Pagi-pagi sekali, Alan sudah menerima telfon dari sekretarisnya—Lucy, untuk memberitahunya jika salah satu pemimpin perusahaan yang selama ini menjadi saingannya—berusaha menyainginya, mengajukan permohonan untuk bertemu. Awalnya, Alan menolak. Namun ketika mendengar Lucy menyebutkan nama orang tersebut, Alan secara tiba-tiba berubah pikiran dan meminta Lucy untuk membuat jadwal pertemuan di kantornya. Tepat pukul sembilan.
Alan melangkah santai memasuki kantor miliknya. Sesekali, kepalanya mengangguk ketika mendapatkan sapaan dari karyawan yang secara tak sengaja berpapasan dengannya. Diikuti oleh Jimmy yang melangkah dengan setia di belakangnya.
“Mr. Drax.” Lucy yang sedari tadi menunggu Alan dengan gelisah, akhirnya bisa bernapas lega ketika melihat kedatangan pria itu. Dan dengan cepat menghampiri ruangan Alan sebelum ucapan Jimmy menghentikannya.
“Biar aku saja.” Jimmy yang sedari tadi mengikuti Alan dalam diam, dengan gerakan sigap menghampiri ruangan tuannya lalu mendorong pintunya agar terbuka dengan sempurna. Sementara ia dengan sengaja tetap berada di luar. Atas perintah dari Alan.
“Datang juga.” Pria paruh bayah yang sedari tadi menunggu Alan, menyunggingkan senyum lega ketika melihat kehadiran pria itu. Bahkan tanpa ragu mendudukkan dirinya di atas sofa kulit berwarna hitam yang juga mengisi ruangan kerja Alan.
“Macet.” Alan berucap santai seraya melangkah menghampiri kulkas kecil yang juga terdapat di dalam ruang kerjanya. Lalu mengambil semangkuk kecil potongan-potongan es batu dari dalam sana. Setelah sebelumnya mengambil sebotol whiskey dari rak minuman beralkohol miliknya.
Dengan angkuh, Alan mendudukkan dirinya tak jauh dari pria paruh baya itu. Tangannya dengan cekatan membuka tutup botol whiskey tersebut lalu menumpahkannya ke dalam dua buah gelas kristal pendek berukuran sedang. Sebagai sentuhan terakhir, Alan menambahkan tiga potong es batu di dalamnya.
“Apakah ini balasanmu setelah membuatku menunggu?” Wilson Benjamin— pria paruh baya itu, terkekeh geli setelah menerima segelas whiskey yang Alan berikan untuknya. Bahkan dihari yang masih pagi pun Alan sudah memberikannya minuman berlakohol.
Sebenarnya, Wilson merasa sedikit kesal ketika Alan tak datang tepat waktu. Pasalnya, pria itu membuat janji bertemu pada pukul sembilan dan nyatanya, Alan baru tiba pada pukul sepuluh lewat lima belas menit. Dan Wilson tahu betul jika Alan dengan sengaja melakukannya.
“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu hari ini … Paman?” Alan sengaja mengucapkan kata terakhirnya dengan penuh penekanan. Seolah tahu maksud kedatangan Wilson.
“Ternyata kau masih cerdik seperti dulu, Alan.” Salah satu sudut bibir Wilson membentuk seringaian licik. Kini, mata abu-abu gelapnya menatap Alan lekat.
“Pertama, aku mendengar beberapa gosip tentangmu. Seperti biasa, menyangkut soal wanita.” Alan yang sedari tadi menatap Wilson datar, kini tersenyum lebar ketika mendengar ucapan pria itu. Selalu saja seperti ini. Setiap kali Wilson mengajaknya bertemu, pembahasan pria tua itu tak pernah jauh dari soal wanita.
“Paman tak usah cemas. Seperti biasa, aku tak pernah lupa memakai pengaman.” Jawab Alan santai. Kini ia tengah sibuk menikmati aroma whiskey dari dalam gelas yang dipegangnya.
“Jangan bodoh! Kau pikir pengaman bisa menjamin semuanya?” Wilson berucap dengan wajah memerah menahan marah. Apalagi ketika Alan menganggap semua yang dikatakannya sebagai sesuatu yang tak penting.
