Bianca segera membuka matanya ketika alarm yang berasal dari ponselnya terus saja berbunyi. Sesekali, matanya mengerjap dan ketika ia menatap benda berbentuk persegi panjang tersebut, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Seingatnya, ia mengatur alarm pada pukul tujuh. Tapi karena tak ingin ambil pusing, Bianca berniat untuk melanjutkan tidurnya kembali sebelum lengan Alan menindih perutnya.
“Aku bukan bantal.” Cibir Bianca seraya mendorong lengan Alan agar segera beranjak dari atas tubuhnya. Setelah menatap wajah terlelap pria itu sejenak, Bianca segera menarik kembali selimut putih yang mereka berdua pakai untuk menutupi tubuh polosnya.
Dalam hening, Bianca kembali teringat akan kegiatan mereka semalam. Apalagi ketika membayangkan bagaimana Alan memperlakukannya. Sentuhannya yang lembut dan manis. Serta tatapan matanya yang memenjara.
“Hmm. “ Alan melenguh tertahan seraya meletakkan tangannya di atas perut Bianca. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak tadi ketika alarm di ponsel Bianca berbunyi dengan suara nyaring. Tapi ia tetap berpura-pura tidur. Sengaja ingin menggoda istrinya.
“Huh.” Bianca mendesah jengkel seraya kembali mendorong lengan Alan. Yang sialnya, justru semakin memeluknya erat.
“Hei!” Seolah sudah tak tahan, Bianca segera membalik tubuhnya untuk menatap Alan. Dan mendapati pria itu sudah menatapnya lekat.
“Morning kiss.” Dengan gerakan secepat kilat, Alan mendaratkan satu kecupan ringin di sudut bibir Bianca tanpa berniat sedikitpun untuk menyingkirkan tangannya dari atas tubuh wanita itu. Sementara Bianca hanya menatapnya dengan wajah datar.
“Singkirkan tangan—Alan!” Bianca memekik kaget ketika tangan Alan yang semula memeluknya dari luar selimut, kini telah bermain-main di atas perutnya dari dalam. Membuat beberapa gerakan aneh yang justru memberikan sensali geli pada dirinya.
Dengan cepat, Bianca segera beranjak dari atas tempat tidur dan berlari kecil menuju kamar mandi. Sadar jika ia harus sesegera mungkin melepaskan dirinya dari jerat pria berbahaya itu. Dan meninggalkan Alan seorang diri yang terkekeh geli melihat tingkahnya.
***
Sesampainya di sekolah, Bianca dibuat heran oleh teman-temannya yang tengah mengerubungi sesuatu. Seingatnya, hari ini tak ada perayaan apapun. Ujian kenaikan kelas juga baru akan dilaksanakan bulan depan.
“Bianca!” Lily yang baru saja berada di samping Bianca dengan segera menarik tangannya untuk melangkah menjauh. Membuat Bianca hanya bisa menatapnya heran.
“Lily, ada apa?” Bianca bertanya dengan kening berkerut. Yang justru dibalas Lily dengan sikap gelisah.
“Apa kau sudah melihat mading hari ini?”
“Lily, aku baru saja sampai.” Jawab Bianca seraya memutar kedua bola matanya.
“Itu–disitu tertulis jika kau dan Rico telah berpacaran.”
“Apa?!” Bianca memekik kaget dan langsung membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Ada beberapa pria yang menatapnya sedih. Dan selebihnya, para gadis-gadis pemuja pria tampan itu yang memberikannya tatapan membunuh.
Berpacaran dengan Rico? Jika mau, Bianca bisa melakukannya dari dulu. Tapi sejak awal, ia tak tertarik sedikitpun pada pria itu. Sekalipun Rico bersikap baik padanya, Bianca tak bisa mengabaikan begitu saja gosip buruk tentangnya. Dan juga, ia tak ingin memberikan kesempatan pada pria itu jika yang menjadi tujuan utamanya hanyalah untuk meniduri dirinya.
***
Sudah sedari tadi Rico menampakkan senyum malu-malu ketika temannya dari tim basket memberikan ucapan selamat ataupun menggoda dirinya. Hari ini, ketika baru saja sampai ke sekolah, ia secara tak sengaja menemukan potret dirinya dan juga Bianca yang tengah makan bersama di kantin waktu itu tertempel pada mading sekolah. Rico tak tahu siapa yang melakukannya. Tapi satu yang pasti, ia merasa senang dan berharap bisa benar-benar berpacaran dengan Bianca.
“Rico!” Panggil Bianca seraya berjalan menghampiri Rico yang tengah berada di lapangan basket. Menurutnya, pria itu memang tampan. Apalagi ketika memakai seragam basketnya. Namun sayang, Bianca tak tertarik sedikitpun.
