Dengan perasaan takut, Bianca melangkah dengan tak bersemangat memasuki rumah Alan. Tak jauh darinya, Bianca bisa melihat dengan sangat jelas, di ruang tamu sana, Alan tengah duduk seraya menyilangkan kaki. Pria itu tengah sibuk menggeser layar tablet berwarna silver miliknya.
“Bianca.” Bianca yang merasa jika Alan tak menyadari kehadirannya, hanya bisa berjengit kaget ketika iris hitam pria itu menatapnya lekat. Menghunus layaknya anak panah yang tepat sasaran.
“Ha–hai.” Bianca berucap dengan nada takut seraya berjalan menghampiri Alan. Juga tak lupa menyunggingkan senyuman manis.
“Cepat duduk.” Ucap Alan dengan nada memerintah. Sementara Bianca hanya bisa pasrah dan segera mendudukkan dirinya di depan pria itu. Dengan meja sebagai pembatasnya.
“Jimmy, kemarilah.” Jimmy yang sedari tadi berdiri tak jauh dari Alan, dengan sigap mendekati tuannya.
“Ya Tuan.”
“Apa kau yakin jika semua yang kau laporkan padaku itu benar?” Alan mengalihkan perhatiannya pada Jimmy. Sembari menanti jawaban dari sang tangan kanannya.
“Aku yakin. Aku melihat sendiri jika pria itu memegang tangan Nyonya Bianca.” Jimmy menjawab dengan nada tegas tanpa keraguan sama sekali. Sepadan dengan wajah tanpa ekspresinya.
“Jimmy, please, jangan panggil aku nyonya. Aku belum setua itu.” Bianca dengan santainya menyela percakapan Alan dan Jimmy. Ia hanya merasa tak nyaman ketika Jimmy memanggilnya nyonya. Oh, ayolah, ia masih duduk dibangku sekolah.
“Baik, Nona.” Tukas Jimmy.
“Siapa dia?” Kali ini, Alan memusatkan seluruh perhatiannya pada Bianca. Matanya yang tajam menelisik setiap inci wajah wanitanya.
“Siapa?” Tanya Bianca tak mengerti.
“Pria yang dengan beraninya menyentuhmu ini, siapa?” Mata Bianca membulat tak percaya ketika Alan menunjukkan layar ponselnya. Di dalamnya, terdapat potret dirinya dan juga Rico yang tengah memegang tangannya erat. Sungguh tak menyangka jika Jimmy melaporkan perihal dirinya pada Alan tanpa melewatkan sedikitpun.
“Teman sekolahku.” Jawab Bianca jujur.
“Apa semua teman sekolahmu, memegang tanganmu seperti ini?” kali ini, Alan berucap dengan nada dingin.
“Dia hanya mengajakku pergi makan bersama.” Bianca kembali menjawab dengan jujur. Berbohong sekalipun juga tak ada gunanya. Sebab, Alan sudah pasti akan mengetahuinya.
“Dan kau menerimanya?”
“Kau pikir aku bisa menerimanya jika kau terus mengawasiku seperti ini? Bahkan sebelum bel pulang berbunyi pun, Jimmy sudah berdiri di luar menungguku.” Bianca berucap dengan nada kesal. Apalagi ketika tahu jika Alan tak memberikannya kebebasan untuk bergerak. Seakan, Alan ingin mengontrol semua yang dilakukannya.
“Bukankah sejak awal sudah kukatakan padamu, sejak kau menyandang status sebagai istriku, maka hidupmu berada dibawah kendaliku.” Alan menatap Bianca tajam. Kemarahan terpancar dengan sangat jelas di wajah pria itu. Tapi Bianca sudah tak peduli lagi. Yang dia inginkan saat ini hanyalah membalas setiap ucapan tak masuk akal pria itu.
“Kuharap kau juga tak lupa, jika pernikahan ini terjadi tanpa landasan cinta. Kau dan aku punya alasan tersendiri.”
“Dan kau merasa bebas untuk melakukan apapun?”
“Tentu saja. Aku mau dekat atau pergi makan dengan siapapun tak ada urusannya denganmu. Termasuk dalam hal berkencan.”
“Bianca!” Bianca berjengit kaget ketika mendengar teriakan kemarahan Alan. Saat ini, tatapan mata Alan berubah menjadi menyeramkan. Dan Bianca tahu, jika setelah ini, pria itu mungkin akan menyiksanya.
“Jimmy, tinggalkan kami berdua.” Dengan cepat, Jimmy melangkah keluar. Meninggalkan Alan dan juga Bianca berdua.
Secara tiba-tiba, Alan bangkit dari duduknya lalu menghampiri Bianca. Mencengkeram dan menarik dengan kuat tangan wanita itu agar berjalan mengikutinya.
“Ikut aku!”
“Alan, tidak–tidak.” Bianca meronta sekuat yang ia bisa. Sungguh, genggaman Alan pada tangannya terlalu kuat sehingga menimbulkan rasa sakit.