“Atau ... Paman hanya takut jika aku punya pewaris resmi?” Tubuh Wilson mendadak menegang ketika mendengar ucapan Alan, apalagi saat iris hitam legam pria itu menatapnya tajam. Bahkan di hadapan anak bodoh itupun dirinya tak berkutik. Sial!
“Kuharap kau tak merusak nama baik keluarga kita.”
“Keluarga siapa yang Paman maksud?” Alan berucap dengan nada dingin. Kini, raut wajahnya berubah menjadi serius. Membahas perihal keluarga adalah salah satu hal yang sangat ia benci.
“Bagaimanapun juga, aku ini tetap suami dari Jasmine, Bibimu.”
“Sayangnya, aku tak lagi merasa punya keluarga. Bahkan nama yang Paman sebut pun juga sudah lama mati.”
“Alan!”
“Wilson.” Desis Alan seraya menatap Wilson tajam. Ia juga tak peduli pada Wilson yang berjengit kaget akan ulahnya yang meletakkan gelas di atas meja secara kasar.
“Dengarkan aku baik-baik, sejak dulu, akulah yang secara resmi menjadi pewaris tunggal dari keluarga Drax. Kau memang suami dari Jasmine yang notabennya adalah adik satu-satunya dari ayahku. Tapi, sejak kalian menikah bahkan sampai bibiku meninggal, kalian tak memiliki satu orang anak. Yang artinya, akulah satu-satunya keturunan sah yang punya hak untuk memiliki semuanya.”
Wilson hanya mampu mengepalkan tangan seraya mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Semua yang dikatakan Alan benar. Ia memang tak dikaruniai anak dari hasil pernikahannya bersama jasmine. Tapi bagaimanapun, menurut Wilson, ia masih tetap merupakan salah satu bagian dari keluarga Drax. Yang artinya, ia juga punya hak atas semua warisan yang diberikan kepada Alan. Mewakili Jasmine yang telah tiada.
“Aku tetap menginginkan bagianku.” Ujar Wilson tak tahu malu.
“Bagian? Seharusnya ucapanku tadi sudah cukup untuk membuat Paman sadar dan juga malu."
“Aku tetap tidak peduli. Yang aku inginkan hanyalah kau memberikan beberapa bagian pad—”
“JIMMY!” Alan berteriak marah memanggil nama Jimmy dan membuat pria bermata biru laut itu dengan sigap memasuki ruangannya.
“Ya, Tuan.” Ucap Jimmy ketika ia telah berdiri tepat di sebelah Alan.
“Usir dia!” Seusai berucap, Alan segera melangkah menghampiri meja kerjanya. Setelah mendudukkan dirinya, ia segera memutar kursi tersebut menghadap keluar jendela. Seolah sengaja tak ingin menatap Wilson.
“Alan! Kau pikir Jasmine akan senang saat tahu kau memperlakukanku seperti ini?!” Wilson berteriak tak terima ketika Jimmy menyeretnya agar segera keluar dari ruangan Alan. Sesekali, bibirnya mengeluarkan kalimat makian. Yang sayangnya, dibalas tatapan membunuh oleh Jimmy yang tak terima ketika tuannya mendapatkan ucapan tak menyenangkan.
“Pergi dari sini sebelum aku membunuhmu!” Jimmy berucap dengan nada dingin. Mata biru lautnya tiba-tiba saja berubah menjadi gelap. Yang juga sukses membuat Wilson melangkah pergi dengan perasaan takut.
***
Bianca langsung bersorak senang ketika hari ini bisa pulang dengan cepat. Harapannya untuk pergi bermain sepertinya bisa terwujud. Sebab, Jimmy akan menjemputnya ketika pulang sekolah. Yang artinya, ia punya waktu dua jam untuk bersenang-senang bersama Lily.
“Lily, ayo.” Bianca berucap penuh semangat seraya menarik tangan Lily. Hari ini, mereka berdua akan pergi ke salah satu kafe yang baru buka untuk menikmati sepiring waffle cokelat. Lalu, setelahnya Bianca juga ingin mengajak Lily untuk pergi bermain.
“Kau yakin?” Lily bertanya dengan nada ragu.
“Tentu saja.”
