Dari awal... terhitung tujuh tahun yang lalu saat usiaku baru delapan tahun. Keraton ini resmi menjadi rumahku.
Rumah dimana aku akan tumbuh, belajar dan memahami semua yang terlihat sakral, klenik, dan bermartabat.
Bangunan ini berdiri di pusat kota. Titik nadir yang sudah tidak perlu lagi ditanyakan sejarahnya. Bisa di katakan bangunan ini terlihat angkuh meneriaki bangunan-bangunan modern di sekelilingnya. OLD BUT GOLD, istilah yang cocok untuk bangunan ini.
Segala macam renovasi sudah sering dilakukan, namun sama sekali tidak mengurangi entitas kuno dan klasik yang menonjol dari bangunan ini. Setiap ukiran kayu yang menghiasi pilar-pilar penyangga istana dan patung-patung gupolo yang bertengger di setiap pintu masuk bangunan ini menambah kesan yang tak terbantahkan. Tak termakan oleh waktu.
Aku duduk termangu di depan kamarku, suasana pagi ini seperti biasa. Sunyi, sepi, hanya ada semilir angin yang berhembus, karena peraturan di keraton tidak memperbolehkan orang berteriak. Kami harus sopan dan disini memang ada unggah ungguh. Pepatah mengatakan "kamu sopan saya segan", kalimat klasik yang sudah jarang digaungkan di zaman sekarang.
Tinggal di keraton memang berat, lahir dan batin aku mengatakan jika ini yang aku rasakan. Kalau aku gak kuat itu wajar, karena ada sesuatu dalam diriku yang terkurung, aku jinakkan dengan sengaja.
***
Aku masih termangu menatap rumput yang bergoyang. Aku bosan disini, aku bosan menunggu sampai waktunya masuk SMA. Aku pasti hanya akan menikmati rutinitas sehari-hari seperti biasanya. Jalan-jalan di sekeliling keraton, ikut menjadi abdi dalem, dan kegiatan apa saja di istana.
Bagiku sekolah adalah pelarian. Pelarian yang membebaskan ku dari segala macam peraturan yang berlaku di keraton. Tapi kata Ayahanda, hidup memang harus ada aturan agar semua tertib dan aman. Tapi pepatah klasik mengatakan, peraturan dibuat untuk dilanggar.
Hidup memang penuh perdebatan. Dan, perdebatan-perbedatan itu sering menjadi polemik di istana.
Aku berdiri, merapikan kebaya dan jarik yang aku kenakan. Rambutku sudah biasa di sanggul. Beginilah aku, jika harus memulai beraktivitas di dalam tembok istana.
Ku langkahkan kakiku menuju ke bangsal kencana dan museum yang di buka untuk umum. Disana aku bisa melihat wisatawan yang datang berkunjung untuk menikmati wisata edukasi sejarah.
Keraton, tidak hanya menjadi bukti nyata dari peradaban budaya Jawa atau sebagai mercusuar tertinggi budaya Jawa. Disinilah akhir dari perjalanan Mataram Islam.
Maka, sedari kecil aku sudah di cekoki dengan berbagi paugeran atau patokan dan peraturan yang harus aku taati, di luar istana ataupun di dalam istana. Agar aku menjadi seorang putri Raja yang benar-benar mumpuni. Tapi, aku kadang-kadang jenuh melakukannya. Aku butuh sesuatu yang lekstrem dan penuh adrenalin.
"Ndoro putri, tidak sekolah?" Aku menoleh dan tersenyum, seorang abdi dalem estri menyapaku.
Aku menggeleng. "Tidak, Mbah. Belum... Sekarang Lilah lagi liburan!"
Abdi dalem tersebut tersenyum penuh arti. "Liburan di rumah ya."
Aku mengangguk mantap. "Betul banget, Mbah. Betapa bahagianya Lilah mempunyai rumah sekaligus menjadi tempat wisata." Aku menyengir, lalu ikut duduk bersimpuh menemani abdi dalem tersebut.
"Jangan duduk di bawah, nanti Kanjeng Sultan marah!" Mulut senja yang sudah berkerut itu mengingatkanku dengan cepat.
Aku menggeleng. "Duduk sama rendah berdiri sama tinggi." kataku lalu tersenyum manis.
"Jangan begitu ndoro putri. Jangan..."
Aku menghela nafas, ku naiki anak tangga yang lebih atas dan tersenyum lagi. "Sudah ya Mbah, jangan minta Lilah untuk berdiri atau jongkok. Lilah mau duduk santai."
Sang abdi dalem menggeleng pasrah. Ia tersenyum, lalu kembali berdiam diri.
"Mbah sudah sarapan?"
"Sudah ndoro putri..."
