Setelah memarkirkan mobilnya pada garasi, Alan dengan cepat melangkah memasuki kediaman miliknya. Rumah yang didominasi oleh warna hitam, putih serta abu-abu terang tersebut berdiri kokok di daerah elit pada pusat kota. Dengan tak sabaran, Alan berlari kecil menaiki tangga lalu menuju kamarnya. Ditengah cahaya lampu tidur, Alan bisa melihat dengan jelas tubuh Bianca yang tertutupi oleh baju tidur terusan berwarna pastel. Dan dia, sudah tak mampu lagi untuk menahan hasratnya.
“Bianca.” Dalam tidurnya, samar-samar, Bianca merasakan seseorang memanggil namanya. Dan ketika ia mencoba untuk membuka mata, wajah Alan yang nyaris tanpa cacat telah lebih dulu menyambutnya. Membuatnya dengan sigap segera bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur.
“Mau apa kau?” Bianca berucap dengan nada takut. Apalagi ketika melihat bibir pria itu yang menyeringai aneh.
“Aku merindukanmu,” ucap Alan dan dengan segera memeluk tubuh Bianca seraya memberikan kecupan ringan pada pucuk kepala istrinya.
Bianca tertegun. Merasa aneh ketika mendapat perlakuan semanis ini dari Alan. Padahal pria itu tak mencintainya sama sekali. Pun dengan dirinya. Keadaan yang memaksa mereka untuk menikah. Dan Bianca juga yakin, jika Alan punya alasan tersendiri ketika setuju untuk membeli dirinya.
“Alan, lepaskan ak—” Bianca berjengit kaget ketika Alan mendaratkan gigitan kecil pada daun telinganya. Sebelum beralih untuk mengecup bibirnya. Alan yang awalnya hanya memberikan kecupan kecil, berubah menjadi ciuman penuh gairah. Tak jarang, sesekali desahan kecil lolos dari bibir Bianca yang masih dikuasai oleh Alan.
Alan mengerang tertahan. Dengan tak sabaran, ia membuka pakaian kantor yang masih dikenakannya. Membiarkannya tergeletak tak berdaya di lantai lalu beralih untuk melepaskan pakaian tidur yang dikenakan oleh Bianca. Dan Alan tak pernah bosan ketika melihat tubuh wanita itu. Sesering apapun.
“Alan.” Bianca kembali menggeleng sebagai sebuah penolakan. Namun sayang, Alan terlalu fokus mengamati setiap inci dari lekuk tubuhnya. Bianca pasrah, memberontak seperti apapun, ia tak akan bisa melawan pria itu. Tubuh berotot Alan bukan tandingannya.
“Bianca … Bianca.” Racau Alan tak jelas.
“Alan—Alan Drax.” Lirih Bianca.
Malam ini, suara desahan mereka berdua kembali memenuhi kamar tersebut. Sehingga membuat mereka semakin dikuasai oleh hasrat yang tak tertahankan.
***
Bianca mengangguk pelan pada Jimmy sebelum pria itu akhirnya melajukan mobil hitam yang dikemudikannya menjauh dari sekolahnya. Pagi ini, Bianca menghabiskan lima belas menit waktunya di dalam kamar mandi hanya untuk menutupi kiss mark pada lehernya. Ditambah dengan rasa lelah yang kembali menghampiri sekujur tubuhnya.
“Hah.” Bianca hanya bisa mendesah pelan. Sekaligus merutuki kebodohannya yang kembali terjerat akan bujuk rayu Alan.
“Bianca, hai.”
“Lily!” Bianca segera memeluk tubuh sahabatnya— Lily, ketika melihat gadis bertubuh pendek itu melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Aku merindukanmu.” Ucap Lily seraya balas memeluk Bianca.
Selama satu minggu, Bianca memang tak masuk sekolah dan meminta izin dengan alasan ”urusan keluarga.” Tak sepenuhnya bohong memang. Karena, selama tiga hari tak masuk sekolah, Bianca dilarang keluar oleh kedua orang tuanya. Ditambah dengan rentenir yang mengincar mereka. Dan tambahannya, selama empat hari, Alan yang tak mengizinkannya untuk pergi. Dengan menjadikan pernikahan mereka sebagai alasannya.
“Apa kau baik-baik saja?” Lily bertanya dengan raut cemas. Apalagi ketika melihat wajah pucat Bianca. Seperti orang yang kurang tidur.
“Aku baik-baik saja. Ada berita apa selama aku tak masuk sekolah?” Bianca bertanya dengan nada antusias. Baginya, bergosip adalah salah satu hal yang tak boleh terlupakan ketika berada di sekolah.
“Banyak. Tapi yang lebih menggemparkan adalah ketika Rico yang terus menanyakan keberadaanmu. Dan selalu berkunjung ke kelas hanya untuk mencarimu.”
Rico adalah kapten tim basket saat ini. Semenjak duduk di kelas satu, pria itu memang sudah gencar mendekati dirinya. Namun Bianca tak pernah memberikan respon apapun. Selain karena masalah keluarganya yang menyita banyak pikiran. Ia juga sering mendengar gosip tak baik mengenai pria itu. Salah satunya adalah Rico yang mengencani para gadis hanya untuk bahan taruhan.