“Bagaimana kalau Jimmy datang menjemputmu?”
“Aku tak peduli.” Bianca berucap santai seraya terus menarik tangan Lily. Tak ada pilihan lain baginya selain mengikuti keinginan Bianca. Bagaimanapun juga, Lily senang ketika akhirnya mereka bisa jalan berdua.
***
Setelah menyelesaikan beberapa berkas penting, Alan langsung meninggalkan kantor dan melajukan mobilnya menuju salah satu pusat perbelanjaan. Setelah membulatkan tekadnya, ia akhirnya memutuskan untuk membeli hadiah dan memberikannya pada Bianca sebagai permintaan maaf. Ia hanya tak ingin membuat wanita itu berlama-lama memusuhinya dan terus membuat suasana hatinya semakin memburuk.
“Jimmy.” Alan yang baru saja memasuki salah satu toko yang menjual tas branded, segera mengambil ponselnya yang terletak di dalam saku celana. Dan mendapati nama Jimmy tertera di layarnya.
“Ya, Jimmy.” Ucap Alan ketika baru saja menempelkan ponsel ke telinga.
“Tuan, Nona Bianca tak ada di sekolahnya.” Ujar Jimmy di seberang sana.
“Apa kau yakin?” Alan bertanya dengan nada ragu. Ia yakin jika setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Bianca tak akan mungkin berani lagi membuatnya marah.
“Petugas sekolah memberitahuku jika seluruh murid dipulangkan sejak dua jam yang lalu.”
“Apa?!” Alan tanpa sadar berteriak tak percaya. Sehingga membuat beberapa pengunjung yang berada di dalam toko tersebut menatapnya aneh. Bukan— lebih tepatnya, menatap dirinya dengan pandangan lapar. Sebab, didominasi oleh kaum wanita.
“Wanita itu benar-ben—Jimmy, pulang lah. Biar aku yang mencarinya.” Alan memutuskan secara sepihak sambungan telfonnya dengan Jimmy. Bahkan sebelum pria itU sempat membalas ucapannya. Tadi, ketika tengah sibuk menatap sekitar, iris hitamnya secara tak sengaja menangkap siluet tubuh Bianca. Dan benar saja, ketika ia memusatkan perhatiannya, wanita yang berstatus sebagai istrinya itu terlihat tengah memasuki salah satu area bermain bersama temannya.
***
“Lily, ayo.” Bianca kembali menarik tangan Lily agar mau ikut bermain bersamanya. Kali ini, pilihan Bianca jatuh pada pemainan zombie. Yang sudah pasti, ditolak tanpa ragu oleh Lily.
“Uhmm … kau saja. Aku lelah.” Lily berucap dengan nada lelah yang dibuat-buat. Sementara Bianca membalasnya dengan mencebikkan bibir. Jujur saja, hari ini, ia merasa benar-benar bahagia.
“Mau kutemani?”
“Tidak, terima kas—Alan!” Bianca memekik kaget ketika mendapati Alan berdiri di sebelahnya. Apalagi ketika pria itu menatapnya tajam.
“Kita pulang.” Ucap Alan seraya memegang tangan Bianca. Memaksa wanita itu agar ikut pulang bersamanya.
“Lepaskan. Aku masih ing—”
“Bianca Rosaline.” Bianca tertegun ketika mendengar Alan memanggil namanya dengan suara lirih. Tahu betul jika saat ini, pria itu tak menerima kata penolakan.
“Tapi temanku—”
“Dia bisa pulang sendiri.” Alan dengan cepat menyela ucapan Bianca. Sementara Bianca hanya mampu melambai-lambai pada Lily yang menatapnya khawatir. Dengan cepat, Bianca mengirimkan pesan singkat pada Lily seraya meminta maaf karena meninggalkannya seorang diri.
***
Sesampainya di rumah, Bianca membuka pintu secara kasar sehingga menimbulkkan bunyi dentuman. Beruntung seluruh pelayan telah pulang. Selama tinggal di rumah Alan, Bianca hanya mendapati lima orang pegawai. Tapi karena dia tak peduli, Bianca tak pernah mau merepotkan dirinya untuk bertanya pada Alan.