"Mbah masih betah menjadi abdi dalem?"
"Masih ndoro putri..."
"Mbah punya cucu?"
"Punya ndoro putri..."
"Berapa?
"Lima ndoro putri..."
Fix... Aku butuh teman bicara yang bisa mendebat semua ocehanku. Dan, hanya Baskara yang mampu.
Aku merogoh ponselku yang terselip di dalam stagen. Ku cari nama Baskara di daftar kontakku dan melakukan sambungan telepon.
"Mbah... Lilah tinggal ya. Mbah kalau capek istirahat saja. Biar Lilah yang menyapa wisatawan." Abdi dalem estri tadi tersenyum saja dan mengangguk.
[ Hallo... ndoro putri. Ada apa? ]
[ Hallo, Bas. Dateng ke rumah sekarang. Aku butuh teman! ]
[ Aku sibuk ndoro putri, saudaraku dari luar kota baru datang! ]
[ Ajak aja saudaramu ke rumah, sekalian piknik! ]
Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak sebelum Baskara membuat alasan untuk tidak menurutiku.
Sambil berjalan-jalan, aku mengamati baik-baik pengunjung. Siapa sangka, mataku justru terfokus pada punggung laki-laki yang membungkuk, punggung itu sangat aku kenali, punggung remaja laki-laki dari keluarga Sastrowijoyo yang sedang membidik objek dengan sebuah kamera profesional.
Hei... Dia memang tidak salah datang ke sini, tapi dia kan juga tahu aku tinggal di sini meski tinggal di tempat yang tidak boleh di datangi oleh pengunjung.
Aku berbalik secepat cahaya, dengan langkah pelan-pelan aku menjauhkan diri darinya jangkauannya, matanya atau bidikan kameranya. Aku malas jika harus bertemu dengannya.
Sekarang, aku berada di tempat pameran sekaligus penyimpanan lukisan-lukisan dari raja-raja terdahulu.
Beberapa pengunjung seolah menyadari kedatanganku, aku tersenyum dan membungkuk hormat.
"Raden ayu Dalilah... Boleh kami meminta foto bersama?" tanya salah satu pengunjung dengan sopan. Mereka menatapku penuh binar.
Kata ibunda, aku gak boleh sombong. Kalau hanya foto saja ibunda harus mengizinkan, kecuali tanda tangan!
Aku berjajar rapi dan berada di paling depan, karena peraturan di keraton tidak membolehkan wisatawan membelakangi abdi dalem atau putri keraton.
Satu, dua, tiga jepretan berhasil diabadikan dengan kamera salah satu pengunjung. Aku tersenyum dan mengangguk saat wisatawan tadi mengucapkan terimakasih sebelum melanjutkan melihat-lihat lukisan yang lain.
"Dalilah..."
Panggilan itu... Aku berbalik dan menghela nafas, Bimo Asmoro Sastrowijoyo tersenyum lebar ketika menatapku yang berwajah masam.
Inikah rasanya mimpi buruk di siang hari. Melelahkan dan aku pun tak berdaya. Aku harus beramah-tamah dengan siapa saja. Termasuk laki-laki muda di depanku.
"Liburan?" tanyaku basa-basi sambil menatap wajahnya dengan lekat. Ibunda mengajariku sopan santun dalam bicara, jadi sekarang aku bisa melihatnya, melihat seluruh wajahnya dengan jelas. Dia lumayan seperti otaknya yang pintar.
"Membuang waktu saja!" jawabnya sambil melihat-lihat lukisan.
"Okelah, kalau gitu selamat menikmati." ujarku lalu menoleh. Aku tidak nyaman berlama-lama di dekatnya. Bimo tersenyum miring. "Foto bersama dulu karena aku disini juga pengunjung!"
Mataku membulat sempurna. "Foto!?" tanyaku memastikan.
Bimo mengangguk, ia lantas mengatur kameranya lalu menaruhnya di tempat yang datar. "Pakai self timer, jadi siap-siaplah!" ujarnya.
Aku mendengus, ku tautkan kedua tanganku di depan perut lalu menyunggingkan senyum terpaksa.
"Jika kamu bersedia, yang ikhlas dong!" ujarnya sebelum berdiri di belakangku.
Dasar... wisatawan banyak maunya! Kenapa harus Bimo, lalu mana Baskara?
HAPPY Reading 💗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
ᴄᵏ☯︎
apakah baskara akan mewarisi nasib mas Nanang ,yang hanya menjaga calon istri orang
2022-08-02
2
ᴄᵏ☯︎
aih jadi pengen baca ulang mbk Jani sama mas kaysang
2022-08-02
0
aurel chantika
sepertinya akan ada persaingan antara Bimo & bagaskara
2022-06-19
0