“Kau harus dihukum!” Alan berucap pelan namun sarat akan perintah. Saat ini, Bianca telah sukses membuat suasana hatinya memburuk. Dan menghukum wanita itu adalah satu-satunya cara untuk melampiaskan amarahnya.
“Alan, ak—” Bianca tak sempat melanjutkan ucapannya ketika baru saja memasuki kamar pria itu, Alan tiba-tiba saja mendorong tubuhnya secara kasar sehingga jatuh dengan posisi duduk di atas tempat tidur.
“Buka bajumu.” Seusai berucap, Alan segera melangkah menghampiri lemarinya dan mengambil sesuatu dari dalam sana.
“Pakai ini!” mata Bianca membelalak tak percaya ketika Alan melemparkan sepasang lingeri transparan berwarna merah menyala padanya. Dan yang lebih parahnya lagi, lingerie tersebut akan mengekspos secara jelas tubuh bagian bawahnya.
“Kau gila?!” Bianca berteriak tak terima. Lalu melempar lingerie tersebut ke sembarang arah.
“Dan aku gila karenamu.” Seakan tahu jika Bianca tak berniat memakai hadiah darinya, Alan segera menubruk tubuh Bianca sehingga jatuh secara bersamaan di atas tempat tidur dengan posisi terlentang. Bianca meronta, apalagi ketika tubuh Alan menindih tubuhnya.
“Minggir.” Bianca kembali mencoba mendorong tubuh Alan agar menjauh dari tubuhnya. Namun, pria itu dengan cepat menahan kedua tangannya sekaligus mengunci pergerakannya.
Alan yang masih dikuasai oleh amarah segera meyambar bibir Bianca. Menyesapnya kuat. Tak peduli sekalipun ketika Bianca merintih sakit karenanya. Dan puncaknya, ketika Alan memberikan gigitan yang cukup kuat pada bibir bawahnya.
“Alan!” Bianca berteriak marah. Dan kembali mencoba untuk lepas dari kungkungan pria itu dengan cara menggigit bahunya. Namun sayang, tindakan Bianca justru semakin membuat Alan lepas kendali. Bianca bahkan tak sadar, jika saat ini, seragam sekolah yang ia kenakan telah lepas seutuhnya.
“Buka mulutmu!” Bianca menggeleng cepat sebagai penolakan. Kedua matanya menatap Alan takut. Kali ini, pria itu tak memperlakukannya dengan lembut.
Tak habis akal, Alan segera memberikan gigitan yang cukup kuat pada leher Bianca dan ketika wanita itu membuka mulutnya, Alan dengan cepat menjamah setiap sudut di dalamnya. Kedua tangannya pun tak tinggal diam. Disaat satu tangannya sibuk memegangi kedua tangan Bianca, tangannya yang bebas ia gunakan untuk menyentuh seluruh tubuh wanita itu. Bermain-main pada beberapa bagian favoritnya.
“Bianca.” Bisik Alan seraya mengecup daun telinga Bianca.
“My dear.” Bisik Alan sekali lagi.
Bianca hanya mampu menangis dan menjerit tertahan ketika menerima perlakukan kasar pria itu. Tubuhnya bergetar. Dan ketakutannya semakin bertambah ketika ia menatap mata Alan, yang Bianca temukan hanyalah ruangan kosong yang dipenuhi kegelapan. Seperti ada sosok lain yang menghuni tubuh pria itu.
Alan sontak memejamkan kedua matanya ketika pelepasan penuh kenikmatan itu ia raih. Dan ketika membuka mata, ia mendapati Bianca telah tumbang. Jatuh tak berdaya di hadapannya.
***
Sudah satu jam lebih Alan mengasingkan diri di dalam ruang kerjanya yang terletak di lantai tiga. Tadi pagi, ketika ia membuka mata, Bianca sudah tak lagi berada di sisinya. Bahkan Jimmy yang berniat untuk mengantarnya ke sekolah dibuat panik.
“Damn it!” Alan menggeram marah seraya meremas rambutnya. Semalam, ia benar-benar lepas kendali dan tanpa sadar telah menyakiti Bianca. Ia hanya tak habis pikir jika ucapan Bianca mampu menghilangkan akal sehatnya.
“Jimmy!”
“Ya, Tu—”
“Biar aku yang menjemput Bianca. Hari ini, kau pulang saja.” Seusai berucap, Alan kembali meneguk sisa winenya yang tinggal sedikit. Sekalipun matahari masih bersinar dengan sangat terik, Alan sudah asik membasahi tenggorokannya dengan minuman beralkohol. Baginya, hanya ini satu-satunya cara untuk menjernihkan pikirannya.
“Baik.” Jimmy dengan cepat melangkah pergi. Merasa bersyukur bisa pulang cepat. Sebab, hari ini, ada hal penting yang harus dilakukannya.
