Kania membuka matanya. Dia tersentak saat mendapati dirinya di atas ranjang. Kepalanya rasanya mau pecah dan tubuhnya bagaikan remuk tak bertulang. "Tunggu dulu! Aku tidak di hotel, kan?" Kania tampak panik dan mengangkat selimut secara perlahan-lahan dan berharap dia masih mengenakan pakaian. Gadis itu mengembuskan napas lega saat melihat tubuhnya yang masih menggunakan pakaian lengkap. "Ah, syukurlah."
Kania kembali memandangi sekeliling kamar yang terlihat mewah. Walau sedikit pusing, Kania berusaha untuk bangkit dan mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja. Dilihatnya jam dinding dan waktu menunjukan jam 4 pagi. "Di mana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?"
Kania membuka pintu kamar perlahan dan melirik ke arah sekitar. "Tidak ada siapa-siapa. Aku harus segera pergi dari sini." Kania lantas keluar dan menutup pintu kamar itu perlahan. Rumah yang sangat besar itu rupanya membuat Kania menjadi bingung. Dia tidak tahu harus pergi ke arah mana karena banyak sekali pintu di rumah itu. Belum lagi dengan penerangan yang minim karena lampu di dalam rumah itu semua dipadamkan kecuali di beberapa ruangan yang terlihat masih menyala.
Kania berjalan mengendap, perasaan takut menggelayut di hatinya. Dia takut jika ketahuan yang punya rumah, padahal dia sendiri tidak tahu kenapa dia bisa ada di rumah itu. Kania masih terus berjalan, hingga tiba-tiba lampu di ruangan itu menyala. Sontak, Kania duduk bersimpuh di lantai dengan mata yang terpejam. "Aku mohon, jangan sakiti aku. Biarkan aku pergi, aku bukan wanita seperti itu." Kania memejamkan matanya sambil mendekap tasnya seakan ingin menutupi dadanya.
Kania memohon untuk dilepaskan hingga membuatnya menangis. Arya yang berdiri di depannya kemudian mendekatinya dan duduk jongkok di depannya. "Hei, diamlah, nanti Tania terbangun."
Mendengar suara lelaki di depannya membuat Kania segera membuka matanya. Gadis itu terkejut saat melihat seorang lelaki yang kini sedang menatapnya. "Anda?"
"Iya, aku. Bangkitlah dan jangan berteriak karena kamu bisa membangunkan seisi rumah ini." Arya yang sedang memegang segelas air putih di tangannya kemudian menyodorkan gelas itu pada Kania. "Minumlah, kamu pasti haus setelah mabuk semalam."
Kania tampak ragu saat mengambil gelas itu, tapi Arya segera meraih tangannya dan meletakkan gelas itu di tangannya. "Minumlah, air itu hanya air biasa. Lagipula, aku tidak akan berbuat hal buruk padamu di rumahku sendiri." Arya kemudian berjalan dan duduk di meja makan sambil menuangkan segelas air untuknya dan langsung diteguknya.
"Apa kamu lapar? Kalau lapar, makan saja roti ini." Arya menggeserkan sebungkus roti hingga di ujung meja. Kania yang memang sangat lapar lantas bangkit dan duduk di depan meja makan dan mengambil roti di depannya itu.
Tanpa peduli pada lelaki yang duduk di depannya, Kania tampak lahap mengunyah roti pemberiannya. Arya hanya memandanginya dengan bibir yang tersungging sebuah senyuman.
"Kembalilah tidur, besok pagi kita bicara lagi." Arya bangkit dari tempat duduknya dan bergegas menuju ke kamarnya.
"Tunggu!" Arya menghentikan langkahnya dan berbalik memandangi Kania yang berjalan ke arahnya.
"Aku tidak tahu kenapa aku bisa ada di sini dan aku ucapkan banyak terima kasih untuk itu, tapi apa boleh pinjamkan aku bajumu? Aku merasa tidak nyaman dengan baju ini." Kania tampak malu sambil menutupi tubuhnya dengan tasnya.
"Baiklah." Arya kemudian masuk ke kamarnya dan mengambil selembar baju milik istrinya.