“Kau mencariku?” Rico bertanya dengan mata berbinar. Sesekali, terdengar siulan dari temannya.
“Ikut aku.” Bianca berucap dengan nada tak bersahabat. Saat ini, ia tengah mengajak Rico menuju gedung belakang kantin yang memang selalu sepi. Walau tak jarang, ada beberapa pasangan yang datang hanya untuk bercumbu.
“Ada apa?” Rico bertanya dengan nada tak mengerti. Apalagi ketika Bianca mengajak dirinya ke tempat sepi. Jika saja mereka telah berpacaran, ia mungkin akan merasa senang. Yang artinya, mereka bisa berduaan ataupun bermesraan.
“Apa sebenarnya maksudmu?” Bianca bertanya seraya menatap Rico tajam. Sungguh, ia ingin menikmati waktunya di sekolah tanpa terlibat masalah apapun. Dengan siapapun.
“Aku tak mengerti.” Jawab Rico jujur.
“Foto di mading. Kau ‘kan yang melakukannya?” Bianca kembali bertanya dengan nada tak bersahabat. Apalagi sudah sedari tadi ia menahan kekesalannya.
“Bukan aku.”
“Lalu siapa lagi jika bukan kau?”
“Kau menuduhku?” Tanya Rico tak terima. Pertama, Bianca memanggil dirinya dan mengajaknya menuju gedung belakang kantin. Dan sekarang, gadis yang disukainya itu tiba-tiba bertanya padanya dengan nada menuduh.
“Sungguh, bukan aku yang melakukannya. Kuakui, aku memang menyukaimu, Bianca. Tapi aku tak mungkin melakukan hal seperti itu.” Ujar Rico lagi seraya menatap Bianca dengan raut sedih.
Bianca sadar jika ia tak punya bukti yang kuat untuk menuduh Rico. Apalagi ketika melihat raut bingung di wajahnya. Namun ia tak punya petunjuk apapun. Hanya nama Rico satu-satunya yang langsung terlintas dibenaknya.
“Lupakan saja.” Karena tak ingin memperpanjang masalah, Bianca akhirnya menyerah dan tak mau ambil pusing. Namun baru saja ia berniat melangkah, Rico sudah lebih dulu mencegatnya.
“Bukankah tak masalah? Maksudku—kita berdua sama-sama tak memiliki kekasih jadi mungkin saja—”
“Aku punya kekasih.” Sela Bianca cepat. Ia hanya tak ingin tinggal lebih lama bersama Rico.
Kekasih? Lebih tepatnya suami!
“Kau—apa?” Rico hanya bisa menatap Bianca tak percaya. Apalagi ketika mendengar kalimat yang baru saja lolos dari bibir gadis itu. Tanpa sadar, Rico menguatkan genggamannya pada tangan Bianca.
Tanpa menunggu lama, Bianca segera menghentakkan tangan Rico. Lalu berjalan menjauhi pria itu secepat yang ia bisa. Berlama-lama dengan Rico selalu membuat perasaannya tak enak.
Tanpa Bianca sadari, Rico menatapnya tajam. Raut wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas—lebih tepatnya, membentuk sebuah senyuman aneh. Yang sayangnya, hanya ia sendiri yang tahu maksudnya apa.
***
Sudah sedari tadi Bianca menunggu kedatangan Jimmy dengan gelisah. Apalagi ketika Lily meninggalkannya dan pulang lebih dulu karena tiba-tiba merasa tak enak badan. Telinganya juga sudah sedari tadi menangkap perkataan yang tak mengenakkan.
“Aku yakin dia hanya mempermainkan Rico,” ucap seorang gadis berkulit putih pucat dan berambut ikal.
“Rico tak pantas untuknya.” Timpal yang satunya lagi—gadis berkulit hitam dengan rambut lurus.
Bianca hanya bisa memutar bola mata—malas, ketika kembali mendengar kalimat-kalimat tersebut. Ayolah, ia tak tertarik sedikitpun pada Rico. Sudah ada Alan. Yang nyatanya, berkali-kali lipat lebih tampan dan lebih kaya dari Rico. Jika mau, mereka bisa memiliki Rico. Sepuasnya!
“Jimmy!” Bianca berujar penuh kegirangan ketika melihat Jimmy baru saja turun dari mobil. Lalu segera berlari untuk menghampirinya.
“Nona!” Jimmy berjengit kaget seraya menatap Bianca tak percaya ketika istri tuannya itu secara tiba-tiba memeluk lengannya erat.