***
Mobil Alan yang terparkir angkuh di depan sekolah Bianca sontak menjadi bahan tontonan yang menarik. Bukan tanpa alasan memang, sebab, kebanyakan, teman-teman sekolah Bianca hanya dari kalangan menengah. Bukan dari kalangan atas seperti Alan.
Bianca yang baru saja melangkah keluar tersentak kaget ketika melihat mobil Alan. Dan matanya semakin membulat ketika pria itu keluar dari dalam mobil seraya mengangguk ke arahnya.
“Bianca, kau mengenalnya?” Lily yang sedari tadi memperhatikan Alan segera menatap Bianca. Sementara sahabatnya itu hanya mengedikkan kedua bahunya—tak peduli.
Dengan cepat, Bianca segera menarik tangan Lily untuk melangkah bersama menuju halte bus. Saat ini, Bianca tak ingin bertemu apalagi menatap wajah Alan.
Dalam diamnya, Bianca bersyukur ketika baru saja sampai di sekolah, Lily tak menanyakan hal apapun padanya perihal Jimmy. Ia hanya mengatakan jika Jimmy adalah supir pribadi yang dipilihkan oleh kedua orangtuanya. Awalnya, Lily merasa ragu. Karena tahu betul jika kedua orangtua Bianca adalah penggemar judi. Namun segera ditepisnya dengan anggapan jika semua orang bisa berubah.
“Bianca.” Bianca segera menatap asal suara dan menemuka Alan tengah melajukan mobilnya pelan. Sengaja mengikuti langkah kakinya.
Bianca tak peduli. Dengan segera, dia mengalihkan perhatiannya.
“Cepat naik.” Alan yang sedari tadi berusaha untuk bersikap baik akhirnya tak tahan juga. Dengan nada memerintah, ia memberi isyarat agar Bianca segera masuk ke dalam mobil.
“Lily, maaf aku tak bisa menemanimu.” Lily hanya mengangguk kecil sebagai sebuah jawaban. Sebenarnya, ada berbagai macam pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Bianca. Namun Lily sadar, jika Bianca bukanlah tipe orang yang dengan gamblang menceritakan seluruh isi hatinya. Bahkan kalau boleh dibilang, Bianca terkesan menutup rapat semua tentang dirinya. Hanya perihal orangtuanya saja yang Bianca ceritakan pada dirinya.
***
“Kau mendiamiku?” Alan berucap tak percaya seraya menatap sekilas pada Bianca yang sedari tadi memandang keluar jendela.
“Di mana Jimmy?” tanya Bianca tanpa minta. Ia hanya tak ingin jika Alan kembali marah ketika mengabaikan pria itu.
“Aku menyuruhnya pulang.”
“Jauh lebih baik jika Jimmy yang menjemputku.”
Secara mendadak, Alan segera menepikan mobilnya. Sungguh, perkataan Bianca sanggup merusak moodnya. Padahal ia sudah berusaha keras untuk menahan diri.
“Apa kau sengaja ingin membuatku marah, Bianca Rosaline?”
“Dan kau bisa melakukannya lagi.” Ada nada menyindir dalam ucapan Bianca. Dan jujur, Alan merasa kesal karenanya.
“Kau istriku. Jadi, kurasa tak akan ada masalah. Bahkan jika aku menghamilimu, polisi juga tak akan menangkapku.” Ucap Alan santai. Dan kembali melajukan mobilnya.
“Bukankah tanpa istri sekalipun, kau juga bisa meniduri banyak wanita?” Bianca bertanya dengan nada menyindir. Seakan tahu jika Alan adalah tipe pria yang gemar membawa wanita untuk naik ke atas ranjang. Terbukti dari cara pria itu menyentuhnya. Jelas sekali jika Alan telah berpengalaman.
“Untuk apa aku mencari yang lain jika ada dirimu? Aku bisa memakaimu sesuka hatiku.” Bianca hanya mampu menutup kedua matanya ketika rasa sakit kembali menjalari hantinya. Ternyata benar, perlakuan manis dan lembut Alan ketika menyentuhnya tak lain hanyalah cara pria itu untuk membuai dan menjeratnya. Yang Alan butuhkan hanyalah kenikmatan. Dan Bianca yakin jika Alan akan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Dirinya terlampau bodoh ketika menganggap perlakuan manis pria itu sebagai sesuatu yang spesial. Bagi Alan, statusnya sebagai istri hanyalah sebuat alat. Yang hanya akan pria itu gunakan ketika dia sedang butuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Samsul Hidayati
alan itu sdh mulai ada rasa suka
2023-01-14
0
Rosminah Mtp
heeeemmmm dasar manusia kutup
2021-05-26
0
Sholikhah bunda rachel
apa mungkin si alan udah jatuh cinta ama istrinya kalo iya ya syukur deh 😂😂😂
2021-04-26
0