Part 14

Walau lemah, Kania berusaha untuk bangkit. Dengan dipapah Bastian, Kania duduk di depan ibunya yang masih terbaring tak berdaya. "Ibu, walau aku bukanlah putri kandungmu, tapi aku tetap menyayangimu. Selama ini, Ibu sudah memberikanku kasih sayang. Bahkan, demi aku, Ibu rela membunuh suami Ibu sendiri. Maafkan aku Ibu, karena aku, Ibu harus menderita." Kania menghapus air mata yang tak mampu ditahannya. Bastian yang berdiri di sampingnya tampak mengelus lembut punggungnya.

"Bas, apa yang harus aku lakukan? Penyakit ibu sudah semakin parah dan aku tidak tahu ibu bisa bertahan sampai kapan. Aku harus bagaimana, Bas?" Kania terlihat putus asa. Wajahnya tampak cemas karena memikirkan kondisi ibunya itu.

Sementara Arya, baru saja datang setelah meminta penjelasan dari dokter. "Kania, untuk saat ini, kamu harus menemani ibumu dulu. Aku tahu ini sulit, tapi ibumu tidak punya waktu lagi. Temanilah dia di sisa umurnya dan berikanlah kasih sayangmu padanya selama dia ada di sisimu." Kania mengangguk dan menghapus air matanya.

Dengan lembutnya, Kania menggenggam tangan ibunya sembari mengecupnya. "Ibu, jika kebersamaan kita hanya sampai di sini, aku rela, Ibu." Perlahan, wanita itu membuka matanya. Sorot matanya terlihat sendu dan menatap Kania tanpa kedip. Bastian dan Arya tampak terkejut dan mengkhawatirkan Kania jika sampai dia diserang lagi. Namun, sorot mata ibunya terlihat berbeda.

"Ibu." Kania mengelus wajah ibunya yang kini terlihat berbeda. Bibir wanita itu menyunggingkan senyuman dengan air mata yang jatuh perlahan di sudut matanya. Bibirnya bergetar saat berusaha mengucap sesuatu.

"Anakku." Sontak Kania terkejut dan menangis. Untuk pertama kalinya sejak 5 tahun lalu, dia bisa mendengar kembali ibunya memanggilnya. Kania seakan tak percaya, namun sekali lagi ibunya memanggilnya, "Kania, anakku."

Kania lantas memeluk wanita itu dan menangis. "Ibu, aku menyayangimu, Ibu." Kania tak melepaskan pelukannya dan perlahan tangan ibunya membalas memeluknya. Rasanya, Kania sangat bahagia hingga membuatnya tak ingin melepaskan pelukan ibunya itu.

"Ibu harus pergi, Nak. Jangan menangis lagi. Berbahagialah dan maafkan Ibu." Mendengar ucapan ibunya, Kania menangis semakin menjadi. Tubuh wanita itu dipeluknya dengan erat, tapi tangan ibunya tiba-tiba melunglai seiring embusan napas terakhir yang tak lagi terdengar.

Arya yang menyadari itu berusaha untuk menenangkan Kania, tapi gadis itu enggan melepaskan pelukannya. Pengorbanan, usaha dan kerja kerasnya selama ini untuk ibunya ternyata tak membuat ibunya memiliki waktu lebih lama dengannya. Semuanya hanya sia-sia karena ibunya tetap pergi meninggalkannya.

"Kania, sudahlah. Biarkan ibumu beristirahat dengan tenang." Bujuk Bastian sambil memeluknya. Lelaki itu tampak menangis karena dia tahu betul dengan perasaan Kania saat ini.

"Tidak, Bas. Ibu hanya tertidur. Ibu pasti akan bangun lagi." Kania terlihat syok. Wajahnya benar-benar pucat dan kembali lagi gadis itu terkulai lemah dan jatuh tak sadarkan diri.

Bastian lantas membopong tubuhnya dan diletakkan di atas tempat tidur. Perawat kembali memasang selang infus di punggung tangan gadis itu.

"Biar aku yang mengurus semuanya. Aku minta padamu untuk temani Kania. Jika memungkinkan, sebentar lagi kita akan melakukan pemakaman." Jelas Arya pada Bastian.

