Di dalam mobil, selama perjalanan menuju ke sekolah, Bianca masih tetap setia memalingkan wajah seraya menatap keluar jendela. Wajahnya tertekuk. Bibirnya pun juga mengerucut jengkel. Tadi, ketika Jimmy menjemputnya, pria itu memandangnya dengan tatapan bersalah. Bianca juga tak membiarkan Jimmy membukakan pintu mobil untuknya, seperti yang sering pria itu lakukan.
“Nona—”
“Jangan mengajakku berbicara.” Potong Bianca tegas. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Sesekali, ia melirik kaca spion dalam dan mendapati Jimmy tengah memasang raut sedih.
Kupikir dia hanya memiliki satu ekspresi
“Jimmy.”
“Ya, Nona.” Jawab Jimmy cepat seraya menatap Bianca sekilas.
“Bukankah kita sudah membuat kesepakatan?” Bianca berujar dengan sedikit nada menyindir. Dan benar saja, Jimmy kembali menatapnya sedih.
“Maafkan aku.” Lirih Jimmy. Sungguh, ia merasa sangat bersalah.
Awalnya, Bianca memang merasa sedikit kesal dan kecewa karena Jimmy telah ingkar janji padanya. Namun ia juga yakin jika Jimmy tak punya pilihan lain selain memberitahu Alan. Dibanding dengan dirinya, Alan jauh lebih berharga untuk pria itu.
“Haruskah aku memaafkanmu?” Bianca bertanya dengan nada menggoda. Mendadak, mata biru Jimmy menatapnya antusias.
“Aku akan melakukan apapun.” Ujar Jimmy penuh semangat.
Bianca tertawa kecil. Hari ini, ia bisa melihat ekspresi lain di wajah Jimmy. Dan setelahnya, Bianca yakin jika semuanya akan kembali seperti semula—ia yang kembali mendapati wajah tanpa ekspresi pria itu.
“Kurasa, segelas milkshake cokelat cocok sebagai permintaan maaf.” Ucap Bianca seraya tersenyum lebar. Ia tak bisa marah berlama-lama pada Jimmy.
“Tentu saja.” Seru Jimmy sumringah. Hatinya langsung menjadi lega.
***
Setiap seminggu sekali, Bianca dan seluruh murid yang berada di sekolahnya diwajibkan untuk membawa bekal makanan sendiri. Alasannya, agar mereka tak bosan dengan makanan yang ada di kantin sekaligus mereka diajarkan untuk berhemat. Awalnya, banyak yang mengajukan protes dan mengatakan hal tersebut sangat kekanakan. Tapi akhirnya, mereka semua menyerah ketika kepala sekolah mengancam akan men-skors siapapun yang menolak.
“Kau tak membawa makanan?” tanya Lily seraya menatap Bianca. Kedua tangannya tengah sibuk membuka kotak bekal yang dia bawa.
“Aku tak sempat membuatnya.” Jawab Bianca singkat. Kini ia tengah sibuk bermain ponsel. Sejujurnya, ia lupa. Jika saja ia mengingatnya, ia pasti akan meminta tolong pada Sofie untuk membuatkannya makanan.
“Kita bisa berbagi.” Lily berucap lembut seraya menatap Bianca.
“Lily.” Bianca berujar sumringah sembari memeluk Lily sekilas. Merasa bersyukur karena tak harus belajar dengan kondisi perut lapar.
Hari ini, Lily membawa lima potong sandwich ayam, beberapa nugget keju serta potongan buah apel, anggur dan juga kiwi. Tak lupa sebotol jus sebagai pelengkapnya. Ia sengaja tak membawa air mineral karena memang tidak terlalu suka.
“Kau yang membuatnya?” tanya Bianca seraya memasukkan sepotong nugget keju ke dalam mulutnya.
“Tidak. Mom yang membuatkannya untukku.” Jawab Lily seraya tersenyum senang.