"Pakai saja baju ini, aku rasa baju itu pas di badanmu." Kania menerima baju itu seraya mengucapkan terima kasih. Arya hanya mengangguk dan kembali ke kamarnya. Sementara Kania, kembali masuk ke kamarnya dan langsung masuk ke kamar mandi.
Di depan cermin, Kania memandangi dirinya sambil tersenyum sendiri. "Apa tidak salah? Apa aku terlihat seperti ibu-ibu hingga diberi daster ini?"
Benar saja, baju yang diberikan Arya padanya adalah sebuah daster panjang berwarna coklat dengan lengannya yang juga panjang. Walau begitu, Kania tetap terlihat cantik dengan rambut panjang yang diikat asal.
"Jadi, ini adalah rumah gadis kecil itu? Namun, kenapa aku bisa ada di rumahnya? Sebenarnya, apa yang sudah terjadi?" Pertanyaan itu begitu membuatnya penasaran hingga membuatnya tidak sabar untuk bertanya pada lelaki itu.
Kania tidak lagi melanjutkan tidurnya, karena rasa kantuk itu tiba-tiba hilang saat melihat pemilik rumah yang belum lama ini ditemuinya. Jam yang menunjukan pukul 6 pagi membuat Kania ingin segera keluar dari kamar itu dan meminta izin untuk pergi karena dia harus melanjutkan mencari pekerjaan baru.
Kania bangkit dari sisi tempat tidur dan berjalan menuju pintu kamar. Baru saja dia ingin membuka pintu, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. "Nona, apa Anda sudah bangun?" Suara seorang wanita terdengar di balik pintu.
"Apa jangan-jangan, itu istrinya?" Kania terlihat panik karena dia takut akan disebut perusak rumah tangga orang. Secara, wanita asing tiba-tiba ada di rumah mereka.
Kania membuka pintu perlahan. Dengan wajah yang menunduk, Kania keluar dan berdiri di depan wanita itu. "Maaf, aku ... "
"Nona, Tuan sudah menunggu di meja makan." Kania mengangkat wajahnya dan mendapati seorang wanita paruh baya yang berdiri di depannya.
"Oh, baiklah." Kania tersenyum kecut karena apa yang ditakutkannya itu tidaklah terjadi.
Kania berjalan menuju meja makan dan melihat Arya yang sudah duduk dengan setelan jasnya sambil menyeruput secangkir kopi. Arya yang melihat kedatangan Kania langsung mengalihkan pandangan ke arahnya. Sejenak, dia terpaku menatap Kania yang terlihat sederhana tanpa riasan dengan balutan daster milik istrinya. "Duduklah, ada yang ingin aku jelaskan."
Kania kemudian duduk sambil menundukan wajahnya.
"Aku tahu kamu pasti bingung karena berada di rumahku. Jadi, aku ingin menjelaskan padamu. Saat itu, kamu meneleponku dan kamu berpikir sedang menelepon seseorang yang kamu panggil Bas, tapi nyatanya kamu meneleponku. Kamu bilang kalau kamu butuh bantuan karena kamu sedang berada di Kafe Jasmin. Kamu tahu, seperti apa Kafe Jasmin itu?"
Kania semakin menundukan wajahnya karena dia baru tahu kalau kafe itu adalah kafe untuk lelaki hidung belang yang mencari kepuasan dari pegawai kafe yang semuanya adalah perempuan.
"Kalau aku tidak segera ke sana, kamu pasti tahu apa yang akan terjadi padamu. Kamu bisa ... "
"Iya, aku bisa menyesal seumur hidupku." Kania tampak menyesal hingga membuatnya menitikan air mata.
"Aku tidak tahu bagaimana sampai aku bisa meneleponmu, tapi aku sangat bersyukur karena kamu sudah datang menolongku. Aku tidak tahu apa jadinya jika aku masih berada di tempat itu, mungkin saja aku akan mati." Arya menatapnya yang kini menangis hingga membuatnya teringat pada ucapan gadis itu semalam.
"Mulai saat ini, kamu tidak perlu lagi ke sana. Aku tidak tahu masalahmu, tapi jika ingin bekerja, carilah pekerjaan yang halal. Mengerti?" Kania mengangguk sambil menghapus air matanya.
