Menjelang pukul sembilan malam, Cathy melajukan ford fiesta putih miliknya menuju bagian southwest dan melewati beberapa pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Setelah melewati satu distrik ternama, ia membelokkan mobilnya menuju sebuah gedung apartemen yang terletak cukup jauh dari pusat keramaian.
Setelah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan—tepat di bawah sebuah pohon besar dengan pencahayaan yang minim, ia segera melangkahkan kakinya yang tertutupi sepatu hak setinggi tujuh belas senti berwarna maroon, memasuki gedung tersebut dan menaiki salah satu lift yang akan membawanya ke lantai sembilan.
Jarinya yang dipoles kutek pink dengan lincah menekan beberapa angka—sandi pengaman dan tak lama kemudian, sebuah pintu bernomor 1096 terbuka. Dan yang pertama kali menyambutnya adalah suara musik klasik era 80-an.
“Welcome.” Cathy tersenyum simpul seraya melangkah menghampiri seorang pria yang tengah duduk santai di atas sofa seraya memejamkan matanya. Menikmati setiap alunan musik yang didengarnya saat ini.
Seperti sudah terbiasa, Cathy segera mendudukkan dirinya di atas pangkuan pria itu. Sebelah tangannya ia kalungkan pada leher orang itu, sementara tangannya yang satu ia gunakan untuk memberikan sentuhan lembut pada pipinya. Dan yang terakhir, ia memberikan sebuah kecupan dengan suara yang mengintimidasi.
“My dear, Cathy.” Ucap sosok itu seraya memeluk Cathy posesif. Lalu mendaratkan satu remasan yang kuat pada bokong wanita itu.
“Oh, Wilson.” Cathy dengan sengaja membuat desahan yang menggoda. Dan hasilnya, Wilson menghadiahinya satu gigitan kecil di leher.
Yah. Pria yang sedang bersamanya saat, tak lain dan tak bukan adalah paman dari Alan—sepupunya sendiri. Sudah dua tahun lebih mereka berdua menjalin hubungan yang spesial. Bahkan, satu minggu setelah kematian istrinya—Jasmine, Wilson dan Cathy memulai kegilaan mereka berdua. Dan apartemen yang baru saja ia kunjungi ini adalah tempat rahasia di mana mereka biasa bertemu atau pun bercinta.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Cathy segera meraih slingbagnya yang terletak di atas meja lalu mengambil ponselnya dari dalam sana. Dengan cekatan, jarinya memasukkan sandi ponsel lalu membuka galeri. Dan menunjukkan satu potret wanita muda pada Wilson.
“Siapa dia?” Ucap Wilson seraya menatap Cathy penuh tanya.
“Bianca. Kekasih Alan.”
“Apa?!” Wilson berucap kaget seraya menatap Cathy tak percaya. Apalagi ketika melihat potret Bianca yang ditunjukkan padanya. Seorang gadis SMA yang terlihat biasa saja.
“Aku bertemu dengan mereka berdua beberapa hari yang lalu di Green Mart. Dan Alan sendiri yang bilang padaku.” Waktu itu, ketika bertemu secara tak sengaja dengan Alan di supermarket, Cathy secara diam-diam memotret Bianca agar bisa menunjukkannya pada Wilson. Dan sesuai dengan dugaannya, pria itu tak mempercayainya.
“Apa kau yakin?”
“Tentu saja.” Cathy menjawab cepat. Awalnya, ia tak percaya. Namun setelah Bianca menunjukkan tanda kemerahan akibat bercinta di dadanya beberapa hari yang lalu—ketika ia datang berkunjung ke kantor Alan, Cathy menjadi sedikit percaya. Apalagi ketika Alan menolak mentah-mentah tawarannya pada pria itu agar mau dikenalkan pada beberapa teman wanitanya.
“Anak bodoh itu terlalu sulit untuk dijangkau.” Wilson berucap dengan nada kesal. Selama ini, satu-satunya tempat ia dan juga Alan bisa bertemu adalah di kantor Alan. Ia dan juga Cathy sudah beberapa kali mencoba untuk mengunjungi rumah Alan, tapi hasilnya nihil.
