Baru saja Kania pergi, Arya tiba-tiba menelepon ke rumah sekadar menanyakan keadaan putrinya. "Kenapa Bibi yang angkat? Mana Kania?"
"Kania lagi ke rumah sakit, Tuan. Dia di telepon oleh dokter." Arya terkejut. Pantas saja saat Arya menghubunginya, ponselnya tidak diangkat.
"Tania baik-baik saja, kan, Bi ?"
"Iya, Tuan. Tania lagi bermain."
"Ya sudah, tolong jaga Tania, ya, Bi." Arya menyudahi teleponnya dan bergegas keluar dari ruangan kantornya.
"Tia, aku keluar sebentar."
"Baik, Pak."
Arya kemudian naik ke mobilnya dan menuju ke rumah sakit. Setibanya di sana, lelaki itu berjalan menuju ruangan yang ditempati oleh ibunya Kania. Di depan ruangan itu, Arya terkejut saat melihat Kania yang sudah dicekik ibunya sendiri. Spontan, Arya langsung memanggil beberapa orang perawat dan segera berlari ke dalam ruangan dan mencoba melepaskan tangan ibunya yang masih mencekik leher Kania.
Dengan bantuan beberapa orang perawat, akhirnya Kania terbebas dan gadis itu terlihat menangis. "Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu diam saja saat dicekik seperti itu?" Arya terlihat panik, tapi jawaban Kania membuat hatinya tersentuh hingga membuat Arya memeluknya dan membiarkannya menangis dalam pelukannya.
Untuk sesaat, Arya membiarkan Kania menangis dalam pelukannya. Entah apa yang kini dirasakannya saat gadis itu menangis di depannya. Rasa iba dan haru tiba-tiba menyeruak di hatinya hingga tanpa sadar tangannya mengelus lembut punggung gadis itu.
Kania tak mengelak saat Arya mengelus punggungnya. Karena saat ini, dia membutuhkan seseorang untuk tempatnya bersandar dan menumpahkan kesedihannya.
"Maaf, apa tidak sebaiknya kamu memeriksa lehermu itu? Sepertinya lehermu berdarah." Arya kemudian duduk dan memeriksa leher Kania yang sepertinya tergores dan mengeluarkan darah.
"Tidak apa-apa. Luka ini sudah biasa bagiku." Kania hanya membersihkan lukanya itu dengan tisu.
"Jangan membantah. Tunggu di sini, aku akan meminta perawat untuk mengobati lukamu itu." Arya kemudian menemui salah satu perawat dan memintanya mengobati Kania.
Walau sempat menolak, tapi paksaan perawat dan Arya akhirnya membuatnya menurut. Luka goresan itu cukup membuat Kania merasakan perih saat lukanya itu diolesi dengan alkohol. Setelah diobati, perawat itu akhirnya pergi.
Kania masih duduk di depan pintu kamar tempat ibunya dirawat sambil sesekali melihat ibunya dari balik kaca.
"Apa ibumu memang seperti itu?" tanya Arya yang mencoba mencari tahu.
"Apa yang ingin kamu tahu?" Kania menatap Arya dengan wajahnya yang tampak sayu.
"Maaf, kalau kamu tidak ingin menceritakan, aku tidak akan memaksa."
Kania tersenyum kecut dan kembali memandangi ibunya yang kini terbaring tak bergerak. "Ibuku wanita yang hebat. Aku sangat menyayanginya dan apapun akan aku lakukan asalkan ibuku bisa kembali sembuh." Kania terdiam dan menghapus air matanya yang perlahan jatuh.
Dalam keputusasaannya, Kania memandangi Arya yang kini menatapnya. "Apa kamu masih ingin membantuku? Aku tak punya apa-apa untuk membalas apa yang sudah kamu berikan untuk pengobatan ibuku. Walau hidupku aku berikan untukmu, rasanya tak sebanding dengan apa yang sudah kamu berikan untukku, karena ibuku adalah kehidupanku. Aku rela jika harus mati untuknya. Aku ... " Kania tak mampu lagi untuk berkata-kata. Suara isakan tangisnya kian memilukan. Wajahnya hanya menunduk dan sesekali menghapus air matanya.
