuknya.
Bak menelan pekatnya kopi. Pahit, getir, dan mendadak membuat perut bergolak mual, Snow mengepalkan lengan yang tergantung di kedua sisi tubuh, menyaksikan Winter berbalik dan menjauhi dirinya.
Memalukan bukan? Snow pikir menerima perjodohan semacam ini akan baik-baik saja, dan dia dengan percaya diri meyakinkan dirinya sendiri bahwa Winter akan berubah, berbalik arah dan memberikan perasaan untuknya. Namun semua berbanding terbalik, jangankan masuk kedalam hidup pria tersebut, masih mengambil ancang-ancang saja sudah diberi peringatan sekeras itu. Winter menolaknya mentah-mentah.
“Tunggu!” panggil Snow setelah mengumpulkan semua sisa keberanian dan rasa percaya dirinya yang sudah pupus.
Winter menghentikan langkah, tidak berbalik, hanya benar-benar berhenti.
“Aku akan berusaha menjadi baik untuk kakak!”
Tanpa sepengetahuan Snow, Winter tersenyum remeh mendengar keinginan tulus dari seorang Snow White.
“Beri aku waktu!”
Tak bergeming, Winter tak memberikan tanggapan apapun, membuat suara Snow melemah dan bergetar. Dia bahkan sudah menyiapkan hatinya untuk kemungkinan terburuk setelah ini. Perpisahan.
“Tiga puluh hari!” lanjut Snow dengan airmata yang sudah jatuh membasahi dua sisi pipi yang kini sedikit bersemu merah. Dia benar-benar sedih. “Jika selama itu aku tidak bisa membuat kak Winter memberikan hati untukku,” Snow menjeda, mencoba menegarkan hati dan juga perasaannya yang sudah tercecer sebab hancur berkeping. “...kita akhiri!”
Suara bergetar itu mampu menarik atensi Winter yang sebelumnya acuh. Dia menoleh kesisi kanan, melihat bayangan Snow dari ekor matanya dengan perasaan yang tak terartikan. Bingung.
“Kita akhiri pernikahan ini tepat dihari ketiga puluh! Dan aku tidak akan menuntut apapun dari kakak, sebab aku memang tidak berhak atas apapun yang kakak miliki!”
Winter masih terpaku akan penuturan Snow yang kini terasa sedikit mengerikan. Winter kembali menatap lurus kedepan saat Snow kembali melanjutkan ucapannya.
“Bahkan hati kakak, aku tidak berhak sama sekali!”
Winter rasa dia salah memilih lawan kali ini, kedua telapak besarnya kini mengepal. Entah karena kecewa atau hanya sekedar kesal dengan ucapan Snow yang kali ini membuat hatinya terguncang hebat.
“Aku akan melepas kakak apapun yang terjadi! Dan tidak akan mengganggu hidup kakak lagi!”[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Riska Wulandari
latar belakang luar negeri yah ini???
umur Snow bukannya 20 ya d bab sebelumnya???
2023-05-03
1
Khoir ganteng. HIATUS
hm done like
2022-10-04
3
mbakmiss
baru dapet feel dibab ini...
2022-05-14
3