Part 5

Kedatangan Arya ke toko karena ingin bertemu dengan Kania. Dia ingin berterima kasih pada gadis itu, tapi nyatanya dia harus kecewa karena Kania sudah tidak lagi bekerja di toko itu. "Apa aku harus meneleponnya?" Arya menatap layar ponselnya yang sudah tertuju pada nomor yang baru saja disimpannya itu.

Tanpa menunggu lama, Arya kemudian menghubungi nomor itu, tapi tidak ada jawaban. Teleponnya tidak diangkat. "Apa dia sedang sibuk?" Arya menutup teleponnya dan kemudian melajukan mobilnya menuju tempat kerjanya.

Sementara itu, Kania sedang berkeliling sambil mencari lowongan pekerjaan. Ponselnya sengaja diheningkan agar tidak mengganggunya.

Sudah beberapa toko dan perusahaan swasta yang dikunjunginya, tapi mereka tidak menerima pegawai baru. Ada rasa kecewa di hatinya saat ditolak, tapi apalah dayanya karena memang dia tidak dibutuhkan.

Di depan sebuah kafe, langkahnya terhenti. Matanya melebar saat membaca sebuah lowongan pekerjaan yang terpampang di kaca kafe itu. Tanpa menunggu lama, Kania lalu masuk dan menemui seorang lelaki yang berdiri di meja kasir. "Maaf, Pak. Apa benar kafe ini menerima pegawai baru?" tanya Kania yang membuat lelaki itu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kakinya.

"Kamu sudah membaca persyaratannya, kan?"

Kania mengangguk. "Sudah, Pak."

Kania kemudian mengeluarkan ijazahnya dan ingin menunjukan pada lelaki itu, tapi dia menolak. "Itu tidak perlu. Kami tidak butuh ijazahmu. Kamu hanya perlu tanda tangani surat pernyataan ini." Lelaki itu menyodorkan selembar kertas yang tanpa membacanya, Kania langsung menandatanganinya.

"Sekarang, gantilah pakaianmu di ruang ganti. Sebentar lagi, kafe akan segera dibuka." Lelaki itu memberikannya sebuah setelan baju. Kania mengambilnya dan berjalan menuju ruangan di bagian belakang. Terlihat satu ruangan kecil yang biasa digunakan para pegawai untuk mengganti baju.

Di depan cermin, Kania memandangi dirinya yang kini sudah memakai baju yang diberikan lelaki itu padanya. "Apa tidak salah aku harus memakai baju ini?" Kania terlihat sexy dengan baju kafe yang berwarna pink. Bagaimana tidak, baju yang mirip dipakai oleh sailoor moon ala-ala jepang dengan rok pendek dan lengan pendek itu terlihat seksi di tubuhnya. Tubuhnya yang putih dan mulus seakan sengaja dipertontonkan hingga membuatnya enggan keluar dari ruang ganti itu.

"Kenapa? Apa kamu malu?" tanya seorang gadis yang berjalan mendekatinya.

"Ayolah, aku juga dulu malu saat pertama memakai baju itu, tapi lama kelamaan kamu juga akan terbiasa. Tenang saja, wajahmu cukup cantik dan aku rasa kamu pasti akan ditaksir laki-laki kaya yang berkunjung di kafe ini." Gadis itu tersenyum sambil mengangkat roknya ke atas seakan dia sengaja ingin memperlihatkan pahanya yang mulus itu.

"Bukankah, tugasku hanya membawakan pesanan buat pelanggan?"

Gadis itu tertawa mendengar pertanyaan Kania. "Apa kamu tidak baca tugasmu yang lainnya?"

"Tugas? Tugas apa?" Kania penasaran dan bertanya pada gadis itu.

"Sudahlah, nanti kamu akan tahu sendiri. Ayo, kita pergi." Gadis itu menarik tangan Kania dan membawanya ke ruangan kafe yang terlihat mulai ramai.

