Mobil sedan berwarna hitam melaju di jalanan yang basah karena diguyur air hujan. Mobil yang dikendarai seorang wanita itu melaju cukup cepat hingga mobil itu berhenti di depan sebuah gedung tinggi. Gedung itu adalah sebuah perusahaan yang cukup punya nama. Perusahaan yang bergelut dalam dunia otomotif.
Sambil setengah berlari, wanita yang terlihat cantik dan seksi itu kemudian masuk ke dalam lift. Wajahnya tampak panik yang menandakan kalau wanita itu sedang mengkhawatirkan sesuatu. Tak lama, pintu lift terbuka. Wanita itu lalu keluar dan menuju ke salah satu ruangan.
"Maaf, Bu. Saat ini, Pak Arya tidak bisa diganggu karena sedang meeting." Seorang wanita cantik berdiri menghalanginya.
"Aku harus bertemu dengan Mas Arya karena ada sesuatu hal penting yang ingin aku katakan padanya." Wanita itu mencoba untuk membujuk, namun tetap saja ditolak.
Wanita itu tampak kecewa dan berjalan mondar-mandir di depan pintu ruangan itu. Setelah menunggu beberapa lama, pintu ruangan itu terbuka.
Melihat seorang lelaki keluar dari balik pintu membuat wanita itu segera mendekatinya. "Mas Arya, ada sesuatu yang harus aku katakan."
Lelaki itu menatapnya heran. "Rina? Kenapa kamu ada di sini? Mana Tania?"
Wanita itu tampak pucat hingga membuatnya gemetar. "Aku minta maaf, Mas. Aku kehilangan Tania saat di mall. Aku sudah mencoba hubungi ponsel Mas, tapi tidak aktif. Aku sudah berusaha mencarinya, tapi tidak ketemu. Aku minta maaf, Mas."
Seketika wajah lelaki itu memerah. Tanpa peduli apapun, lelaki itu kemudian berlari menuju lift dan meninggalkan wanita itu yang kemudian mengikutinya.
Dengan mengendarai mobilnya, lelaki yang bernama Arya itu kemudian menuju ke mall yang dimaksud oleh Rina. Awalnya, mereka berjanji untuk bertemu dan makan siang di salah satu resto di mall itu, tapi nyatanya Rina yang membawa Tania terlalu awal dan malah kehilangan gadis kecil itu di sana.
Sesampainya di mall, Arya langsung menuju ke ruang informasi. Dengan napasnya yang turun naik, lelaki itu kemudian bertanya pada seorang petugas di ruangan itu. "Maaf, Pak. Apa ada laporan anak yang hilang? Gadis kecil yang berumur sekitar tiga tahunan." Lelaki itu terlihat panik hingga membuatnya hampir menangis.
"Oh, gadis kecil yang cantik itu? Yang rambutnya dikuncir?" Lelaki itu mengangguk sambil memperlihatkan foto putrinya itu dari ponselnya.
"Bapak jangan khawatir, untung saja Kania yang menemukan anak Bapak. Kania sudah datang melapor ke saya perihal anak Bapak itu, dan sekarang anak Bapak ada bersamanya. Ayo, biar saya antar ke toko tempat dia bekerja."
Mendengar penjelasan lelaki paruh baya itu membuat Arya merasa lega. Rasanya, tubuhnya bagaikan disiram air es hingga membuatnya segar kembali. Walau cuaca saat ini hujan, tapi lelaki itu merasakan tubuhnya panas karena mendengar berita hilangnya putri semata wayangnya itu.
Arya kemudian berjalan mengikuti lelaki itu dan berhenti di depan sebuah toko kosmetik. Sesaat, pandangannya tertuju pada gadis kecil yang kini sedang bermain dan tertawa riang bersama seorang gadis muda. Tak hanya itu, putrinya yang selama ini tertutup dan pendiam di depan orang lain ternyata dengan mudahnya tertawa di depan gadis itu dan sesekali memeluknya bahkan mengecup pipinya.
Tanpa terasa, Arya menitikan air mata dan berjalan perlahan mendekati mereka. "Tania."
Gadis kecil itu menoleh dan berlari ke arahnya. "Papa."