"Sebelum kamu pergi, kamu sarapan dulu dan hutang budi kita sudah impas. Aku sudah menolongmu, jadi aku rasa kita tidak saling berhutang budi lagi." Arya mengeluarkan beberapa lembar uang dan diletakannya di atas meja. "Jangan salah paham. Ambil saja uang itu sebagai pemberian dariku walau aku tahu putriku tak sebanding dengan uang itu."
Kania menatapnya dan mengambil uang itu. "Aku akan menganggap uang ini sebagai gajiku. Baiklah, untuk hari ini aku akan bekerja di sini. Aku akan menyapu, mengepel bahkan mencuci agar uang ini halal bagiku."
Arya memandanginya tanpa mengucapkan sepatah kata. Yang dilihatnya saat ini adalah gadis pekerja keras yang tidak ingin diberi secara percuma. "Lakukan saja apa maumu, tapi hari ini saja, setelah itu kamu boleh pergi."
Kania mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. Baru saja dia melangkah, tiba-tiba Tania muncul sambil berlari ke arahnya. "Mama." Sontak, Kania terkejut saat tubuh mungil Tania memeluk dan merengek di depannya. Bukan hanya Kania, Arya yang masih duduk tak kalah terkejut saat melihat putrinya itu memanggil mama pada gadis itu.
Melihat Tania menangis sambil menatap ke arahnya membuat Kania menjadi iba. Arya yang melihat gadis kecilnya itu merengek pada Kania lantas meraih putrinya itu dan memeluknya. "Sayang, jangan menangis." Arya mencoba membujuk, tapi Tania masih terus menangis dan mengulurkan tangannya pada Kania seakan gadis kecil itu meminta digendong olehnya.
Karena kasihan, Kania mendekatinya. "Berikan dia padaku, aku akan menggendongnya." Kania lantas mengulurkan tangannya pada Tania dan meraih tubuh mungil itu dalam pelukannya. "Sudah, jangan menangis lagi." Kania mendekap tubuh mungil itu sambil mengelus lembut punggungnya. Arya yang melihat mereka hanya bisa terdiam tanpa kata.
"Maaf, apa tidak masalah jika aku menggendongnya? Aku tidak ingin istrimu salah paham padaku." Kania tampak cemas karena takut dicap sebagai wanita perusak rumah tangga orang.
"Berikan dia padaku dan sebaiknya kamu pergi dari sini." Arya meraih Tania dari pelukannya, tapi kembali Tania menangis hingga membuat Arya putus asa.
"Aku minta maaf, tapi kasihan Tania. Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi, tapi berikan Tania padaku, kasihan dia menangis seperti itu." Kania kemudian mengambil Tania dari gendongan Arya dan membujuknya. "Sudah, sudah. Tania jangan menangis lagi, ya. Kakak ada di sini temani Tania." Kania menghapus air mata gadis kecil itu dan mengecup pipinya. Gadis itu terdiam dan melingkarkan kedua tangannya di leher Kania dengan isakan yang masih terdengar.
"Aku tahu kita baru saling kenal, tapi untuk hari ini tolong izinkan aku untuk menemani Tania. Aku akan jelaskan pada istrimu kalau aku hanya sehari di sini, setelah itu aku akan pergi."
"Tidak perlu jelaskan apapun. Baiklah, untuk hari ini aku izinkan Tania bersamamu. Setelah itu, pergilah dari sini."
"Baiklah." Kania tersenyum sambil mengecup pipi Tania. Gadis kecil itu sudah tidak lagi menangis, bahkan dia tertawa di pelukan Kania.
"Tania baru bangun, ya? Kalau begitu, Tania mandi dulu setelah itu baru kita temani Papa sarapan. Mau, kan?" Gadis kecil itu mengangguk sambil tersenyum dan meminta diturunkan dari gendongan Kania. Gadis kecil itu lantas meraih tangan Kania dan mengajak gadis itu menuju ke kamarnya.
Selang setengah jam kemudian, Kania datang bersama Tania yang sudah terlihat menggemaskan. Gadis kecil itu tampak cantik dengan dandanan khas anak kecil dengan rambut yang diikat kuncir dengan hiasan rambut berwarna-warni.