Kania terkejut saat melihat pengunjung kafe yang semuanya adalah laki-laki. Tak hanya itu, ruangan yang awalnya di terangi lampu kini terlihat remang-remang. "Ya Tuhan, kenapa aku bisa bekerja di tempat ini?" Kania tidak bisa lagi berpikir hingga membuatnya diam terpaku, hingga dia dikejutkan dengan tangan seorang lelaki yang menarik tangannya dengan paksa.

"Kamu gadis baru, ya?" Lelaki itu menatapnya dengan sorot mata yang terlihat penuh gairah. Rupanya, kecantikan Kania telah menggodanya.

"Ayo, temani aku di mejaku." Lelaki itu menarik tangan Kania dan memaksanya duduk di salah satu meja yang sudah dipenuhi aneka makanan ringan dan beberapa botol minuman berakohol.

Kania merasa risih dan berusaha untuk menghindar dari tatapan lelaki itu. Melihat gadis-gadis lain yang tampak tertawa pada pelanggan, membuat Kania bergidik. "Apa tempat ini adalah tempat pelacuran?" Kania menepis prasangkanya itu walau rasa takut mulai menyelimuti hatinya.

Melihat Kania yang hanya diam membuat lelaki itu mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan padanya. "Ambil uang itu dan temani aku minum. Aku tahu kamu baru di sini, karena itu aku akan memperlakukanmu dengan baik." Kania melihat uang itu yang kini ada di tangannya. Sesaat, dia tergiur dengan uang itu. Jumlahnya cukup lumayan, sebanding dengan setengah gajinya di toko kosmetik tempat dia bekerja dulu.

"Ayo, tuangkan aku minuman." Tangannya gemetar saat mengangkat sebuah botol minuman dan dituangkan ke dalam gelas. Melihat keluguan Kania, lelaki itu tersenyum. "Aku suka dengan gadis lugu sepertimu." Tangan lelaki itu menyentuh dagu Kania dan Kania menepis tangannya itu.

"Aku akan menemanimu, tapi bersikap sopanlah padaku." Ucapan Kania membuat lelaki itu tertawa hingga dirinya ditatap semua pengunjung.

"Baiklah, baiklah. Aku akan sopan dan lembut padamu."

Melihat situasi di dalam kafe membuatnya semakin takut. Waktu yang terus berjalan membuat Kania merasa sudah sangat tidak nyaman. Terlebih lagi saat hari mulai gelap, para pengunjung semakin bertambah hingga membuat Kania semakin panik. "Apa yang harus aku lakukan?"

Lelaki yang tadi siang bersamanya belum juga beranjak dan menginginkan Kania yang menemaninya. Walau lelaki itu tidak berbuat kurang ajar padanya, tapi lelaki yang lain tampak menatapnya seakan ingin menerkamnya. "Pak, aku ke belakang dulu." Lelaki itu menatapnya sejenak dan tersenyum padanya.

"Pergilah dan cepat kembali lagi ke sini."

Kania lantas bangkit dan berjalan menuju ruang ganti di mana tasnya berada. Diambilnya ponselnya dan segera menelepon Bastian untuk menjemputnya. "Halo, Bas. Tolong aku, aku ada di Kafe Jasmin dan aku tidak bisa keluar. Aku tidak tahu kalau tempat ini ... " Tiba-tiba saja Kania tidak melanjutkan kalimatnya karena seseorang sudah berdiri di sampingnya dengan memegang sebotol minuman di tangannya.

"Kenapa Anda bisa masuk ke sini? Ini adalah ruang ganti untuk pegawai kafe." Kania kemudian berusaha keluar dari ruangan itu, tapi tangan lelaki itu segera meraih tubuhnya dan menuangkan minuman ke mulut Kania secara paksa. Kania berontak hingga membuat ponselnya terlepas. Di ujung telepon, orang yang dihubungi Kania bisa dengan jelas mendengar suara Kania yang mencoba untuk berontak.

Tanpa menunggu lama, diapun melaju dengan mobilnya dan menelepon beberapa orang kepercayaannya dan menuju ke Kafe Jasmin, kafe yang tadi disebut oleh Kania. Orang yang ditelepon Kania ternyata adalah Arya. Karena buru-buru, Kania tidak melihat nomor yang dihubunginya. Karena Arya tadi sempat meneleponnya, maka nomor lelaki itu terpampang di ponselnya dan gadis itu berpikir kalau itu adalah nomor Bastian karena rasa takut yang sudah mengganggunya hingga membuatnya tidak memperhatikan nomor itu.

