Pagi ini, ketika baru saja membuka mata, hal pertama yang didapatkan Bianca adalah rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Terutama pada bagian sensitifnya. Dengan gerakan pelan, ia berbalik ke kiri dan langsung disuguhkan oleh wajah terlelap Alan. Sekarang Bianca ingat akan kejadian semalam. Apalagi ketika Alan tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Bianca tak tahu bagaimana bisa ia tertidur dengan lelap, yang ia ingat hanyalah ketika dirinya terus memohon pada Alan agar pria itu mau melepaskannya karena tubuhnya tak lagi mampu untuk mengikuti permainan pria itu. Tapi Alan tak peduli, pria itu tanpa belas kasih terus memenjara tubuhnya. Seolah tak ingin melepaskan kenikmatan yang dirasakannya.
“Ugh!” Satu desahan kesakitan lolos dari bibir Bianca. Awalnya, ia berniat untuk bangkit dari atas tempat tidur lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Namun, bergerak sedikit saja tubuhnya sudah diliputi oleh rasa sakit yang luar biasa.
“Ya Tuhan.” Sekali lagi Bianca berusaha untuk bangkit seraya memegang pada dinding. Dengan harapan usahanya membuahkan hasil. Tapi, baru saja ia berjalan beberapa langkah, Bianca merasakan sesuatu yang basah pada pahanya.
“Brengsek!” Bianca mengumpat jengkel seraya mengeluarkan beberapa kata makian. Kali ini, ia hanya mampu menatap cairan putih pada tangannya dengan pandangan takut. Dan baru menyadari jika Alan tak memakai pengaman sama sekali.
“Sengaja ingin menggodaku?” Bianca segera berbalik dan mendapati Alan tengah menatapnya dengan posisi miring seraya menggunakan sebelah tangannya sebagai tumpuan.
“Pria gila!” Bianca dengan cepat berlari menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar Alan. Tak peduli sekalipun jika tubuhnya tak terbungkus sehelai kain. Lagipula, semalam Alan sudah meilhat semuanya. Jadi untuk apalagi.
Di dalam kamar mandi, Bianca tak henti-hentinya mengeluarkan sumpah serapah yang ditujukan untuk Alan. Sekaligus merutuki perbuatan pria itu padanya. Apalagi ketika membayangkan sudah berapa banyak cairan Alan yang keluar di dalam tubuhnya.
***
Alan yang tengah sibuk menikmati sepiring roti isi daging miliknya bersama segelas espresso hangat segera melirik sekilas pada Bianca yang melangkah menuruni tangga. Bianca mengenakan baju kaos lengan panjang berwarna putih dengan motif garis hitam. Lengkap dengan celana jeans ketat selutut.
“Alan.” Bianca segera menghampiri Alan yang tengah santai menikmati sarapannya sembari sesekali menatap layar ponselnya.
“Kau lapar?” Tanya Alan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
“Aku–aku ingin kita bicara.” Kali ini ucapan Bianca sukses mengalihkan perhatian Alan dan membuat pria itu menatapnya lekat. Lengkap dengan wajah datarnya.
“Apa? Perihal semalam?” Ucap Alan seraya menyeringai kecil. Sengaja ingin menggoda Bianca.
“Aku tak ingin hamil.” Bianca tak mengacuhkan ucapan Alan dan dengan segera mengutarakan hal yang sedari tadi menjadi ketakutannya.
“Kenapa? Bukankah itu hal yang bagus jika kau mengandung anakku?” Tanya Alan santai. Seolah tak ingin ambil pusing.
“Jangan bodoh! Aku ini masih berstatus sebagai pelajar.”
“Lalu?”
“Alan!” Teriak Bianca jengkel. Apalagi ketika melihat sikap pria itu yang tak peduli sama sekali.
Setelah menandaskan tegukan terakhir espresso miliknya, Alan segera menghampiri Bianca. Berdiri tepat di hadapannya dengan hanya menyisakan jarak sejengkal.
“Lalu kau ingin apa, hm? Mengulang kejadian semalam?” Bianca segera menepis secara kasar tangan Alan yang tengah membelai surai hitam panjang bergelombangnya. Dan beralih menatapnya tajam.
“Seharusnya kau sudah tahu jika aku ini masih butuh untuk bersekolah. Dan kau pikir jika aku hamil, aku masih bisa melakukannya?”
“Kau bisa mengikuti home schooling.”
