...Aku hidup di dalam benteng keraton. Keraton yang menjadi mercusuar budaya dan tradisi Jawa. Kini pesonanya semakin tergerus oleh modernisasi yang merambah seluruh dunia. Bukan karena itu saja, banyak doktrin-doktrin yang membuat trah Jawa lupa akan tradisi leluhurnya....
...Semua telah berubah, teknologi berkembang pesat mengantikan semua yang awalnya terlihat sederhana menjadi luar biasa. Banyak modifikasi, banyak perubahan, banyak kejahatan, dan banyak aturan yang terlihat aneh di masa sekarang....
...Aku Raden Ayu Dalilah Sekar Kinasih Putri Adiguna Pangarep, seorang putri mahkota yang sedang mengalami gejolak jiwa muda....
...Tahun 2028....
Hari ini aku wisuda SMP. Segenap keluarga besar ku ikut serta dalam perayaan kelulusan ini. Tak terkecuali adikku, Suryawijaya. Si penurut yang menyebalkan. Anak kesayangan Ibunda, putra mahkota Ayahanda yang di eluh-eluhkan akan menjadi calon raja.
"Sur... Kamu gak usah ikut! Aku primadonanya hari ini!" cegah ku lagi. Aku tak mau adikku menjadi pusat perhatian teman-temanku apalagi guru-guru ku. Cukup aku yang menjadi primadona di sekolah hari ini. Di hari kelulusanku yang membawa peringkat kedua setelah Bimo. Ketua OSIS yang menyebalkan!
Suryawijaya tumbuh menjadi anak laki-laki pendiam dan tertutup. Ia dingin, tapi parasnya mampu meluluhkan hati gadis-gadis kekinian.
"Sur... Sur... memang tahu susur! Ibunda menggeleng. "Panggil yang sopan, Mbak!"
Suara itu adalah suara wanita terindah Ayahanda. Ibunda Rinjani. Ibunda yang slalu berkelakar dimana saja kecuali jika berhadapan dengan rakyatnya.
Mati-matian Ibunda menjadi Ratu selama kurun waktu delapan tahun ini. Delapan tahun terberat untuk Ibunda. Tapi wanita itu masih bisa tersenyum, bisa tertawa, bisa bercanda, tapi kadang menyebalkan, kadang tegas tak terkalahkan.
Aku menunjukkan wajah Suryawijaya.
"Ibunda kan tau kalau tahu susur ini slalu bikin kehebohan, dimana saja!" Aku menunjukkan wajah Suryawijaya.
"Sudah to, Mbak! Kita harus ramai-ramai biar seru. Oke." Ibunda mencubit pipiku. "Sudah cantik jangan cemberut anak gadisku." Ibunda tersenyum lalu pergi ke dalam kamar.
Aku berdecak kesal, ku tatap Suryawijaya dengan tatapan yang mengancam.
"Awas aja!"
"Jalannya harus anggun Mbak! Jangan pecicilan. Martabat keluarga ada di tangan Mbak Lilah hari ini." kata Suryawijaya, tersenyum mengejek.
"Kenapa? Apa kamu pikir aku gak bisa pakai sepatu hak tinggi?" tanyaku sembari menyombongkan diri dan berlenggak lenggok di hadapan Suryawijaya.
Suryawijaya menggeleng. "Aku hanya takut nanti Mbak kesandung atau keseleo!"
Ah, wajahnya adikku memang menyebalkan. Ia berdiri, menyugar rambutnya lalu memakai blangkon.
Seumur-umur aku memang baru kali pertama memakai sepatu hak tinggi. Itupun harus di bujuk Ayahanda dulu untuk membelinya. Toh, tinggal di dalam istana aku lebih sering tanpa alas kaki. Koleksi sepatuku juga hanya sepatu sekolah, sandal selop khusus untuk acara di istana dan sandal jepit. Lebihnya hanya flatshoes yang hanya aku pakai saat-saat tertentu.
"Mbak! Ayahanda sudah siap." kata Suryawijaya.
Aku mematut sebentar wajahku sebelum menemui Ayahanda. Ayahanda adalah partner kencan ku yang pertama. Aku harus terlihat cantik didepan Ayahanda.
"Sudahlah... Mbak. Ayahanda sudah tua, sudah milik Ibunda. Untuk apa bersaing dengan Ibunda. Ibunda yang utama!" cerca Suryawijaya.
"Ishhh... Aku ini anak kesayangan Ayahanda, paling cantik dan paling istimewa."
Suryawijaya bergumam. "Aku sudah tahu."
Aku berjalan dengan berhati-hati. Jangan sampai aku sudah terkena serangan mental karena ejekan Suryawijaya.
Tiba di hadapan Ayahanda, aku tersipu malu karena Ayahanda menatapku sambil tersenyum lebar.
Aku salah tingkah, Ayahanda memang cinta pertamaku. Cinta yang melindungiku dan semangatku. Hanya pada Ayahanda aku merasa menjadi diriku sendiri.
"Cantik sekali." puji Ayahanda. "Seperti bubu."
Aku menghela nafas. Jengah sekali aku mendengar kata bubu.
Bubu... bubu... bubu... kalimat yang tidak mesra. Sedangkan wanita yang di panggil bubu tersenyum manis di sebelahnya, memegang lengan Ayahanda dengan erat.
