ASMARADANA PUTRI MAHKOTA
...Aku hidup di dalam benteng keraton. Keraton yang menjadi mercusuar budaya dan tradisi Jawa. Kini pesonanya semakin tergerus oleh modernisasi yang merambah seluruh dunia. Bukan karena itu saja, banyak doktrin-doktrin yang membuat trah Jawa lupa akan tradisi leluhurnya....
...Semua telah berubah, teknologi berkembang pesat mengantikan semua yang awalnya terlihat sederhana menjadi luar biasa. Banyak modifikasi, banyak perubahan, banyak kejahatan, dan banyak aturan yang terlihat aneh di masa sekarang....
...Aku Raden Ayu Dalilah Sekar Kinasih Putri Adiguna Pangarep, seorang putri mahkota yang sedang mengalami gejolak jiwa muda....
...Tahun 2028....
Hari ini aku wisuda SMP. Segenap keluarga besar ku ikut serta dalam perayaan kelulusan ini. Tak terkecuali adikku, Suryawijaya. Si penurut yang menyebalkan. Anak kesayangan Ibunda, putra mahkota Ayahanda yang di eluh-eluhkan akan menjadi calon raja.
"Sur... Kamu gak usah ikut! Aku primadonanya hari ini!" cegah ku lagi. Aku tak mau adikku menjadi pusat perhatian teman-temanku apalagi guru-guru ku. Cukup aku yang menjadi primadona di sekolah hari ini. Di hari kelulusanku yang membawa peringkat kedua setelah Bimo. Ketua OSIS yang menyebalkan!
Suryawijaya tumbuh menjadi anak laki-laki pendiam dan tertutup. Ia dingin, tapi parasnya mampu meluluhkan hati gadis-gadis kekinian.
"Sur... Sur... memang tahu susur! Ibunda menggeleng. "Panggil yang sopan, Mbak!"
Suara itu adalah suara wanita terindah Ayahanda. Ibunda Rinjani. Ibunda yang slalu berkelakar dimana saja kecuali jika berhadapan dengan rakyatnya.
Mati-matian Ibunda menjadi Ratu selama kurun waktu delapan tahun ini. Delapan tahun terberat untuk Ibunda. Tapi wanita itu masih bisa tersenyum, bisa tertawa, bisa bercanda, tapi kadang menyebalkan, kadang tegas tak terkalahkan.
Aku menunjukkan wajah Suryawijaya.
"Ibunda kan tau kalau tahu susur ini slalu bikin kehebohan, dimana saja!" Aku menunjukkan wajah Suryawijaya.
"Sudah to, Mbak! Kita harus ramai-ramai biar seru. Oke." Ibunda mencubit pipiku. "Sudah cantik jangan cemberut anak gadisku." Ibunda tersenyum lalu pergi ke dalam kamar.
Aku berdecak kesal, ku tatap Suryawijaya dengan tatapan yang mengancam.
"Awas aja!"
"Jalannya harus anggun Mbak! Jangan pecicilan. Martabat keluarga ada di tangan Mbak Lilah hari ini." kata Suryawijaya, tersenyum mengejek.
"Kenapa? Apa kamu pikir aku gak bisa pakai sepatu hak tinggi?" tanyaku sembari menyombongkan diri dan berlenggak lenggok di hadapan Suryawijaya.
Suryawijaya menggeleng. "Aku hanya takut nanti Mbak kesandung atau keseleo!"
Ah, wajahnya adikku memang menyebalkan. Ia berdiri, menyugar rambutnya lalu memakai blangkon.
Seumur-umur aku memang baru kali pertama memakai sepatu hak tinggi. Itupun harus di bujuk Ayahanda dulu untuk membelinya. Toh, tinggal di dalam istana aku lebih sering tanpa alas kaki. Koleksi sepatuku juga hanya sepatu sekolah, sandal selop khusus untuk acara di istana dan sandal jepit. Lebihnya hanya flatshoes yang hanya aku pakai saat-saat tertentu.
"Mbak! Ayahanda sudah siap." kata Suryawijaya.
Aku mematut sebentar wajahku sebelum menemui Ayahanda. Ayahanda adalah partner kencan ku yang pertama. Aku harus terlihat cantik didepan Ayahanda.
"Sudahlah... Mbak. Ayahanda sudah tua, sudah milik Ibunda. Untuk apa bersaing dengan Ibunda. Ibunda yang utama!" cerca Suryawijaya.
"Ishhh... Aku ini anak kesayangan Ayahanda, paling cantik dan paling istimewa."
Suryawijaya bergumam. "Aku sudah tahu."
Aku berjalan dengan berhati-hati. Jangan sampai aku sudah terkena serangan mental karena ejekan Suryawijaya.