“Kurasa kau benar-benar sudah gila! Aku membutuhkan sekolahku. Teman-temanku. Dan kau ingin menghancurkan semuanya?” Bianca tak mampu lagi menahan amarahnya. Apalagi ketika tahu jika Alan tak peduli akan apa yang dirasakannya.
“Kupikir kau tak lupa jika aku ini sudah membelimu.” Bianca merasakan hatinya berdenyut sakit ketika mendengar perkataan Alan barusan. Pria itu memang benar. Alan sudah membelinya. Dan menjadi pemilik sah akan dirinya. Tapi bukan berarti ia tak punya hak atas dirinya sendiri. Dan Bianca merasa ia punya hak untuk bersenang-senang.
“Sampai kapanpun, aku tak akan pernah lupa jika kau memang telah membeliku. Dan aku merasa sedikit bersyukur karena kau sudah mengeluarkanku dari kehidupan pecandu judi tersebut.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Alan, aku ingin bersenang-senang. Menikmati waktuku bersama teman-temanku. Aku juga ingin bebas.”
“Bebas? Sejak kau menyandang status sebagai Nyonya Drax, maka sejak itu pula hidupmu berada di dalam kendaliku.” Alan berucap dengan nada dingin. Mata hitamnya menatap Bianca tajam. Dan Bianca sadar jika ia telah membuat pria itu marah.
Bianca tahu jika Alan adalah tipe lelaki yang tak pernah bisa dibantah. Setiap kata atau kalimat yang terlontar dari bibir pria itu merupakan titah yang tak menerima kata penolakan. Tapi Bianca tak ingin menyerah, ia tetap ingin memperjuangkan apa yang menjadi miliknya. Sekalipun harus menerima perlakuan tak menyenangkan dari pria itu.
“Tap—” Alan dengan cepat membungkam bibir Bianca sebelum gadis itu sempat menyelesaikan ucapannya. Menyesapnya kuat sebelum melepaskannya.
“Ingat ini baik-baik, aku akan tetap mengizinkanmu sampai kau lulus. Satu tahun bukan waktu yang lama untukku. Dan setelahnya, kau hanya perlu tinggal di rumah untuk melayaniku.”
“APA?!” Bianca tak mampu menahan teriakannya ketika mendengar ucapan Alan. Pria itu menginzinkannya menyelesaikan pendidikan dibangku sekolah menengah atas dan tak memperbolehkannya untuk melanjutkan kuliah. Padahal impian terbesar Bianca adalah memasuki jurusan desaigner. Itupun kalau bisa.
“Jimmy!” Alan segera berteriak memanggil nama salah satu pegawai sekaligus yang menjadi tangan kanannya selama lima tahun terakhir.
“Ya Tuan.” Seorang pria yang tingginya hampir menyamai tinggi alan mendadak muncul dari arah luar. Kulit putih pucatnya berpadu dengan bola matanya yang berwarna biru laut. Lengkap dengan setelah jas berwarna hitam. Layaknya seorang bodyguard.
“Mulai hari ini, awasi setiap pergerakan istriku. Kau yang bertugas untuk mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Pastikan dia pulang tepat waktu di rumah. Terlambat satu detik, segera kabari aku. Atau kau yang akan menerima akibatnya.”
“Baik Tuan.” Jimmy mengangguk mengerti lalu beralih menatap Bianca yang hanya mampu berdiri dalam diam dengan mata membulat tak percaya. Setelah menunduk sekilas sebagai sebuah salam hormat pada Bianca, Jimmy segera melangkah keluar setelah mendapatkan isyarat dari Alan.
“Kau dengar itu? Aku sudah memenuhi permintaanmu.” Ucap Alan seraya menatap Bianca. Yang sayangnya dibalas wanita itu dengan wajah memerah menahan marah.
“Kau gila! Benar-benar gila!” Bianca kembali berteriak tak terima seraya menatap tajam Alan. Yang sialnya justru tak menimbulkan efek apapun pada pria itu.
“Jika tak ada lagi, aku pergi dulu.” Sebelum melangkah pergi meninggalkan Bianca, Alan segera memberikan kecupan singkat pada leher wanitanya. Dengan sengaja meninggalkan jejak basah disana.
“Brengsek!” Teriak Bianca yang sayangnya hanya dibalas lambaian tangan oleh Alan.
***
Malam semakin larut dan Alan masih sibuk berkutat dengan setumpuk berkas di hadapannya. Ditemani dengan Jimmy yang sedari tadi dengan setia berada di sisinya.