"Tenanglah, jangan menangis lagi. Aku akan tetap membantumu. Berapapun biaya pengobatan ibumu, aku akan berikan. Aku tidak tahu seperti apa masa lalumu, tapi yang aku tahu aku membutuhkanmu untuk tetap ada di sisi keluargaku. Sudahlah, jangan pikirkan apapun." Arya mencoba menguatkannya dan tiba-tiba saja dia terkejut saat Kania memeluknya dengan erat.
"Terima kasih. Terima kasih karena sudah percaya padaku. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika tidak bertemu denganmu. Aku berjanji akan selalu ada buat keluargamu hingga kamu tak lagi memerlukanku." Tangis Kania kian menjadi hingga membuat Arya menjadi bingung. Entah apa yang harus dilakukannya agar tangisan gadis itu berhenti.
Tubuh Kania yang memeluknya erat kemudian dirangkulnya. Walau canggung, tapi rasa iba dan haru saat melihat Kania menangis seakan memaksanya untuk memeluknya.
"Apa tidak sebaiknya kita mendengar penjelasan dokter?" Perlahan, Kania melepaskan pelukannya dan mengangguk.
"Kalau begitu, ayo, kita ke ruang dokter." Sambil merangkul Kania, mereka berjalan menuju ruangan dokter yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Rupanya, dokter sudah menunggu mereka di ruangannya.
"Dok, bagaimana dengan keadaan ibuku?"
"Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi sepertinya ini akan sulit karena virus kanker di dalam tubuhnya berkembang sangat cepat. Apalagi, imun di dalam tubuhnya sudah tidak bisa menangkal virus karena faktor usia. Dan, saya ingin meminta maaf, karena ternyata kamu tidak bisa mendonorkan sum-sum tulang belakang karena ternyata golongan darah kalian tidak sama. Dan ... " Dokter itu menghentikan kalimatnya.
"Katakan saja ,dok. Aku akan menerima apapun itu." Kania berusaha tegar, walau di dasar hatinya dia merasakan takut yang luar biasa. Dia takut jika ibunya akan meninggalkannya.
Walau sulit, akhirnya dokter itu mulai menjelaskan kembali apa yang harus diketahui oleh Kania. "Sebelumnya saya ingin bertanya. Kalau boleh tahu, apa golongan darah ayahmu?"
"Golongan darah ayah O dan ibu juga O. Memangnya ada yang salah, dok?"
"Sebelumnya saya minta maaf, tapi sebaiknya kamu harus tahu. Golongan darahmu tidak sama dengan mereka. Kamu mempunyai golongan darah AB, sedangkan orang tuamu golongan darah O. Kamu mengerti maksud saya, kan?"
Kania terdiam. Ucapan dokter itu bagaikan sebuah sembilu yang menyayat hatinya. Rasanya sakit hingga membuatnya ingin mati dan meninggalkan dunia ini.
"Kania." Arya menyentuh bahunya dan mengelus punggung gadis itu.
"Itu tidak benar, kan, dok? Coba periksa sekali lagi, dok. Aku yakin itu ada kesalahan. Mereka itu ayah dan ibuku. Aku anak mereka, dok. Dokter pasti salah." Tubuh Kania bergetar. Air matanya tampak membendung di pelupuk matanya dan air bening itu keluar tanpa bisa dibendung lagi olehnya.
"Tidak mungkin, dok. Mereka orang tua kandungku. Aku anak mereka, dok." Kania bangkit dan keluar dari ruangan dokter dengan kaki yang sudah tak bisa lagi dilangkahkan. Pandangan matanya terasa samar, hingga tubuhnya ambruk terkulai tak sadarkan diri di lantai.
"Kania." Arya lantas mendekatinya dan segera membawanya ke sebuah ruang inap pasien. Di atas tempat tidur rumah sakit, Kania terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya terlihat pucat dan sayu.
"Dok, apa benar kalau Kania bukan anak kandung mereka?"
"Benar, Pak. Saya sudah mengecek data-data mereka yang saya dapat dari dokter yang merawat ibunya saat masih di Rumah Sakit Jiwa. Awalnya, saya juga tidak percaya dan mengeceknya berulang kali, tapi kenyataannya Kania memang benar bukanlah anak kandung mereka."
Karena kondisi Kania yang lemah, akhirnya dokter memasangkan jarum infus di punggung tangannya. Berita itu ternyata membuat kondisi Kania menjadi tidak stabil hingga membuatnya tidak sadarkan diri.
