Bianca yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai satu rumah Alan, sontak mengernyitkan dahi ketika melihat seorang pelayan wanita berusia sekitar empat puluh tahun berdiri tak jauh darinya. Biasanya, ketika akan berangkat ke sekolah, sarapan sudah tersaji lebih dulu di atas meja makan. Dan setelahnya, ia tak melihat siapupun. Kecuali pekerja yang senantiasa membersihkan halaman atau taman rumah Alan.
“Nyonya muda.” Bianca tersenyum kikuk ketika mendengar panggilan wanita paruh baya itu padanya. Dengan gerakan pelan, ia mendudukkan dirinya di kursi.
“Dimana Alan?” Bianca bertanya seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang bisa ia jangkau. Tapi nihil, ia tak menemukan keberadaan pria itu. Padahal setiap kali bangun tidur untuk berangkat ke sekolah, pria itu selalu berada di sisinya.
“Tuan—”
“Hari ini tuan sedang ada rapat penting.” Jimmy yang baru saja masuk segera memotong ucapan Sofie—pelayan itu. Dengan anggukan pelan, Jimmy segera memberi isyarat pada Sofie agar melangkah mendekati Bianca.
“Nyonya muda ingin sarapan apa?” Sofie kembali bertanya dengan nada sopan. Hal yang sudah jelas membuat Bianca merasa tak nyaman. Apalagi mengingat dirinya yang lebih muda.
“Tolong buatkan aku segelas susu cokelat hangat dan sepotong roti bakar keju.” Ucap Bianca yang dibalas Sofie dengan senyuman hangat.
“Jimmy, kau ingin sarapan apa?” Tanya Bianca seraya menatap Jimmy yang berdiri di sebelahnya. Wajah pria bermata biru itu menunjukkan reaksi kaget.
“Tidak, Nona. Saya bisa sarapan nan—”
“Oh, ayolah. Aku tak ingin sarapan seorang diri.” Bianca dengan sengaja menatap Jimmy dengan wajah sedih. Berharap, hati pria itu luluh ketika melihatnya. Dan benar saja, Jimmy menganggukkan kepalanya—walaupun terasa sedikit enggan.
“Sofie, tolong buatkan untuk Jimmy juga.” Ujar Bianca senang.
“Baik, Nyonya.” Balas Sofie dan dengan segera melangkah menuju dapur untuk membuat sarapan.
Sepeninggal Sofie, Bianca sontak menatap lekat pada Jimmy yang duduk berhadapan dengannya. Pagi ini, Jimmy memakai kemeja hitam yang lengannya ia gulung sampai siku. Juga celana kain berwarna sama. Sekalipun hari biasanya pria itu kerap kali memakai setelan jas serba hitam, tapi Bianca merasa jika hari ini ada yang aneh. Yang sayangnya ia tak tahu apa.
“Apa Alan sering berangkat sepagi ini?” Tanya Bianca guna memecah keheningan di antara mereka berdua.
“Ya.” Jawab Jimmy singkat. Dan Bianca merasa sudah sedikit terbiasa.
“Setiap hari?” Bianca kembali bertanya dan berharap jika Jimmy memberikannya jawaban yang sedikit memuaskan.
“Tidak.” Jimmy kembali menjawab singkat.
Bianca menyerah. Apapun pertanyaan yang ia ajukan pada Jimmy, pria itu akan tetap menjawab dengan singkat seperti biasa. Padahal ia hanya ingin tahu alasan Alan berangkat kerja dihari yang masih sangat pagi. Walaupun Bianca tak tahu persis pukul berapa pria itu meninggalkan rumah. Tapi satu hal yang pasti, ketika ia terbangun sebentar pada jam enam, pria itu sudah tak ada.
“Terima kasih, Sofie.” Bianca berujar senang ketika Sofie baru saja meletakkan sarapan di hadapannya dan juga Jimmy. Dalam hening, mereka berdua makan bersama. Dan Bianca merasa sedikit aneh—lebih tepatnya tak bersemangat ketika Alan tak bersama dengan mereka saat ini.
***
Bianca yang baru saja tiba di sekolah dikejutkan dengan kedatangan siswa dari sekolah lain. Juga beberapa mobil yang tak pernah ia lihat terparkir di halaman sekolahnya. Dengan segera, ia berlari menuju kelasnya dan ketika sampai di sana, ia hanya menemukan Lily yang tengah duduk santai seraya membaca sebuah novel misteri.
“Lily!” Lily yang tengah fokus membaca, tersentak kaget ketika mendengar suara Bianca. Novel yang ia pegang pun terlepas dari tangannya.
“Kau membuatku kaget.” Ucap Lily seraya menghela napas lega.
“Lily, apa sekolah kita sedang merayakan sesuatu?” Tanya Bianca seraya mendudukkan dirinya di sebelah Lily.
“Sekolah kita melakukan latihan gabungan basket dengan Winter High School.” Bianca hanya mengangguk mengerti seraya membuat bibirnya membentuk huruf “o” tanpa suara.
“Berarti kita bisa pulang lebih awal?”