“Jimmy, kau bisa pulang jika kau mau.”
“Tidak, Tuan. Biarkan saya menemani Anda.” Alan hanya bisa mendesah kasar setelah mendengarkan ucapan Jimmy. Sejak awal, pria itu memang terkesan kaku. Bahkan setelah lima tahun bekerja dengannya, Jimmy tak menunjukkan tanda-tanda perubahan.
“Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Besok, pagi-pagi sekali, kau harus mengantar Bianca ke sekolah. Dan aku tak ingin terjadi apa-apa di jalan hanya karena kau kurang tidur.” Dengan enggan, Jimmy mengangguk mengerti lalu melangkah pergi meninggalkan Alan seorang diri. Sejujurnya, Alan merasa senang ketika Jimmy mau menemaninya. Tapi, ia juga tak bisa bergerak dengan bebas ketika pria itu terus mengawasinya. Dalam urusan pekerjaan, Jimmy terbilang sangat totalitas dan juga tegas. Dan tak jarang, Alan dibuat tak berkutik karenanya.
“Aku butuh hiburan.” Dengan segera, Alan menyambar kunci mobilnya yang tergeletak secara sembarangan di atas meja. Dengan santai, ia melangkah meninggalkan pekerjaannya yang masih menumpuk. Malam ini, ia ingin bersenang-senang.
***
Dentuman musik yang memekakkan telinga. Lampu warna-warni yang memenuhi ruangan gelap tersebut adalah hal yang pertama kali menyambut Alan. Bahkan, ketika ia baru saja melangkah masuk, seorang wanita berpakaian mini sudah menyambutnya dengan ekspresi menggoda.
Alan menggeleng sebagai tanda penolakan. Ia memang tak bisa menutupi naluri lelakinya dan kenyataan jika ia telah meniduri banyak wanita. Tapi, ia juga punya prinsip untuk tak akan meniduri orang yang sama. Selama ini, Alan selalu memastikan jika wanita-wanita yang ditidurinya adalah wanita yang berkelas. Punya jabatan serta kedudukan yang tak memalukan. Bukan karena Alan membutuhkannya, tapi karena statusnya sebagai pengusaha dan pewaris satu-satunya yang membuatnya tak boleh bertindak gegabah. Untuk itu jugalah ia merahasiakan pernikahannya dengan Bianca.
Namun, karena telah memiliki istri. Maka untuk kali ini, Alan mencoba untuk setia. Setidaknya pada satu orang yang sama.
“Kau datang?” Seorang wanita berparas oriental menyambut kedatangan Alan seraya bergelayut manja pada lengan pria itu.
“Seperti biasa.” Setelah mengucapkan pesanannya pada pelayan yang datang menghampiri, Alan segera beralih menatap sang wanita—Kim. Jika saja ia belum memiliki istri, Alan tanpa ragu akan menyeret Kim untuk naik ke atas ranjang dan meniduri wanita itu sampai puas. Apalagi status Kim sebagai seorang model terkenal membuatnya tak perlu berpikir panjang.
“Mau kutemani?” Kim dengan sengaja berucap dengan nada mendesah. Berniat untuk menggoda Alan. Namun sayang, pria itu tak menunjukkan reaksi apapun.
“Aku sedang lelah.” Alan berucap tanpa minat seraya menyesap vodka miliknya penuh kenikmatan. Setidaknya, rasa lelahnya sedikit berkurang.
“Kau yakin?” Kali ini, Kim dengan sengaja duduk di atas pangkuan Alan. Kedua lengannya bergelayut pada leher pria itu. Bahkan dengan sengaja menempelkan kedua dadanya pada tubuh Alan.
“Aku pergi dulu.” Setelah menandaskan segelas vodka miliknya, Alan segera berjalan pergi meninggalkan Kim seraya meletakkan enam lembar pecahan uang sepuluh dolar di atas meja. Saat ini, yang Alan butuhkan hanyalah istrinya—Bianca. Bahkan hanya dengan memikirkan wanita itu saja, salah satu tubuhnya sudah menunjukkan rekasi yang luar biasa. Malam ini, ia ingin kembali memiliki wanita itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Samsul Hidayati
keren Alan setia setelah menikah
2023-01-14
0
Samsul Hidayati
sy suka lelaki seperti Alan waktu muda gonta ganti setelah menikah jd setia
2023-01-14
0
Fajriyah Nurul
kayaknya mlh Bianca yang suka mengumpat dan marah marah😁
2021-08-08
0