Tiba di hadapan Ayahanda, aku tersipu malu karena Ayahanda menatapku sambil tersenyum lebar.
Aku salah tingkah, Ayahanda memang cinta pertamaku. Cinta yang melindungiku dan semangatku. Hanya pada Ayahanda aku merasa menjadi diriku sendiri.
"Cantik sekali." puji Ayahanda. "Seperti bubu."
Aku menghela nafas. Jengah sekali aku mendengar kata bubu.
Bubu... bubu... bubu... kalimat yang tidak mesra. Sedangkan wanita yang di panggil bubu tersenyum manis di sebelahnya, memegang lengan Ayahanda dengan erat.
"Terimakasih ayahanda." kataku senang. Ayahanda lalu masuk ke dalam mobil, diikut Ibunda. Lalu Suryawijaya. Aku celingukan.
"Mana si bengal?" tanyaku. Bengal adalah sebutan untuk Pandu Mahendra. Adikku paling bontot. Paling nakal dan sedikit memiliki satu frekuensi denganku.
Kami sering bekerja sama untuk mengelabuhi Suryawijaya. Adik dan kakak yang mematuhi peraturan. Di istana maupun di sekolah.
"Pandu masih di sekolah, ada ekstrakurikuler Pramuka." jelas Ibunda.
Aku mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Mobil keluaran Jerman yang katanya mobil pertama waktu Ayahanda dan Ibunda berkencan. Sungguh, apa Ayahanda dan Ibunda tidak menginginkan mobil terbaru yang modern dan kekinian?
Sepanjang perjalanan, aku hanya menatap pemandangan di luar mobil. Tak banyak kata karena hari ini aku benar-benar bukan Dalilah Sekar Kinasih yang pecicilan. Hari ini aku benar-benar menjelma menjadi anak raja dan ratu termuda sepanjang sejarah berdirinya kerajaan.
Tiba di area parkir sekolah. Mataku mengedar mencari mobil keluarga Bimo. Musuh bebuyutan ku disekolah. Dia yang disiplin, dan aku yang agak ugal-ugalan. Tak jarang terlibat adu mulut tentang opini sesama anggota OSIS.
"Dalilah. Baba dan bubu harus bertemu dengan kepala sekolah terlebih dahulu. Kamu dan adik pergilah ke gedung sekolah." ujar Ayahanda.
Aku mengangguk, ku buka pintu mobil dengan pelan. Dadaku berdegup kencang, Wisuda kali ini lebih seram daripada harus melakukan ritual-ritual di kerajaan.
"Kamu kenapa Mbak? Sakit perut?" tanya Suryawijaya. Ibunda dan Ayahanda yang masih bersiap-siap di dalam mobil menolehkan kepalanya.
"Jaga Mbak Lilah ya mas." ujar Ibunda menimpali.
Entah kenapa sepatu hak tinggi ini malah menyurutkan rasa percaya diriku. Benar kata Suryawijaya, aku lebih takut keseleo dan kesandung.
"Bunda... bawa sendal selop ku tidak?" kataku sedikit merengek.
Ku tepis bahu Suryawijaya yang menahan senyum.
"Bunda gak bawa, Mbak. Mau pakai punya Bunda?" tanya Ibunda menawarkan.
Aku mengangguk, beruntung aku dan Ibunda memiliki kesamaan dengan ukuran sepatu dan baju.
"Ayahanda jangan izinkan Ibunda memakai hak tinggi. Suryawijaya takut Ibunda nanti jatuh!" kata Suryawijaya sambil tersenyum jenaka.
Ayahanda melihat sepatu yang aku kenakan. Lalu menatap Ibunda dengan khawatir. "Ibunda tidak bisa pakai sepatu hak tinggi, Lilah. Tulangnya sudah tulang rawan."
Ibunda tertawa kecil, begitu juga Suryawijaya. Menyisakan hal-hal yang membuatku menyesal memilih hak tinggi berukuran lima belas centimeter sebagai penunjang kecantikanku.
Aku tidak suka sepatu hak tinggi ini. Aku membencinya. Kenapa begitu mudah aku tergiur dengan rayuan Ayahanda. Ini pasti hanya akal-akalan Ayahanda agar membuatku terlihat lebih feminim.
...Happy Reading 💚...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Bundanya Syahdan
baru kali ini membaca novel yang lain dr yang lain, terinakasih thoorr 🤩
2024-07-24
0
Hana Nisa Nisa
nyimak
2023-12-22
0
may
Hai dalilah☺️aku pernah membaca kisah bubu dan baba mu🤭sekarang aku mau membaca kisahmu
2023-10-24
1