Tak menunggu lama, Arya masuk ke dalam kafe dengan beberapa lelaki yang terlihat berotot. Arya tahu, tempat itu adalah tempat pelacuran yang berkedok sebuah kafe. Arya berjalan ke ruang belakang dan mendapati Kania yang sedang duduk menangis sambil menekuk lututnya. Dengan segera, Arya mendekatinya dan menutupi tubuh gadis itu dengan menggunakan jasnya. "Apa kamu baik-baik saja?" Arya terlihat panik saat melihat sudut bibir gadis itu yang berdarah.

"Untuk saat ini dia baik-baik saja. Untung saja aku cepat datang, kalau tidak lelaki brengsek itu pasti sudah menodainya." Seorang gadis tampak berdiri di belakang mereka dengan membawa tas dan ponsel Kania yang tadi sempat terjatuh.

"Dia mungkin sedang mabuk, karena lelaki itu meminumkan minuman alkohol secara paksa padanya. Sebaiknya, bawa dia pergi dari sini karena dari tadi aku lihat dia menangis dan menyebut-nyebut ibunya."

Arya kemudian mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya keluar. "Berikan mereka uang itu dan katakan pada mereka kalau gadis ini tidak akan pernah kembali ke tempat ini lagi," ucapnya pada seorang lelaki yang tadi ikut dengannya.

"Baik, Bos." Sebuah amplop dilemparkan di atas meja kasir. Terlihat wajah bahagia di wajah lelaki yang ternyata pemilik kafe itu.

Arya kemudian meletakkan tubuh gadis itu di jok belakang mobilnya. Dan dia sendiri duduk di kursi kemudi. Tak lupa, dia memerintahkan beberapa lelaki yang datang dengannya itu untuk kembali.

Di dalam mobil, Arya memandangi Kania dari balik kaca spion dalam mobil. Kania yang rupanya meminum cukup banyak minuman alkohol, tampak mabuk dan meracau. Sesekali dia menangis sambil memanggil ibunya. Setelah itu, dia menyebut nama Bastian sambil meminta maaf. Arya melihat tingkah gadis itu yang sering menangis hingga membuatnya iba. "Sebenarnya, apa yang terjadi dengan gadis ini? Kenapa dia selalu menangis?" batinnya sambil memperhatikan Kania yang kini telah terdiam.

Mobil yang dikendarainya berhenti di depan halaman rumahnya. Kania yang kini tertidur kemudian diangkat olehnya dan membawanya ke dalam kamar tamu. Baru saja tubuhnya diletakkan di tempat tidur, Kania tiba-tiba membuka matanya. Sontak, Arya terkejut saat Kania memandanginya. Sorot matanya terlihat tajam dengan wajahnya yang memerah. Dengan sekali gerakan, Kania menarik dasi yang dipakai Arya dan mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki itu hingga Arya terduduk di depannya. "Apa kamu juga ingin memberiku uang? Aku butuh uang, tapi aku bukan wanita murahan. Aku butuh uang, tapi aku akan bekerja bukan menjual diri." Kania menatap lurus ke arahnya dengan air mata yang perlahan jatuh. Bau alkohol dari mulut Kania tak lagi dihiraukannya, karena saat ini yang menjadi perhatiannya hanya air mata yang mengalir di sudut mata gadis itu.

"Apa kamu mendengarku?" Kania masih belum melepaskan dasi dari tangannya dan tatapan mereka masih saling beradu.

"Aku mendengarmu, katakan saja apa yang ingin kamu katakan, aku akan mendengarnya."