Semua pengurusan pemakaman, administarsi rumah sakit dan semua yang menyangkut biaya lainnya, ditangani oleh Arya. Arya dengan ikhlas membantu, karena Kania tidak mempunyai keluarga. Satu-satunya keluarganya hanyalah ibunya dan kini ibunya pun telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Sore itu juga, mereka akan memakamkan jenazah ibunya. Kania yang sudah sadar, hanya bisa duduk pasrah di dalam mobil jenazah yang akan membawa jenazah ibunya ke tempat pemakaman umum. Bastian duduk di samping Kania menemani gadis itu, sementara Arya mengikuti mereka dengan mobilnya.

Di depan tanah pekuburan, jenazah ibunya diangkat oleh beberapa orang yang bertugas untuk memakamkan jenazah. Perlahan, jasad yang telah kaku itu kemudian dimasukkan ke dalam liang lahat dengan diiringi lafaz doa. Kania hanya diam terpaku saat jenazah ibunya itu perlahan mulai ditutupi tanah. Hanya air bening yang selalu mencari celah untuk keluar dan menghiasi pelupuk matanya.

Kania tak lagi bersuara. Ditatapnya tanah kuburan yang telah rata. Dengan tangan bergetar, Kania menabur bunga di tanah kuburan itu dengan diiringi sebait doa agar ibunya bahagia di sana.

Kania masih duduk dan enggan untuk pergi. Rasanya, dia tak mampu untuk berdiri. Bastian yang merasa khawatir, lantas membujuknya, tapi Kania masih tetap enggan untuk meninggalkan tempat itu.

"Biar aku yang akan membujuknya," ucap Arya pada Bastian sembari berjalan mendekati Kania dan duduk di sampingnya.

"Aku akan menemanimu di sini. Aku tahu perasaanmu saat ini, karena aku juga pernah mengalaminya. Istriku meninggalkanku dengan bayi mungil yang seharusnya dirawatnya. Kamu tahu, saat itu aku sangat frustasi karena istri yang paling aku cintai pergi meninggalkanku. Awalnya, aku merasa bagaikan kehilangan separuh kehidupanku, tapi akhirnya aku sadar kalau hidup harus terus berjalan. Aku mencoba untuk meyakinkan hatiku kalau saat ini, istriku sudah bahagia di sana. Dan aku juga ingin kamu melakukan hal yang sama. Kania, kamu juga harus tetap semangat dan menjalani kehidupanmu dengan baik. Aku yakin, dengan seiring berjalannya waktu, kamu pasti akan baik-baik saja."

Semua ucapan Arya padanya membuat Kania tersenyum di balik kesedihannya. Kania menyadari itu, kalau dia tidak sepatutnya larut dalam kesedihan. Walau sedih, tapi ada secercah bahagia yang meyelimuti hatinya. Keinginannya untuk memeluk ibunya, akhirnya bisa terwujud walau itu adalah pelukan terakhirnya. Begitupun dengan ingatan ibunya yang tiba-tiba mengingatnya dan memanggil namanya, itu sudah cukup untuk mengobati kerinduannya walau semua itu adalah panggilan untuk terakhir kalinya.

Kania menghapus air matanya dan mencoba untuk menata hatinya. Sebuah senyuman tiba-tiba terukir di sudut bibirnya. "Ibu, bahagialah di sana. Aku akan selalu mendoakanmu dan berharap kita akan bertemu lagi. Ibu, aku janji akan hidup dengan baik dan menjadi wanita yang baik. Aku ingin menjadi seperti ibu yang begitu menyayangiku walau aku bukanlah putrimu. Terima kasih atas semua kasih sayang dan perhatian ibu padaku. Aku menyayangimu, ibu." Kania kembali menatap pusara dan gundukan tanah yang masih basah itu. Air mata yang memaksa untuk keluar, tak mampu dia tahan hingga air bening itu jatuh membasahi wajahnya.

"Menangislah, setelah itu hapuslah air matamu dan angkat kepalamu. Ayo, sebaiknya kita pulang, Tania pasti menunggumu." Kania mengangguk dan berjalan meninggalkan tanah pekuburan itu.

Sekali lagi, Kania berpaling dan memandangi makam ibunya. "Ibu, aku menyayangimu," batin Kania yang perlahan meninggalkan tempat itu.