Arya memeluk putrinya itu hingga membuatnya menangis. Entah apa jadinya jika sampai dia benar-benar kehilangan putrinya itu. Entah apa yang akan dia katakan pada istrinya nanti jika dia tidak mampu menjaga buah hati mereka.
Kania berdiri di depan mereka dan tanpa sadar dia ikut menitikan air mata saat melihat ayah dan anak itu saling berpelukan.
Arya kemudian memandangi gadis muda itu dan berterima kasih padanya. Gadis itupun tersenyum sambil menerima uluran tangan putrinya yang kembali meminta digendong oleh gadis muda itu.
Arya menatap gadis muda itu yang tampak akrab dengan putrinya. Bahkan, tanpa ragu putrinya itu memeluk dan mengecup pipi gadis itu. Sesaat, dia takjub dengan gadis itu yang dengan mudahnya membuat putrinya luluh.
Gadis itu kemudian menyerahkan putrinya kembali kepadanya. Tak lupa, Arya kembali mengucapkan terima kasih. Entah sudah keberapa kalinya dia katakan itu, tapi baginya itu tidaklah cukup karena keselamatan putrinya tidak sebanding dengan hanya mengucapkan terima kasih.
Arya kemudian pergi dan putrinya masih memandangi ke arah Kania. Tiba-tiba, putrinya menangis dan memintanya untuk kembali pada gadis itu, tapi Arya berusaha untuk tidak menuruti kemauan putrinya itu.
"Tania, dengar Papa, Nak. Kakak itu harus bekerja dan kamu tidak boleh mengganggunya. Nanti, kapan-kapan, Papa akan mengajakmu menemuinya lagi, ya?"
Setibanya di dekat mobilnya, Rina yang sedari tadi menunggunya kemudian berjalan mendekatinya dan berusaha meraih Tania, namun Arya menolak. "Aku sungguh kecewa sama kamu. Aku tidak menyangka kamu bisa meninggalkan keponakanmu sendiri seperti itu. Kalau tidak ada gadis itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Tania dan jika itu sampai terjadi, sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkanmu." Arya membuka pintu mobilnya dan mendudukan Tania di kursi depan.
"Mas Arya, aku mohon maafkan aku, Mas." Rina masih memohon untuk dimaafkan, tapi Arya sudah terlanjur kecewa padanya.
"Mulai saat ini, aku tidak akan mengizinkanmu untuk menemui Tania lagi." Arya membuka pintu mobilnya dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan Rina yang berdiri terpaku menahan tangis.
"Papa, aku ingin kakak. Kakak pasti sedang sedih." Tania tiba-tiba menangis sedih sambil memandangi ayahnya.
"Tania, kamu sayang sama Papa, kan?" Gadis kecil itu mengangguk.
"Kalau begitu, Tania bisa kan turuti ucapan Papa?"
"Tapi, Pa, kakak pasti sedang sedih karena tadi Tania melihat ada orang yang memukul kakak." Tania kembali menangis seakan dia begitu mengkhawatirkan gadis yang belum lama dikenalnya itu.
Arya terkejut saat mendengar ucapan putrinya itu. Melihat Tania terus menangis, akhirnya membuatnya berbalik arah dan kembali ke mall.
Sementara di mall, Kania ditampar oleh seorang wanita yang tiba-tiba datang menghampirinya. Sontak, Kania terkejut saat melihat wanita itu.
"Dasar perempuan gatal! Apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu rayu selain suamiku? Apa kebaikan suamiku ingin kamu manfaatkan hingga kamu tega merayunya?" Kania kembali ditampar, bahkan rambutnya dijambak dengan kasar.
"Bu Riska, apa maksudnya? Aku tidak pernah merayu Pak Reno. Bu Riska, Ibu pasti salah paham." Kania mencoba membela diri, namun wanita itu tidak menggubris hingga membuatnya kembali melayangkan tamparan di wajah Kania hingga membuat sudut bibirnya berdarah.