“Sepertinya hukumanku kemarin belum cukup.” Setelah mengunci pintu, Alan segera berjalan menghampiri Bianca yang menatapnya jengkel.
“Kau bisa menghukumku sekarang kalau kau mau.” Bianca berucap tanpa rasa takut. Sungguh, ia sudah tak peduli lagi atas semua yang akan Alan lakukan padanya. Termasuk pada tubuhnya.
“Aku hanya pergi bermain sebentar. Dan kau–dan kau merusak sem—”
“Apa menurutmu dua jam waktu yang sebentar?” Alan berucap sinis. Dengan santai, ia melangkah menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral. Dan menandaskan setengah isinya dalam satu kali tegukan.
“Brengsek!” Umpat Bianca seraya melangkah menaiki tangga. Diikuti oleh Alan.
“Kali ini, aku akan membiarkanmu. Tapi setelahnya, aku tak akan segan-segan.” Ada nada ancaman dalam ucapan Alan barusan. Dan Bianca sadar jika pria itu tak sedang main-main.
“Setelah mandi, temui aku di ruangan kerjaku.” Ucap Alan lalu melangkah menuju lantai tiga. Tempat di mana ruang kerja pribadinya berada.
***
Malam ini, Bianca terlihat begitu cantik dengan mengenakan nightgown berbahan satin berwarna pastel. Rambut hitam bergelombangnya sengaja ia ikat dengan model cepol berantakan.
“Ada apa?” Bianca bertanya dengan nada tak bersahabat ketika baru saja memasuki ruangan Alan. Tak sulit baginya, sebab, ketika baru saja menginjakkan kakinya di lantai tiga, ia sudah disambut oleh pintu ruang kerja Alan yang terbuka.
“Kemarilah.” Alan memberi isyarat pada Bianca agar melangkah mendekat padanya. Tubuh tegapnya tertutupi oleh bathrobes berwarna abu-abu muda.
Dengan ragu, Bianca menghampiri Alan yang tengah duduk di atas kursi putar kerja miliknya. Di hadapan pria itu sudah tersedia sebotol white wine lengkap dengan sebuah gelas.
“Alan!” Bianca berjengit kaget ketika Alan secara tiba-tiba menarik tangannya dan membuat dirinya berada di atas pangkuan pria itu. Bahkan belum sempat ia melayangkan protes, kedua lengan kekar Alan sudah melingkar sempurna di perutnya.
Mereka berdua sama-sama terdiam. Lebih tepatnya, Bianca tak tahu harus bereaksi seperti apa ketika Alan tiba-tiba bersikap aneh. Saat ini, pria itu lebih terlihat seperti seorang anak kecil.
“Bianca.” Bisik Alan seraya mengecup tengkuk istrinya.
“Hei.” Bianca sontak memutar sedikit tubuhnya agar bisa menatap Alan. Dan sialnya, ketika ia baru saja berbalik, mata Alan sudah lebih dulu menguncinya.
Bianca hanya mampu terdiam dengan mata membulat ketika Alan mendaratkan satu kecupan yang begitu lembut pada bibirnya. Bianca tahu jika ia tak boleh lagi terjebak oleh buaian Alan. Apalagi setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika pria itu memaksa dirinya tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Alan, stop! Aku tak—” Alan kembali membungkam bibir Bianca ketika mendengar ucapan protes wanita itu.
Bianca menyerah dan pasarah. Ketika sudah berada didalam kendali Alan, ia tak pernah punya cara untuk melepaskan diri. Alan selalu sukses mengunci dan memenjara dirinya. Memberikannya kenikmatan yang tak pernah mampu untuk ia tolak.
Malam ini, Bianca kembali membiarkan dirinya berada di bawah kendali Alan. Namun bedanya, perlakuan Alan saat ini terasa begitu lembut, manis dan juga memabukkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Samsul Hidayati
alan sdh jatuh hati sama Blanca itu tunggu bucin akunx
2023-01-14
0
Rosminah Mtp
aduh kalau tiap hari di kasih hukuman yang mengenakan aku sih maulh 🤭🤭
2021-05-26
0
Sholikhah bunda rachel
haduhh thoor ikut meleleh aku thoor😂😂😂😂
2021-04-26
0