Dari dalam mobil, Kania memandangi tanah pekuburan yang perlahan mulai menjauh. Ada rasa sedih yang tiba-tiba mencuat di hatinya hingga membuatnya menundukan wajahnya, tapi tak lama. Setelah itu, diapun mengangkat wajahnya.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Bastian saat mereka sudah tiba di depan rumah Arya. Bastian tampak khawatir, namun Kania tersenyum dan menenangkan sahabatnya itu.

"Terima kasih, aku baik-baik saja. Pulanglah, kamu pasti lelah."

"Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?" Bastian kurang yakin dengan jawaban sahabatnya itu.

"Percayalah, aku baik-baik saja. Sampaikan salamku buat ibumu, ya. Jangan khawatirkan aku, lagipula bukan baru sekali ini saja aku kehilangan, kan? Ayo, pulanglah, nanti aku akan menghubungimu." Kania tersenyum dan berusaha meyakinkan sahabatnya itu kalau dia baik-baik saja. Walau khawatir, tapi Bastian berusaha untuk mempercayainya.

"Baiklah, aku percaya padamu. Arya, aku titip Kania padamu. Kalau dia menangis lagi, hubungi aku."

Arya mengangguk. "Jangan khawatir, Kania akan baik-baik saja."

Bastian kemudian pergi setelah memeluk sahabatnya itu.

"Ayo, kita masuk."

Baru saja mereka masuk ke dalam rumah, Tania tiba-tiba berlari ke arah mereka dengan wajah yang terlihat gembira. "Mama, Papa." Gadis kecil itu lantas memeluk Kania.

"Jangan ganggu Mama dulu, ya. Sini, biar Papa yang gendong."

"Tidak mau, Tania mau digendong sama Mama." Gadis kecil itu menolak digendong oleh ayahnya. Arya berusaha mengambilnya dari gendongan Kania, tapi Kania melarangnya.

"Biarkan saja, aku tidak apa-apa. Nanti aku akan membujuknya."

Benar saja, setelah Kania membujuknya, gadis kecil itu tampak bermain sendiri seakan dia paham dengan kesedihan yang sedang dialami oleh Kania.

Sementara Tania bermain, Kania masuk ke dalam kamar dan segera mandi. Di depan kaca, Kania memandangi wajahnya yang tampak kusut dengan mata yang sembab. Guyuran air shower membuat tubuhnya yang sedari tadi penat terasa segar kembali. Kesedihan yang masih menjalar di hatinya, berusaha ditepisnya dengan senyuman walau terlihat dipaksakan. "Aku pasti bisa melewati cobaan ini. Aku akan hidup dengan bahagia agar ibu bangga padaku. Aku janji, ibu." Kania mengusap wajahnya, mencoba menyingkirkan kesedihan di wajahnya itu.

Dengan langkah pasti, Kania menemui Tania yang sedang bermain. Setidaknya, kesedihannya bisa sedikit terobati dengan tawa gadis kecil itu. Arya yang melihat Kania tersenyum dan bercanda dengan putrinya, cukup merasa kagum dengan ketabahan hati gadis itu.

"Apa boleh Papa ikut bermain?" Arya menghampiri mereka sambil duduk di lantai.

"Boleh, Pa. Kalau begitu, Tania mau Mama dan Papa jadi pengantin. Nanti Tania yang dandani." Tania tersenyum antusias. Gadis kecil itu meraih tangan Kania dan memintanya duduk di samping ayahnya.

Walau agak sungkan, Arya tak bisa menolak. "Aku minta maaf, seharusnya tadi aku tidak usah ikut bermain," bisik Arya pada Kania.

Mendengar keluhannya, Kania hanya tersenyum. "Tak apa, lagipula aku tidak keberatan asalkan Tania bahagia."

Arya memandangi Kania yang sedang dipakaikan bedak oleh Tania. Wajahnya yang polos, kini terlihat menor karena bedak yang dioleskan Tania padanya. Tak hanya itu, bibirnya yang awalnya merah alami, kini terlihat merah mencolok karena diolesi pemerah bibir.

"Mama sudah terlihat cantik, iya kan, Pa?"

Arya mengangguk sambil menahan tawa. "Iya, Mama sudah terlihat cantik," jawab Arya yang membuat Kania ikut tersenyum.