Arya duduk di sisi tempat tidur dan memandangi wajah Kania yang tampak pucat. Sisa air mata yang masih basah di wajah Kania perlahan dihapusnya. Timbul rasa iba saat melihat Kania lemah tak berdaya. Senyuman yang selama ini menghiasi wajahnya, kini tak lagi terukir. Yang terlihat hanya raut kesedihan dan keputusasaan.
"Apa kehidupanmu sungguh serumit ini? Kamu rela melakukan apapun untuk ibumu, tapi ternyata dia bukanlah ibu kandungmu. Kania, bersabarlah dan terimalah kenyataan ini walau aku tahu itu sangat sulit buatmu."
Karena penasaran dengan kehidupan Kania, Arya kemudian menghubungi Bastian sekadar untuk memberitahukan tentang keadaan sahabatnya itu. Bastian cukup terkejut saat mendengar kabar tentang Kania. Tak menunggu lama, lelaki itu kemudian meluncur ke rumah sakit.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Bastian yang baru saja masuk ke dalam ruangan di mana Kania dirawat.
"Dia masih lemah, makanya dia belum juga siuman, tapi jangan khawatir. Kata dokter, sebentar lagi dia akan siuman." Jelas Arya sambil memandangi Bastian yang terlihat panik. Lelaki itu tampak sedih saat melihat Kania terbujur tak sadarkan diri.
"Apa yang terjadi padanya?" Bastian memandangi Arya seakan ingin meminta penjelasan darinya.
"Sebaiknya, kita bicarakan di luar." Arya bergegas keluar dari kamar dan diikuti Bastian. Mereka lantas duduk di kursi depan koridor.
"Jelaskan padaku, apa yang terjadi pada Kania."
"Sebelumnya, aku ingin bertanya, apakah kamu tahu tentang keluarga Tania?"
Bastian mengangguk. "Aku mengenal Tania sejak kelas 2 SMA dan aku juga mengenal baik ayah dan ibunya. Tunggu dulu, memangnya ada apa kamu bertanya seperti itu?"
Arya terdiam sesaat. "Apa kamu tahu kalau Kania bukan anak kandung mereka?"
Bastian terkejut. "Siapa yang mengatakan hal konyol itu padamu?"
"Jawab saja pertanyaanku. Apa kamu juga tidak tahu kalau sebenarnya, Kania bukanlah anak kandung mereka?"
"Sungguh, aku tidak tahu menahu tentang hal itu." Bastian tampak terkejut, bahkan tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Arya padanya.
"Kalau tidak keberatan, apa kamu bisa menceritakan padaku masalah yang sebenarnya dialami oleh Kania?"
Bastian terlihat menundukan wajahnya. Rasanya, begitu sulit untuk menerima kenyataan kalau sahabatnya itu akan mendengar dan mengalami kembali kepedihan dalam hidupnya. Tak di nyana, Bastian menitikan air mata.
"Kania gadis yang sangat baik. Dia adalah satu-satu sahabatku yang masih bertahan hingga sekarang. Dulu, di saat aku susah, dia yang selalu membantuku. Di saat aku membutuhkan uang untuk biaya sekolah, dia juga yang selalu membantu dengan menyisihkan uang tabungannya. Kehidupan keluarga mereka di saat itu terbilang sangat mampu. Ayahnya mempunyai perusahaan yang cukup besar di saat itu. Hingga semua itu terjadi. Ayahnya ditipu oleh sahabatnya sendiri hingga membuatnya bangkrut. Rumah, mobil, dan semua milik mereka habis dijual untuk membayar hutang. Saat itu, Kania masih kuliah, hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti kuliah dan bekerja untuk membantu membayar hutang ayahnya." Bastian menghentikan kalimatnya sembari menghapus air mata yang perlahan jatuh.