"Bu Riska, Ibu pasti salah paham. Kania tidak pernah merayu Pak Reno, malah Pak Reno yang terus merayu Kania." Eva yang tidak terima sahabatnya itu diperlakukan tidak adil berusaha untuk membela, tapi wanita itu tidak peduli bahkan mendorong tubuh Eva hingga tubuhnya terpental ke belakang.
Melihat Eva yang terdorong ke belakang dan terhempas di dinding membuat Kania menjadi geram. Kania yang sedari tadi tidak melawan, perlahan melepaskan tangan wanita itu dari rambutnya dan berlari ke arah Eva yang meringis kesakitan. "Kakak tidak apa-apa, kan?" Kania meraih tangan Eva dan menuntunnya untuk duduk.
"Aku tidak apa-apa, tapi kamu kini dalam masalah."
"Itu tidak masalah buatku, tapi aku tidak akan terima jika Kakak diperlakukan seperti ini."
"Kenapa? Apa kalian bersekongkol untuk merayu suamiku?" Wanita itu berdiri di depan mereka dan menatap mereka dengan rasa benci.
"Jika kamu tidak mau mengakuinya, saat ini juga kalian berdua aku berhentikan." Kania terkejut dan menatap wanita itu.
"Bu Riska, bagaimana aku bisa mengakuinya padahal aku sama sekali tidak pernah melakukannya." Kania masih teguh dengan pendiriannya karena dia merasa tidak bersalah.
"Baiklah, kalau begitu, saat ini juga kalian berdua aku pecat!!"
Mendengar dirinya dipecat, Eva menitikkan air mata. Saat ini, dia sangat butuh pekerjaan untuk menambah biaya untuk persalinannya nanti dan Kania menyadari itu.
Orang-orang terlihat berkumpul di depan toko dan melihat pertengkaran mereka. Kania bisa melihat wajah-wajah kesal yang melihat ke arahnya. Wajah-wajah yang terlihat muak karena melihat seorang gadis yang menjadi penghancur rumah tangga orang, walau sebenarnya dia tidak pernah melakukan perbuatan keji itu.
"Aku akan mengakuinya, asalkan Bu Riska tidak memecat Kak Eva." Mendengar ucapan Kania membuat wanita itu tersenyum puas.
"Baiklah, tapi kamu harus berlutut di depanku dan meminta maaf."
"Kania, jangan lakukan itu. Aku tidak masalah jika dipecat, tapi aku mohon jangan berlutut di depannya." Eva mencoba untuk melarangnya, tapi Kania hanya tersenyum dengan bulir air mata yang perlahan jatuh.
"Kakak harus tetap kerja, aku baik-baik saja." Kania lantas duduk bersimpuh di depan wanita itu, seketika Eva memalingkan wajahnya sambil menahan tangis.
"Bu Riska, aku mengakuinya dan aku minta maaf." Kania kemudian bersujud di depan wanita itu. Arya yang sedari tadi melihat pertengkaran itu ingin mendekati Kania, namun langkahnya terhenti saat melihat seorang pria mendekati Kania dan meraih tangannya.
"Ayo, berdiri. Kamu tidak pantas berlutut di depan mereka."
Kania mengangkat wajahnya dan mendapati seorang pemuda yang kini berdiri di sampingnya. "Bastian?"
"Kenapa kamu tidak bilang padanya kalau suaminya itu punya selingkuhan? Kenapa kamu diam saja saat wanita itu menuduhmu tanpa bukti?" Pemuda itu terlihat marah, tapi Kania hanya diam dan menundukan wajahnya.
"Bu Riska, aku tahu siapa Pak Reno. Kania bukan sekali dirayu olehnya, tapi berkali-kali dan berkali-kali pula Kania menolaknya. Apa Bu Riska tidak tahu kelakuan suami Ibu sendiri? Apa perlu aku menunjukan bukti tentang perselingkuhan suami Ibu?" Bastian kemudian memperlihatkan sebuah video di ponselnya yang memperlihatkan seorang lelaki yang sedang makan bersama dengan seorang wanita cantik. Bukan hanya itu, tapi lelaki itu bahkan mencium dan memeluk wanita itu dengan mesra.