Sebagai seorang pengusaha muda yang sukses dan memiliki banyak aset, Alan juga tinggal di sebuah perumahan super elit. Di mana, hanya mereka dari kalangan atas yang pantas untuk menghuninya. Bukan hanya tempat serta bangunannya yang mewah tapi juga sistem keamanan perumahan tersebut yang super canggih. Kebanyakan perumahan-perumahan memiliki beberapa security yang bertugas untuk menjaga, tapi beda halnya dengan kawasan tempat tinggal Alan. Siapapun yang datang berkunjung harus melewati sensor pendeteksi wajah dan juga sidik jari—itupun atas izin dari setiap pemilik rumah. Yang artinya, hanya orang-orang yang terdaftar ataupun memiliki akses resmi yang diperbolehkan masuk. Dan sejauh ini, hanya Jimmy dan juga Bianca yang Alan berikan akses secara resmi. Selebihnya, harus mendapatkan izin darinya.
“Bukankah akan selalu ada kesempatan?” Cathy berucap dengan nada manja seraya membelai lengan Wilson. Iris hijau terangnya menatap Wilson dengan hasrat yang membuncah.
“Inilah kenapa aku sangat menyukaimu.” Ucap Wilson seraya tertawa kecil lalu secara tak sabaran mencium bibir Cathy.
Selama ini, semua fasilitas dan barang-barang mewah yang Cathy gunakan adalah pemberian dari Wilson. Ia tak bisa mengharapkan apa pun dari kedua orang tuanya yang hanya bekerja sebagai pelayan disebuah restoran. Ia akui, Alan selalu memberikannya uang sebanyak tiga puluh juta setiap bulannya. Namun Cathy tak pernah merasa cukup. Tapi, ketika pertama kali bertemu Wilson dipemakaman istrinya, pria itu menunjukkan ketertarikan yang besar padanya. Dan Cathy tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Sekalipun ia harus memberikan tubuhnya pada pria tua itu.
“My Benjamin.” Cathy kembali membisikkan kata-kata cinta di telinga Wilson ketika pria itu memberikan sentuhan-sentuhan lembut pada tubuhnya.
Dengan diiringi suara musik klasik, Wilson kembali menatap tubuh menggoda Cathy. Sejak awal, wanita berparas cantik itu memang telah menjeratnya. Ia bahkan tak merasa bersalah sama sekali pada mendiang istrinya. Baginya, Jasmine hanyalah masa lalu yang tak berarti. Tak lebih dari sekadar alat yang hanya akan ia gunakan ketika berhadapan dengan Alan.
Tak jarang, setiap kali mereka bertemu, Cathy lah yang selalu memulai lebih dulu. Tak jarang, wanita itu secara tiba-tiba menyentuhnya. Ataupun Cathy yang memohon untuk disentuh olehnya. Dan ia tak pernah keberatan sama sekali.
Cathy sontak menatap Wilson lekat. Keduanya tersenyum dengan tangan yang saling terpaut. Namun Cathy berharap, jika yang saat ini menyentuhnya adalah Alan. Pria yang telah mencuri hatinya. Sekaligus pria yang menjadi obsesi terbesarnya selama ini.
Dan bersama dengan Wilson, Cathy berharap, jika suatu saat nanti, ia bisa memiliki Alan. Seutuhnya. Tepatnya, setelah ia menyingkirkan Bianca.
Baginya, seujung kuku pun, tak ada kata pantas bagi Bianca untuk mendampingi Alan. Bahkan ketika berada di sisi Alan, di matanya, Bianca justru terlihat seperti seorang pelayan miskin. Cathy yakin, jika wanita itu hanya menginginkan harta Alan. Dan ia tak akan pernah membiarkan itu terjadi.
“Cathy.” Panggil Wilson yang baru saja kembali dari dapur untuk mengambil dua kaleng bir.
“Ya.” Jawab Cathy singkat seraya memakai kembali bajunya. Bir yang baru saja Wilson berikan berhasil membasahi tenggorokannya.
“Aku ingin kau mengawasi Alan dan wanita itu.” Ucap Wilson seraya menatap Cathy lekat. Mengawasi Alan adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan agar pria itu tak berbuat di luar dugaanya. Wilson tak ingin kehilangan satu sen pun.
“Dengan senang hati.” Ucap Cathy seraya meletakkan dagunya di pundak Wilson. Bibirnya menyeringai licik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Samsul Hidayati
ular keket beraksi
2023-01-14
0
Rosminah Mtp
visual nya dong
2021-05-26
0
Bundha Ai Nuha
visualnya mn thor,,,
2021-05-25
0