“Jimmy, untuk kali ini saja tolong aku, okay?” Bianca berbisik pelan seraya memandang Jimmy dengan tatapan memohon. Yang mau tak mau, membuat pria bermata biru laut itu menganggukkan kepalanya.
“Thank you.” Ucap Bianca seraya tersenyum lebar. Sebenarnya, ia sengaja melakukannya hanya untuk membuktikan ucapannya pada Rico. Bianca tahu jika sedari tadi Rico mengawasinya dari belakang. Sekaligus, ia ingin menunjukkan pada semua teman-temannya atau murid di sekolahnya, jika ia punya pria yang lebih segalanya dari Rico.
Dengan cepat, Bianca masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Jimmy—bukan di kursi belakang seperti yang sering ia lakukan. Dan tanpa menunggu lama, mobil berwarna silver yang Jimmy kemudikan melaju dengan kecepatan sedang.
***
Bianca kembali menatap takjub gedung perusahaan yang ia kunjungi saat ini. Lebih tepatnya, milik Alan. Tadi, ketika masih berada di jalan, Jimmy memberitahunya jika mereka harus ke kantor untuk menjemput Alan. Awalnya, Bianca mengira jika mereka hanya akan menunggu di luar. Namun ternyata, Jimmy justru mengajaknya masuk, atas perintah dari pria arogan itu.
“Wow.” Bianca kembali berucap takjub. Demi apapun, gedung perusahaan pria itu jauh lebih besar dari gedung sekolahnya. Berkali-kali lipat. Semuanya terlihat indah dan mewah di matanya. Tentu saja, Alan tak mungkin membiarkan perusahaan miliknya terlihat seperti kandang hewan ternak dan menjadi bahan hinaan perusahaan yang lainnya.
“Nona Bianca.” Panggil Jimmy setelah sedari tadi menatap Bianca dalam diam. Jimmy tahu betul, sejak mereka memasuki gedung tersebut, puluhan pasang mata sudah menatap mereka penuh tanya. Apalagi ketika melihat Bianca yang masih mengenakan seragam sekolah.
Contohnya, tadi ada salah seorang karyawan pria yang hendak bertanya pada Jimmy, namun segera mengurungkan niatnya ketika ia memberikan tatapan mengancam. Dan lebih memilih berjalan pergi dengan wajah takut.
“Tuan.” Panggil Jimmy setelah ia baru saja memasuki ruangan Alan. Dan membuat Alan yang sedari tadi menatap berkas di hadapannya segera mengalihkan perhatian. Apalagi ketika iris hitamnya menangkap sosok Bianca.
“Kemarilah.” Ucap Alan seraya menjulurkan tangannya ke arah Bianca. Meminta wanita itu untuk segera berjalan menghampirinya.
Bianca sontak membulatkan kedua matanya ketika melihat sikap Alan. Ditambah, ia yang juga begitu kaget ketika baru saja memasuki ruang kerja Alan dan mendapati Cathy tengah duduk dengan gaya angkuh. Tak lupa mata hijau terangnya yang selalu manatap sinis padanya.
“Kau tak ingin memberikan ciuman semangat pada kekasihmu?” Tanya Alan ketika Bianca baru saja menghampirinya seraya menyambut uluran tangannya. Bibirnya menyeringai disaat Bianca menatapnya kesal. Tahu betul jika pria itu tengah mempermainkan dirinya.
Bianca menyerah. Dengan gerakan pelan, ia segera mendekatkan dirinya ke wajah Alan lalu mengecup bibir pria itu dengan sedikit lama. Sengaja ingin menunjukkannya pada Cathy. Dan Bianca yakin jika wanita itu tengah duduk kepanasan ketika melihatnya dan Alan berciuman.
“Temani aku.” Alan berbisik pelan seraya mendudukkan Bianca pada pangkuannya. Sebelah tangannya yang bebas ia lingkarkan pada pinggul wanitanya. Tak peduli sama sekali akan keberadaan Jimmy dan juga Cathy.
Tanpa mereka berdua sadari, Cathy tak henti-hentinya mengumpat tanpa suara. Matanya menunjukkan ketidaksukaan serta kebencian yang mendalam pada Bianca. Sementara Jimmy hanya berdiri dalam diam. Tanpa ekspresi. Seakan tak terpengaruh sama sekali atas apa yang dilakukan oleh Alan dan juga Bianca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Rosminah Mtp
kasihan kamu rico
2021-05-26
0
kiki
susah sih kalo sugar daddy mah😂😂
2021-05-26
0
Sholikhah bunda rachel
dasar alan gak punya perasaan ada yang jomblo kok pake cium ciuman 😂😂😂😂
2021-04-26
0