“Semua siswa diwajibkan untuk datang menonton.” Bianca sontak menekuk wajahnya setelah mendengar ucapan Lily. Padahal ia berharap bisa pulang lebih cepat dan melanjutkan tidurnya. Ditambah, Bianca juga sedang malas untuk bertemu dengan Rico.
“Ayo.” Lily segera menarik paksa tangan Bianca agar melangkah mengikutinya menuju lapangan basket. Ia memang dengan sengaja tak pergi lebih awal untuk menunggu Bianca. Lily bisa saja mengirimkan pesan singkat pada sahabatnya itu. Tapi sayang, ia adalah tipe gadis yang malas memegang gadget—kecuali diwaktu tertentu. Dan juga, ia bisa melanjutkan membaca novel sembari menunggu kedatangan sahabatnya itu.
***
Lapangan basket yang biasanya tak terlalu ramai, mendadak riuh dengan berbagai macam sorakan. Di sekolahnya, tim basket memang memiliki dua lapangan—satu lapangan yang terletak di luar dan satu lagi lapangan indoor. Yang hanya digunakan ketika ada pertandingan ataupun latihan gabungan seperti sekarang ini.
Di tengah keramaian, Bianca bisa melihat dengan jelas Rico yang sedang melambai penuh semangat ke arahnya. Yang juga membuat puluhan pasang mata ikut menatapnya. Dengan berat hati, Bianca membalas lambaian tangan Rico. Anggap saja ia tengah memberikan semangat pada pria itu.
***
Tiga puluh menit lebih telah berlalu sejak permainan dimulai. Dan sejujurnya, Bianca sudah merasa sangat bosan. Kalau bisa memilih, belajar di kelas seperti biasa jauh lebih baik dari pada harus menonton kumpulan pria-pria yang tengah memperebutkan sebuah bola berwarna orange. Yang anehnya, justru membuat kumpulan gadis di sekitarnya bersorak tak jelas.
Di tengah lapangan, Rico dan teman se-timnya tengah sibuk mengoper bola satu sama lain. Terkadang, pria itu mendribble bola menggunakan teknik between the legs—memindahkan bola dari tangan yang satu ke tangan yang lain melewati sela kaki dengan gerakan cepat. Dan, yeah, Bianca aku jika Rico lumayan handal. Setidaknya, saat ini tim basket sekolah mereka jauh lebih unggul dua angka dari tim lawan.
“Bianca!” Bianca yang mendengar namanya dipanggil dengan suara yang cukup keras tersentak kaget dalam duduknya. Dengan segera, ia mencari asal suara dan menemukan Rico tengah menatapnya lekat seraya memegang bola basket.
Bianca mematung. Raut wajahnya mendadak berubah menjadi aneh. Apalagi ketika seluruh pasang mata kini tengah menatapnya penuh tanya.
Ya Tuhan, Rico!
“Ini spesial untukmu.” Rico kembali berucap dengan suara lantang, Dengan gerakan cepat, ia berlari menembus penjagaan lawan. Sesekali, ia membuat gerakan yang mengecoh lawan—seperti ingin mengoper bola pada rekan se-timnya. Namun ketika lawan yang menghadangnya mengalihkan perhatian, ia dengan cepat melangkah menuju ring.
Setelah berdiri tiga langkah di depan ring, Rico tak langsung memasukkan bola. Ia lebih dulu memegang bola basket tersebut menggunakan kedua tangannya dan mendribblenya satu kali sambil melangkah. Lalu kembali menangkapnya dengan menggunakan kedua tangan dan pada langkah ketiga, ia menembakkan bola sambil melakukan layangan badan. Atau yang lebih dikenal dengan nama Lay Up Shoot.
Masuk!
Rico sukses mencetak angka dengan aksi yang memuaskan.
Seketika, seluruh siswa dari sekolahnya segera bangkit dari duduknya dan memberikan standing aplause. Yang menurut Bianca terlalu berlebihan, mengingat ini hanyalah latihan gabungan. Dan yang lebih parahnya lagi, ia mendapatkan ucapan selamat seiring dengan Rico yang berhasil memasukkan bola ke dalam ring lawan.
“Bianca!” Rico kembali memanggil Bianca seraya berlari kecil menuju gadis yang disukainya itu. Napasnya masih terengah. Pun peluh yang sesekali menetes dari wajahnya.
“Good job, Rico.” Bianca berusaha sebaik mungkin berucap dengan nada bersahabat. Apalagi keadaan sekitarnya yang masih sangat ramai.
Dengan wajah yang sumringah, Rico menjawab ucapan Bianca dengan senyuman seraya tertunduk malu. Akibat dipuji gadis yang menjadi pujaan hatinya.
“Rico, kemarilah.” Panggil salah seorang rekannya.
“Bianca, aku pergi dulu.” Bianca sontak menghela napas lega setelah kepergian Rico. Saat ini, yang diinginkannya adalah segera keluar dari ruangan tersebut.
“Sepertinya Rico memang sangat menyukaimu.” Lily yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara.