Arya tersenyum melihat penampilan putrinya itu. "Anak Papa sudah cantik." Arya kemudian menggendongnya dan membawanya ke meja makan untuk disuapinya.
"Aku mau makan sama Mama." Tania memandang ke arah Kania yang berdiri tak jauh darinya. Gadis kecil itu kemudian turun dari pangkuan ayahnya dan berlari ke arah Kania. "Ma, aku mau makan itu." Tania menunjuk ke arah roti tawar di atas meja.
"Baiklah." Gadis kecil itu kemudian duduk di sebelah ayahnya dan memandangi Kania yang sedang menyiapkan roti untuknya.
"Aku mau pakai selai cokelat, Ma."
"Oke." Kania tersenyum melihat tingkah gadis kecil itu. Sementara Arya hanya melihat mereka karena merasa diacuhkan oleh putrinya sendiri.
"Ma, buatkan juga buat Papa. Papa juga suka pakai selai cokelat." Tania tersenyum ke arah ayahnya dan Arya hanya mengangguk.
"Ini buat Tania dan ini buat Papa Tania." Kania menyodorkan dua piring berisikan roti yang sudah diolesi selai cokelat ke arah ayah dan anak itu. Tania dengan tersenyum mengambil roti itu dan di kunyahnya. Sementara Arya, juga melakukan hal yang sama karena dirinya terus ditatap oleh putrinya seakan menyuruhnya untuk menyantap roti itu.
Kania masih berdiri dan memandangi ayah dan anak yang terlihat begitu bahagia. Tawa mereka membuatnya teringat masa lalu saat dirinya kecil dulu. Saat di mana dia begitu bahagia karena mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tuanya.
"Kenapa kamu masih berdiri? Ayo duduk." Lamunannya buyar saat Arya memintanya untuk duduk sarapan bersama mereka. Walau ragu, tapi Kania akhirnya menurut dan duduk bersama mereka.
"Ini buat Mama." Tania menyodorkan roti padanya. Melihat senyum di wajah mungil itu membuat Kania tersenyum dan mengambil roti pemberiannya.
"Terima kasih." Tania mengangguk dan melayangkan senyumnya.
Kania menundukan wajahnya, seakan dia ingin menutupi kesedihannya hingga membuatnya menitikan air mata. Itu semua karena dia sangat merindukan ibunya. Semua momen di meja makan bersama ayah dan ibunya, kini sangat dirindukannya.
"Mama kenapa menangis?" Tania tiba-tiba mendekatinya hingga membuatnya terkejut.
"Tidak, kok." Kania menghapus air matanya, tapi tangan mungil Tania yang lebih dulu menghapus air matanya itu hingga membuat Kania memeluknya.
"Terima kasih." Kania menangis karena mengingat ibunya. Sambil memeluk tubuh mungil itu, Kania menangis hingga membuat Arya menatapnya dengan heran.
Arya meneguk kopi terakhir di gelasnya dan bangkit dari tempat duduknya. Lelaki itu kemudian mengangkat Tania ke dalam gendongannya. "Baiklah, putri Papa yang cantik. Papa pergi kerja dulu dan jangan nakal sama Kakak, ya. Nanti, setiba di kantor Papa akan meneleponmu, oke?"
"Oke, Pa." Tania tersenyum sambil mencium pipi ayahnya.
Kania kemudian mengambil Tania dari gendongan Arya dan beralih menggendongnya. "Aku akan pergi setelah menidurkan Tania nanti malam. Sekali lagi, terima kasih karena sudah menolongku."
Arya mengangguk dan pergi meninggalkan mereka yang mengantarnya hingga di depan pintu. Di dalam gendongan Kania, putri kecilnya itu melambaikan tangan untuknya. Sejenak, timbul sesuatu yang muncul di hatinya. Sesuatu yang selalu diimpikannya saat dia memutuskan untuk menikah, yaitu sebuah keluarga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Nurjani Lambu
desih nya kasihan kania
2023-01-20
0
Sina
lanjut thor,,
2020-03-20
2
Rhara Ftma
lanjut...
2020-03-20
1