"Kenapa tertawa? Coba lihat wajahmu itu." Arya mengambil cermin dan melihat wajahnya. Lelaki itu terkejut saat melihat wajahnya yang penuh dengan bedak. Belum lagi bibirnya yang di penuhi pemerah bibir yang terlihat tak beraturan.

"Papa ganteng, kan?" tanya Kania pada gadis kecil itu yang tertawa saat melihat ayahnya memanyunkan bibirnya.

"Mama dan Papa sangat lucu." Tania kembali tertawa hingga wajahnya memerah. Tak hanya itu, Bi Suri yang kebetulan lewat di depan mereka juga tampak menahan tawa.

Melihat putrinya yang menertawainya, Arya kemudian memeluknya dan menggelitiknya hingga Tania berontak di atas lantai.

Kania tersenyum saat melihat kedekatan ayah dan anak itu. Sesaat, dia ikut merasa bahagia melihat kebahagiaan mereka.

Begitupun dengan Arya yang terlihat bahagia, karena momen seperti ini sangat dia dambakan. Momen di mana keluarganya terasa utuh dengan kehadiran seorang wanita. Wanita yang menyayangi putrinya dengan tulus.

"Bagaimana kalau kita foto bersama, Tania mau, kan?" Arya mengeluarkan ponselnya dan bersiap untuk foto. Di depan kamera, yang terlihat hanya dirinya dan Tania, sedangkan Kania terlihat menghindar.

Tania yang menyadari itu lantas bangkit dan meraih tangan Kania. "Ma, ayo kita foto bersama. Mama jangan jauh-jauh dari Tania dan Papa." Kania lantas diajak olehnya dan mereka bertiga berfoto bersama.

Tak hanya sekali mereka berfoto, tapi berulang kali. Senyum dan tawa mereka terukir jelas di setiap lembaran foto. Mereka terlihat begaikan sebuah keluarga kecil yang bahagia.

"Sekarang, Mama dan Papa foto bersama." Tania meraih tangan ayahnya dan memintanya untuk memeluk Kania. Sontak, Arya terkejut saat Tania meminta hal itu padanya.

"Tidak perlu, kan foto kita sudah banyak." Arya mencoba mengelak secara halus, tapi Tania tetap memaksanya.

"Ayolah, Pa, peluk Mama." Tania terus memaksa sambil merengek di depannya.

"Sudah, jangan menangis lagi. Baiklah, Papa dan Mama akan foto bersama." Kania lantas melirik ke arah Arya dan memintanya untuk memeluknya. "Lakukan saja, aku tidak mengapa."

"Ayo, Pa. Cepat peluk Mama."

"Iya, iya." Dengan sedikit ragu, Arya melingkarkan tangan kanannya di bahu Kania dan merangkulnya.

"Nah, begitu dong, Pa."

Setelah beberapa kali foto, akhirnya mereka berdua terlepas dari paksaan Tania yang membuat Arya menjadi canggung. Sementara Tania, terlihat senyum-senyum sendiri saat melihat kembali hasil foto mereka.

Kania masuk kamar mandi dan membersihkan wajahnya. Begitupun dengan Arya yang masuk ke kamarnya. Di depan cermin, Arya melihat wajahnya yang tampak berantakan itu. Seketika dia tersenyum saat mengingat kejadian tadi. Dia merasa seakan mempunyai keluarga yang utuh.

Walau wajah Kania terlihat menor dengan bedak tebal dan pemerah bibir tak beraturan, namun di matanya, Kania tampak cantik dengan senyum manisnya. Wajah gadis itu terlihat menawan dengan tingkah polosnya tanpa dibuat-buat. "Ah, apa aku sudah gila? Kenapa aku bisa memikirkannya?" Arya kemudian membasuh wajahnya dan mencoba menghapus hayalan sesaatnya itu. Hayalan yang perlahan mulai mengganggu hatinya.

Terpopuler

Comments

Rini Widyaningsih

Rini Widyaningsih

Semoga abis kesedihan yg beruntun ada kebahagian yg menyambutmu Kania

2020-11-21

0

Waryana Ryana

Waryana Ryana

Baper Thor 😥😥😂😂😃

2020-05-04

1

Rhara Ftma

Rhara Ftma

Ya ampun thor...kasihan Tania, ternyata dia bukan anak kandung mereka...

2020-03-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!