“Benarkah? Kukira dia sudah menyerah.” Ucap Bianca tanpa minat. Selama perjalanan menuju kelas, ia dan juga Lily bercerita tentang banyak hal. Kecuali perihal pernikahannya dengan Alan. Bianca yakin jika ia membocorkan hal tersebut, maka Alan tak akan segan-segan untuk membunuhnya. Dan Bianca tak ingin jika hal tersebut sampai terjadi.
***
“Bianca!” mendengar namanya dipanggil, Bianca segera mencari asal suara dan mendapati Rico tengah berlari menghampirinya. Padahal ia dan juga Lily sudah sangat lapar.
“Ada apa?” Bianca mencoba bertanya dengan sebaik mungkin. Sementara Lily yang berada di sebelahnya tengah berusaha menahan tawa. Tahu betul jika Bianca adalah tipe gadis yang tak bisa berpura-pura untuk bersikap manis.
“Apa kita bisa bertemu sepulang sekolah nanti?” Rico bertanya dengan raut wajah malu-malu.
“Tentu saja.” Jawab Bianca asal.
“Benarkah? Kalau begitu aku akan menunggumu.” Seusai berucap, Rico segera berlari pergi meninggalkan Bianca. Dilihat dari arah manapun, wajah pria itu memancarkan aura kebahagiaan.
“Kau yakin?” Lily segera bertanya pada Bianca yang dijawab sahabatnya itu dengan anggukan kepala.
“Hanya bertemu sebentar jadi tak—Oh, tidak!” Seakan baru tersadar akan keberadaan Jimmy, Bianca hanya bisa merutuki kebodohannya. Jika pria itu sampai melihatnya tengah bersama dengan Rico dan melaporkannya pada Alan, Bianca tak yakin akan jadi seperti apa nasibnya. Tapi sayang, bibir bodohnya ini sudah terlanjur mengiyakan ucapan Rico.
“Ada apa?” tanya Lily dengan kening berkerut. Merasa heran ketika melihat sikap Bianca yang tiba-tiba saja berubah aneh.
“Tak ada apa-apa. Ayo.” Bianca segera menarik tangan Lily agar bisa sampai dengan cepat di kantin. Sekalipun hatinya di dalam sana tengah menjerit takut.
***
Lima menit sebelum bel pulang berbunyi, Jimmy sudah setia menunggu di depan sekolah Bianca. Dan sama sekali tak memedulikan tatapan kagum yang dilayangkan oleh gadis-gadis dari dalam sekolah tersebut.
Jimmy yang baru saja berniat memanggil nama Bianca, tersentak kaget ketika melihat seorang pria yang mengenakan seragam yang sama dengan istri tuannya, secara tiba-tiba memegang tangan Bianca. Seperti memaksa wanita itu untuk mengikutinya.
“Rico, lepaskan aku.” Bianca berucap dengan nada memohon seraya mengamati sekitar. Takut-takut jika Jimmy melihatnya. Sebelumnya, ia sudah mengatakan pada Rico jika tak bisa menerima tawaran pria itu yang mengajaknya makan bersama. Namun, Rico terus memaksa.
“Bianca, please, hanya kali ini saja.” Seolah tak mengenal kata menyerah, Rico kembali memaksa Bianca. Bahkan tak memedulikan keadaaan sekitar mereka yang telah ramai.
“Rico, aku tetap tak bisa.”
“Hanya unt—Argh!” Rico mendadak memekik sakit ketika seseorang mencengkeram tangannya. Memutarnya kebelakang lalu melipatnya.
“Jimmy!” Bianca berjengit kaget ketika melihat pria itu. Bahkan seluruh mata juga menatap pria bermata biru laut itu.
Jimmy masih setia memegangi tangan Rico. Sekalipun pria itu memekik sakit karena ulahnya. Seakan baru tersadar jika Rico adalah seorang kapten tim basket. Bianca langsung menarik tangan Jimmy dan mengajak pria itu untuk segera pulang.
“Jimmy, lepaskan dia. Kita pulang sekarang, okay?” Bianca berucap dengan nada panik.
“Baik, Nona.” Bianca dengan cepat melangkah mengikuti Jimmy menuju mobil hitam Alan yang terparkir di depan sekolah. Ia juga tak lagi peduli ketika pria itu membukakan pintu untuknya. Yang Bianca inginkan saat ini hanyalah pulang ke rumah sembari memikirkan alasan apa yang harus ia berikan besok pada Lily. Ia bahkan harus berpura-pura tak menatap Lily yang sedari tadi memandangnya penuh tanya.
***
Bianca hanya mampu menahan napas ketika mobil yang ditumpanginya baru saja memasuki halaman rumah Alan dan Mercedes Benz-AMG GT-R berwarna selenite grey milik pria itu sudah terparkir dengan rapi.
“Jimmy, kau melaporkannya pada Alan?” Bianca segera bertanya dengan nada tak percaya. Apalagi ketika menatap Jimmy yang tak menunjukkan raut apapun.
“Sudah menjadi tugasku.” Jawab Jimmy tegas.
“Ya Tuhan….” Bianca hanya mampu mendesah kasar. Ia sudah pasrah akan nasibnya ditangan Alan setelah ia menginjakkan kaki ke dalam rumah tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Febriani Soemantri
Semua sekretaris bucin abis ama sibos apa2 dilaporkan 😂😂😂😂
2022-06-05
0
Siti Wipda Isropi
sosok hans ada di sini
2021-06-25
0
Rosminah Mtp
seru cerita ny
2021-05-26
1