Kania tersenyum dan langsung memeluknya, sontak saja Arya terkejut dan ingin melepaskan pelukan gadis itu, namun tiba-tiba saja Kania menangis sambil mengeratkan pelukannya. "Aku ingin mati, tapi aku takut mati. Aku kesepian karena aku selalu sendirian. Aku ingin menangis, tapi aku tak punya tempat untuk bersandar. Aku selalu menderita, tapi aku juga ingin bahagia. Aku ingin mencintai, tapi siapa yang akan aku cintai. Aku ingin tidur dan tak ingin bangun lagi, tapi aku tidak bisa tidur karena mataku tak ingin terpejam. Aku lelah karena harus bekerja, tapi aku tidak boleh mengeluh." Kania terdiam dan tak melanjutkan kalimatnya. Hanya isakan tangis yang terdengar dengan kedua tangannya yang memeluk Arya dengan erat.

Mendengar isakan tangis Kania membuat Arya merasa iba. Walau dia sendiri tidak tahu apa maksud dari ucapan gadis itu, tapi dia tahu kalau gadis itu sedang mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya.

"Ibu, aku merindukan pelukanmu. Aku ingin memelukmu, ibu." Kania menangis dan belum melepaskan pelukannya dari Arya, seakan saat ini dia sedang memeluk ibunya. Arya yang merasa iba, kemudian membalas memeluknya dan Kania begitu tenang dipelukannya itu hingga membuatnya tertidur dalam pelukan Arya.

Wajah Kania terlihat teduh saat dia tertidur. Di wajahnya, masih tersisa air mata yang masih basah. Dengan lembut, Arya menghapus sisa air mata itu dan melihat seraut wajah cantik nan sederhana.

Tubuh Kania lalu diangkat olehnya dan dibaringkan di tempat tidur dan ditutupi selimut. Di samping tempat tidur, Arya masih berdiri dan memandanginya. "Tidurlah dan lupakanlah semua masalahmu itu." Arya kemudian keluar dari kamar dan berjalan menuju ke kamar Tania.

Dilihatnya gadis kecilnya itu yang tertidur pulas. Terlihat senyuman di sudut bibirnya saat melihat wajah putrinya itu. Dengan lembut, Arya mengecup pipinya dan membelai lembut wajahnya. "Tidurlah, Nak. Bermimpilah yang indah. Papa sangat menyayangimu dan Papa harap kamu akan selalu bahagia walau tanpa seorang ibu." Terlihat air bening keluar dari pelupuk matanya.

Arya kemudian keluar dari kamar Tania dan berjalan menuju ke kamarnya. Jas hitam tak lagi dipakainya. Yang tersisa hanya kemeja putih dan dasi yang hampir terlepas karena ditarik oleh Kania. Tangannya yang kekar perlahan memegang dasi itu dan dia merasakan kembali setiap helaan nafas gadis itu di telinganya. Tak hanya itu, isak tangis gadis itu di dalam pelukannya kembali mengusik hatinya. "Arya, sadarlah. Dia hanya wanita yang menyelamatkan putrimu. Ingatlah Rani, karena tidak ada wanita manapun yang pantas menggantikan Rani." Arya mengucap kata-kata itu untuk dirinya sendiri. Dia tidak ingin hatinya goyah karena baginya, Rani adalah wanita pertama dan terakhir untuknya.

Arya masuk ke dalam kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Tetesan air dari shower bagaikan penyejuk hatinya yang kini tengah dilanda kerinduan. Kerinduan akan sang istri yang tak mungkin lagi bisa dipeluknya. Entah mengapa, sejak pertemuannya dengan Kania, lelaki itu tiba-tiba merasakan kerinduan pada istrinya yang sudah beberapa tahun ini tak dirasakannya. Dan pelukan itu, kembali meluluhkan hatinya. Mungkinkah, lelaki itu telah jatuh cinta?

Terpopuler

Comments

novili alfa

novili alfa

ga akan bisa dipungkiri, siapapun kita, brp,pun umur kita, kita butuh pendamping untuk berbagi, krn ada hal2 yg hanya bisa kita bagi dengan pasangan, bukan anak, orgtua, ataupun orglain 💕💜

2022-03-30

0

Rini Widyaningsih

Rini Widyaningsih

Cerita ini penuh dgn air mata. Aku siapin tissue banyak thor

2020-11-21

1

Jingga Annida

Jingga Annida

wuihh... bermain dgn air mata lagi kita...

2020-05-09

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!