Bianca yang mendengarnya hanya mampu tersenyum sedih. Seandainya saja keadaan keluarganya sedikit jauh lebih baik, mungkin ia juga bisa membawa bekal yang dibuatkan oleh ibunya. Tapi sayang, kedua orang tuanya tak lebih dari sekadar pecandu judi yang dengan tega menjual anaknya sendiri.
“Kapan-kapan, apa aku boleh datang ke rumahmu?” Tanya Bianca ragu.
“Tentu saja. Mom pasti akan senang melihatmu.” Jawab Lily senang. Semenjak berteman, Bianca baru satu kali datang berkunjung ke rumahnya. Itu pun untuk menginap karena rentenir tempat kedua orang tuanya meminjam uang, sering datang untuk menemui dan mengancamnya.
Bianca tersenyum. Merasa bahagia karena Lily yang menjadi sahabatnya. Gadis itu tak pernah bertanya macam-macam padanya. Lily akan selalu menunggu sampai Bianca sendiri yang mau bercerita. Sebab Lily tahu jika Bianca, pasti membutuhkan tempat untuk bersandar.
***
Jimmy menepikan mobilnya di depan salah satu booth minuman dingin cepat saji yang pernah dilaluinya bersama Bianca ketika hendak menjemput Alan di kantornya. Dengan segera, ia melangkah keluar dari dalam mobil, meninggalkan Alan seorang diri yang menatapnya bingung.
“Mau ke mana dia?” Gumam Alan seraya mengikuti pergerakan Jimmy. Dan matanya membulat tak percaya ketika melihat pria itu berdiri untuk mengantri bersama beberapa wanita demi membeli minuman. Pemandangan yang belum pernah dilihatnya sama sekali.
“Aku baru tahu jika kau ternyata menyukai milkshake … cokelat.” Goda Alan seraya terkekeh geli ketika Jimmy baru saja masuk ke dalam mobil. Sementara Jimmy tak mengucapkan apapun.
“Hanya satu?” Alan kembali berujar ketika melihat Jimmy hanya membeli satu gelas minuman.
“Untuk nona Bianca.” Jawab Jimmy singkat. Tak lama, ia kembali melajukan mobil yang dikemudikannya menuju sekolah untuk menjemput Bianca.
Alan terdiam. Matanya kembali menatap Jimmy tak percaya. Ini kali pertama ia melihat Jimmy membelikan sesuatu untuk orang lain. Bahkan untuk dirinya sendiri—yang berstatus sebagai bos, tak pernah mendapatkan hadiah apapun dari pria itu.
Sejak kapan mereka menjadi dekat?
Seakan ingin menggoda Jimmy, Alan berusaha untuk mengambil minuman tersebut. Namun belum sempat ia menjangkaunya, Jimmy tanpa sadar menepis tangannya pelan.
“Wow! Jimmy.” Alan berucap kaget seraya menjauhkan tangannya. Selama ini, sejak ia menjadikan Jimmy sebagai tangan kanan sekaligus asistennya, pria itu tak pernah meminta hal apapun darinya. Atau mencampuri urusan pribadinya. Jimmy juga tak pernah memberikannya hadiah atau sekadar membelikannya minuman.
Pernah sekali, ia mengajak Jimmy ke hotel untuk menemui salah seorang teman wanitanya. Dengan sengaja, ia melepaskan baju yang wanita itu kenakan untuk melihat reaksi Jimmy. Namun anehnya, pria bermata biru itu tetap setia berdiri di dekat pintu. Seraya menatap datar. Lengkap dengan wajah tanpa ekspresinya.
Dan Alan, tahu betul penyebab dibalik itu semua.
“Sepertinya aku harus mencari supir baru untuk Bianca.” tukas Alan. Ia sengaja mengatakannya untuk melihat reaksi Jimmy. Dan benar saja, melalui kaca spion dalam mobil, pria itu menatapnya kaget.
“Tuan.” Jimmy berucap pelan—terkesan sedih.