“Tapi sayang, aku tak menyukainya.” Balas Bianca datar seraya memutar bola mata—malas.
Tanpa Bianca ketahui, Rico yang saat ini masih berada di tengah-tengah lapangan, sesekali mencuri pandang ke arahnya seraya tersenyum simpul. Ia akui ketika melihat Bianca bergelayut manja pada lengan seorang pria waktu itu—Jimmy, hatinya tak terima. Ia bahkan mengucapkan kalimat makian yang ditujukan pada Jimmy. Namun, ia tetap tak peduli. Apa pun akan ia lakukan agar Bianca jatuh ke tangannya. Ia menginginkan Bianca. Dan memiliki gadis itu adalah keinginan terbesarnya yang harus ia capai.
***
“Bye, Jimmy.” Bianca melambaikan tangan ketika Jimmy berpamitan padanya setelah mengantarnya pulang. Biasanya, Jimmy akan ikut masuk untuk memastikan jika ia benar-benar sampai dalam keadaan selamat. Tapi kali ini, pria itu beralasan jika sedang ada urusan mendadak.
Hari ini, Bianca pulang sedikit lebih lama dari biasanya. Seharusnya, pukul tiga ia sudah pulang dan tiba dirumah dua puluh menit kemudian. Tapi kali ini, ia baru tiba dirumah ketika jam hampir menunjukkan pukul enam sore. Dan semuanya karena latihan gabungan yang tadi dilakukan. Pihak sekolah tetap mewajibkan seluruh siswa untuk mengikuti kegiatan belajar. Yang sialnya, waktu yang terpakai untuk berkumpul di lapangan, diganti dengan waktu pulang sekolah. Plus, jam pelajaran yang secara tiba-tiba ditambah.
Bianca yang baru saja memasuki rumah tersentak kaget ketika mendapati keadaan yang gelap gulita. Tak ada satupun lampu utama yang menyala. Yang ada hanyalah sebuah lilin kecil yang diletakkan di ruang tengah.
Dengan cepat, ia melangkah untuk meraih saklar lampu dengan menggunakan ponselnya sebagai pencahayaan.
“Alan!” Bianca memekik kaget ketika lampu baru saja menyala dan ia mendapati tubuh Alan yang tengah duduk di meja makan. Di hadapannya sudah tersaji dua botol red wine dan sebuah gelas yang isinya telah tandas.
Secara perlahan, Alan mendongak ketika mendengar suara Bianca. Iris hitam legamnya menatap Bianca tajam. Sekaligus memberi isyarat agar wanita itu berjalan mendekatinya.
“Kau … tak apa-apa?” Bianca bertanya ragu ketika melihat keadaan Alan saat ini. Sama seperti Jimmy, pria itu pun memakai kemeja serta celana kain berwarna hitam. Dan lagi, Alan memandangnya dengan tatapan yang—entahlah, ia pun sulit untuk menjelaskannya.
“Bianca.” Panggil Alan lirih seraya memeluk Bianca dan menenggelamkan wajahnya di dalam perut wanita itu.
Refleks, kedua tangannya terangkat ke atas untuk balas memeluk Alan. Sekalipun saat ini rasa penasaran menghampirinya, namun Bianca tak punya keberanian untuk bertanya. Ia punya firasat, ketika ia bertanya nanti, hasilnya pasti tak akan berakhir dengan baik.
Secara tiba-tiba, Alan melepaskan pelukannya pada Bianca lalu kembali meneguk red wine miliknya langsung dari dalam botol. Tanpa Bianca duga, Alan menarik tengkuknya dengan cukup kuat untuk mensejajarkan wajah mereka—dengan Bianca yang masih dalam posisi berdiri.
Tanpa menunggu lama, Alan segera menjangkau bibir Bianca dan memaksa wanita itu untuk meminum wine yang masih berada di dalam mulutnya.
Alan mengubah posisinya menjadi berdiri dengan tetap membungkam bibir Bianca. Kedua tangannya memeluk pinggang wanita itu kuat dan dalam satu gerakan, ia berhasil membuat tubuh Bianca terduduk di atas meja makan.
“Alan! Kau gila?” Bianca sontak melepaskan secara sepihak tautan bibir mereka ketika tahu maksud dan tujuan Alan. Dengan napas yang memburu, ia menatap Alan tak percaya.
“Tak ada salahnya.” Ucap Alan santai seraya menyeringai kecil.
Malam ini, tubuh mereka berdua kembali menyatu untuk merasakan kenikmatan tersebut. Dan desahan ataupun teriakan tertahan Bianca menjadi pemecah keheningan malam.
Yang Bianca tak tahu—lebih tepatnya, Alan yang tak memberitahunya, jika hari ini adalah hari peringatan kematian kakeknya. Untuk itulah ia dan juga Jimmy memakai pakaian serba hitam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Rosminah Mtp
Alan 🤗🤗
2021-05-26
0
kiki
memeperingati hari kematian dg cara minum wine dan ena ena, sungguh luar biasa author😂😂
2021-05-26
1
Meidy Mangalengkang
visualnya mana thor
2020-10-18
7