Sontak, wajah wanita itu merah padam. Dia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Bubar kalian, bubar!" Wanita itu tampak marah dan mengusir orang-orang yang berdiri di depan tokonya itu. Karena tidak terima, orang-orang itu kemudian bubar sambil menyorakinya.
"Ayo, kita pergi dari sini." Bastian lantas meraih tangan Kania dan meninggalkan tempat itu.
"Papa, kakak mau kemana?"
"Untuk saat ini, kita biarkan kakak pergi dulu. Nanti besok, Papa akan mengantarmu menemui kakak itu lagi." Tania mengangguk dan kembali memeluk ayahnya.
Arya kemudian pergi dan menyisakan rasa sedih di hatinya saat melihat gadis itu diperlakukan dengan tidak adil. Walau baru pertama kali mereka bertemu, tapi lelaki itu begitu yakin kalau Kania adalah gadis yang baik.
Sementara Kania, sedang duduk menangis di sebuah taman yang terletak tidak jauh dari mall itu. Bastian yang tidak tega padanya, segera membawanya ke tempat itu dengan sepeda motornya.
"Kania, kenapa kamu hanya diam saja saat wanita itu menuduhmu merayu suaminya? Kenapa kamu tidak tunjukan chat yang selama ini suaminya kirim ke kamu?" Lelaki itu terlihat kesal dan marah.
Melihat Kania yang hanya menangis sambil menundukan wajahnya membuat Bastian tidak tega. Lelaki itu kemudian duduk di sampingnya. Ingin rasanya dia memeluk gadis itu, tapi dia kembali mengurungkan niatnya itu.
"Kania, kamu baik-baik saja, kan?" Bastian menatap gadis itu yang perlahan mengangkat wajahnya.
"Aku malu, Bas. Di depan semua orang, aku dituduh sebagai perempuan penggoda suami orang. Aku sangat malu, Bas." Kania kembali menundukan wajahnya dan menangis hingga membuat lelaki itu tidak tahan.
"Aku mohon jangan menangis lagi. Kamu tidak perlu malu karena semua tuduhan itu tidak benar. Yang seharusnya malu itu mereka, bukan kamu." Bastian mengelus lembut punggung gadis itu dan menyandarkan lengannya untuk gadis itu bersandar.
"Menangislah, Kania. Aku tidak akan melarangmu menangis lagi kalau menangis bisa membuat hatimu lega," batin Bastian yang perlahan merangkul Kania dengan tangan kanannya.
Arya yang sementara mengendarai mobilnya, tidak sengaja melihat mereka duduk di taman. Kedekatan mereka cukup membuatnya menjadi penasaran. "Apa mungkin lelaki itu adalah kekasihnya?"
Arya terus melanjutkan perjalanan dan hanya melihat mereka dari balik kaca spion. Sejenak, dia melayangkan pandangannya pada Tania yang sudah tertidur di sampingnya. "Putriku, apakah kamu menyukainya? Apakah dia bisa membuatmu bahagia? Tidakkah kamu merindukan ibumu? Ah, Papa sangat merindukan ibumu hingga membuat Papa merasa putus asa. Papa ingin bertemu dengannya, tapi itu mustahil karena ibumu sudah meninggalkan kita." Arya menitikan air mata hingga membuatnya menepi mobilnya di sisi jalan.
Melihat Tania, Arya tersenyum dan mengelus lembut pipi anaknya itu. "Maafkan Papamu ini yang takut untuk jatuh cinta lagi. Papa tidak ingin egois dan melihatmu menangis jika wanita yang Papa pilih nantinya akan membuatmu terluka. Papa akan hidup hanya untukmu dan Papa akan rela jika selamanya Papa akan hidup sendiri tanpa seorang pendamping." Arya menitikan air mata sambil menyandarkan kepalanya di kursi kemudi.
"Istriku, bantu aku agar aku bisa membuat putri kita bahagia. Aku sangat merindukanmu hingga membuatku menjadi gila." Arya memejamkan matanya dan membayangkan senyuman istrinya. Senyuman yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Aqua_Chan
amit2
2023-09-28
0
Nurjani Lambu
saya mampir kk thor
2023-01-20
0
Nur Hayati
cerita keren lanjut kaka
2022-06-30
0