“Aku hanya bercanda, Jimmy.”
Alan tersenyum. Semenjak kehadiran Bianca dihidupnya, Alan yakin, jika ia dan juga Jimmy sedikit demi sedikit mulai merasakan perubahan didalam kehidupan mereka.
Alan yang awalnya tak pernah acuh akan perkataan orang lain, mulai memasang telinga. Yang juga tak pernah peduli seberapa banyak ia berganti pasangan, mulai berusaha untuk setia dan menjadi sangat posesif. Bahkan Jimmy yang selama ini terkesan dingin dan tertutup, mulai membuka diri dan menunjukkan kepeduliannya.
Keputusannya untuk membeli Bianca tak sia-sia sama sekali.
Memikirkan Bianca, ia tak sabar ingin segera bertemu dengan wanita itu.
***
Bianca kembali menghela napas panjang ketika Rico terus mengajaknya berbicara. Sudah sedari tadi ia berdiri dan menunggu kedatangan Jimmy. Biasanya, lima menit sebelum bel pulang berbunyi, pria itu sudah menunggunya. Tapi sekarang, lima belas menit telah berlalu dan tanda-tanda kemunculannya juga tidak ada.
Ia tak masalah jika harus pulang menaiki bus. Tapi yang jadi masalah adalah, ketika Alan tahu dan menjadi murka.
“Bianca, aku bisa mengantarmu pulang.” Rico kembali membuka suara seraya menatap Bianca lekat.
“Jemputanku sebentar lagi datang.” Tolak Bianca halus. Disaat seperti ini, Lily justru meninggalkannya dan pulang lebih dulu karena ingin pergi membeli buku.
“Siapa? Pria bermata biru itu?” Ada nada tidak suka yang terselip di dalam ucapan Rico. Dan Bianca tahu betul alasannya.
“Apa dia sungguh kekasihmu?” Rico kembali berujar. Ia semakin menatap Bianca lekat.
“Yeah.” Jawab Bianca singkat.
Rico terdiam. Tapi Bianca tahu jika pria itu tengah menahan kekesalannya.
“Aku tetap tidak peduli. Lagipula, menurutku, pria sepertinya tak cocok untukmu.” Bianca sontak menatap Rico tak percaya ketika baru saja mendengar pria itu menyelesaikan ucapannya. Dilihat dari segi mana pun juga, gadis-gadis penggemarnya pasti akan lebih memilih Jimmy.
“Rico, kau tidak tahu apapun tentangnya.” Ucap Bianca kesal.
Rico yang tak terima, segera mencengkeram pergelangan tangan Bianca. Berniat untuk mengajaknya pulang bersama.
“Ayo, biar aku yang mengantarmu.” Ucap Rico. Tanpa memperhatikan sekitarnya, ia menarik tangan Bianca agar mau ikut melangkah bersamanya. Supir pribadinya sudah menunggu sedari tadi. Hari ini ia tak membawa kendaraan sendiri.
“Lepaskan aku.” Bianca kembali berusaha menarik tangannya. Apa yang Rico lakukan sekarang benar-benar sudah keluar batas.
Rico bergeming. Ia tak peduli akan rontaan Bianca. Ia merasa kesal ketika Bianca membela Jimmy di hadapannya.
“Jimmy!” Teriak Bianca ketika ia melihat mobil yang biasa Jimmy gunakan untuk mengantar dan menjemputnya baru saja tiba di depan gerbang sekolah. Dengan segera, ia menarik paksa tangannya lalu berlari menghampiri Jimmy.
Rico yang tak terima, sontak mengucapkan kalimat umpatan dengan suara lirih. Matanya menatap tajam mobil yang baru saja membawa Bianca pergi.
Brengsek!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Rosminah Mtp
heeeemmmm malas hadew
2021-05-27
0
Bebel``
dasar Rico bocah ingusan🤣🤣🤣
2020-05-04
16
Queen
apaan sih rico bocahh deuuh
2020-04-30
11