"Walau Kania bekerja, uang yang dihasilkannya selalu habis untuk membayar hutang judi ayahnya. Karena stres, ayahnya mulai sering mabuk dan berjudi. Hingga suatu hari, kejadian itupun terjadi. Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan memukuli ibunya. Kania yang baru saja pulang kerja tak luput dari pukulan ayahnya. Kania yang berusaha untuk melerai rupanya membuat ayahnya marah. Ayahnya lantas mengambil balok kayu dan hendak menghantamkannya pada Kania, tapi ibunya tiba-tiba menusuk perut suaminya itu dengan pisau hingga tewas. Ibunya di dakwa tujuh tahun penjara dan Kania hidup seorang diri. Tak sampai di situ, Kania harus menerima kenyataan pahit karena ibunya harus dibawa ke Rumah Sakit Jiwa karena mengalami kelainan mental." Bastian kembali terdiam. Rasanya, dia tak mampu lagi untuk melanjutkan kisah sedih sahabatnya itu.
Arya yang sedari tadi mendengarkan penuturan Bastian tak mampu untuk berkata-kata. Rasanya, kesulitan hidupnya tak sebanding dengan penderitaan Kania. Kehilangan istrinya yang bagaikan sebuah pukulan berat dalam hidupnya ternyata tak sebanding dengan Kania yang harus kehilangan kedua orang tuanya. Ditambah dengan kenyataan pahit yang baru saja diketahui oleh Kania hingga membuat tubuhnya lemas tak sadarkan diri.
"Aku rasa untuk selanjutnya kamu sudah tahu. Jujur, aku sangat senang saat tahu kalau kamu mau membantunya membiayai pengobatan ibunya. Andai aku punya uang, aku pasti akan memberikan semua uangku padanya, tapi aku hanya pemuda miskin yang harus menghidupi ibu dan ketiga saudariku. Aku tak punya apa-apa untuk membantunya. Aku hanya punya bahu dan pelukan yang bisa aku berikan untuknya bersandar." Bastian kembali menghapus air matanya. Lelaki itu tak kuasa menahan tangis hingga membuat Arya ikut menitikan air mata.
Persahabatan yang terjalin hampir 10 tahun itu rupanya sangat berarti bagi Bastian. Dia sudah berjanji untuk selalu ada dan menjaga sahabatnya itu.
Melihat Bastian menangis, Arya hanya bisa menepuk bahunya pelan dan bangkit meninggalkan lelaki itu yang terlihat menundukan wajahnya.
Arya kemudian masuk ke dalam ruangan dan memeriksa keadaan Kania. Lelaki itu duduk di samping tempat tidur sambil memandangi wajah Kania yang terlihat pucat. "Bersabarlah, aku yakin semua akan berakhir indah. Aku akan membantumu melewati masa sulit ini." Arya menggenggan tangan Kania dengan erat. Wajah gadis itu terlihat tak berdaya seakan menanggung beban kehidupan yang teramat berat.
Perlahan, Kania membuka matanya dan memandangi sekitar ruangan itu. Walau dalam kepayahan, Kania mencoba untuk duduk.
"Berbaringlah sebentar, kamu masih lemah." Bujuk Arya, tapi Kania tetap memaksa untuk duduk hingga Arya luluh dan membantunya untuk duduk. "Istirahatlah dan jangan banyak bergerak dulu."
Bastian yang menyadari kalau Kania telah sadar lantas masuk ke dalam ruangan itu. Air matanya rasanya tak mampu ditahannya hingga membuatnya segera memeluk Kania. Begitupun dengan Kania saat melihat Bastian di depannya. Kedua tangannya diulurkan pada Bastian seakan meminta dipeluk oleh sahabatnya itu.
Di dalam pelukan Bastian, Kania menangis. Isakan tangisnya terasa memilukan. Kedua sahabat itu menangis hingga membuat Arya memilih keluar dari ruangan itu dan duduk di depan koridor.
Ah, entah apa yang kini dirasakan olehnya. Rasanya, dia tidak tahan melihat Kania menangis. Isakan tangis, buliran air mata, dan wajah sedih gadis itu telah meluluhkan hatinya. Perasaan aneh kini merasuk di hatinya dan dia sendiri bingung dengan perasaannya itu. Apakah itu hanya sebatas kasihan dan rasa iba ataukah sesuatu yang sudah lama tak dirasakannya. Sesuatu yang membuatnya merasa bahagia dan juga derita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Aqua_Chan
sedih euy
2023-09-30
0
clarino quinto
sedih,membuatku ikut menangis😭😭
2023-05-15
0
Rini Widyaningsih
Thor....sungguh teganya....teganya...teganya
dirimu membuatku menangis😭
2020-11-21
0