"Terimakasih ayahanda." kataku senang. Ayahanda lalu masuk ke dalam mobil, diikut Ibunda. Lalu Suryawijaya. Aku celingukan.
"Mana si bengal?" tanyaku. Bengal adalah sebutan untuk Pandu Mahendra. Adikku paling bontot. Paling nakal dan sedikit memiliki satu frekuensi denganku.
Kami sering bekerja sama untuk mengelabuhi Suryawijaya. Adik dan kakak yang mematuhi peraturan. Di istana maupun di sekolah.
"Pandu masih di sekolah, ada ekstrakurikuler Pramuka." jelas Ibunda.
Aku mengangguk lalu masuk ke dalam mobil. Mobil keluaran Jerman yang katanya mobil pertama waktu Ayahanda dan Ibunda berkencan. Sungguh, apa Ayahanda dan Ibunda tidak menginginkan mobil terbaru yang modern dan kekinian?
Sepanjang perjalanan, aku hanya menatap pemandangan di luar mobil. Tak banyak kata karena hari ini aku benar-benar bukan Dalilah Sekar Kinasih yang pecicilan. Hari ini aku benar-benar menjelma menjadi anak raja dan ratu termuda sepanjang sejarah berdirinya kerajaan.
Tiba di area parkir sekolah. Mataku mengedar mencari mobil keluarga Bimo. Musuh bebuyutan ku disekolah. Dia yang disiplin, dan aku yang agak ugal-ugalan. Tak jarang terlibat adu mulut tentang opini sesama anggota OSIS.
"Dalilah. Baba dan bubu harus bertemu dengan kepala sekolah terlebih dahulu. Kamu dan adik pergilah ke gedung sekolah." ujar Ayahanda.
Aku mengangguk, ku buka pintu mobil dengan pelan. Dadaku berdegup kencang, Wisuda kali ini lebih seram daripada harus melakukan ritual-ritual di kerajaan.
"Kamu kenapa Mbak? Sakit perut?" tanya Suryawijaya. Ibunda dan Ayahanda yang masih bersiap-siap di dalam mobil menolehkan kepalanya.
"Jaga Mbak Lilah ya mas." ujar Ibunda menimpali.
Entah kenapa sepatu hak tinggi ini malah menyurutkan rasa percaya diriku. Benar kata Suryawijaya, aku lebih takut keseleo dan kesandung.
"Bunda... bawa sendal selop ku tidak?" kataku sedikit merengek.
Ku tepis bahu Suryawijaya yang menahan senyum.
"Bunda gak bawa, Mbak. Mau pakai punya Bunda?" tanya Ibunda menawarkan.
Aku mengangguk, beruntung aku dan Ibunda memiliki kesamaan dengan ukuran sepatu dan baju.
"Ayahanda jangan izinkan Ibunda memakai hak tinggi. Suryawijaya takut Ibunda nanti jatuh!" kata Suryawijaya sambil tersenyum jenaka.
Ayahanda melihat sepatu yang aku kenakan. Lalu menatap Ibunda dengan khawatir. "Ibunda tidak bisa pakai sepatu hak tinggi, Lilah. Tulangnya sudah tulang rawan."
Ibunda tertawa kecil, begitu juga Suryawijaya. Menyisakan hal-hal yang membuatku menyesal memilih hak tinggi berukuran lima belas centimeter sebagai penunjang kecantikanku.
Aku tidak suka sepatu hak tinggi ini. Aku membencinya. Kenapa begitu mudah aku tergiur dengan rayuan Ayahanda. Ini pasti hanya akal-akalan Ayahanda agar membuatku terlihat lebih feminim.
...Happy Reading 💚...
Setelah memahami situasi, aku memilih melewati koridor sekolah bagian barat untuk mengurangi rasa gugupku akibat salah kostum. Di waktu yang tepat kehadiran Ayahanda dan Ibunda memang sanggup membuat semua atensi terpana melihat mereka.
Aku tergesa-gesa melangkah karena sahabatku sudah menungguku di kantin. Saat menaiki beberapa anak tangga, sepatu ini justru tidak mau di ajak berkompromi. Aku nyaris terjungkal jika saja laki-laki menyebalkan itu tidak berada di belakangku.
"Seorang putri bukannya harus berjalan anggun dan elegan? Kamu!" Laki-laki itu menggeleng seolah mencemooh cara berjalan ku.
Aku mengerjap sebentar, lalu menegakkan tubuhku, "Apa? Aku kenapa?" tanyaku sambil mendelikkan mata.
"Kamu..." Dia tidak segan meneliti penampilanku dari atas ke bawah.
Benar-benar kurang ajar, hanya dia yang berani mengekspose tubuhku, tubuh seorang putri Raja yang bahkan semua abdi dalem laki-laki slalu menundukkan kepalanya di hadapanku.
"Kamu aneh!" katanya sebelum pergi.
Aku mengepalkan tangan, geram dan tidak terima dengan asumsinya.
Aku aneh? Darimana? Aku cantik dan slalu cantik untuk Ayahanda. Sekarang Bima seenaknya sendiri berkata 'aku aneh', menyebalkan. Tidak tahu jika aku ini putri sejagat!
"ndoro putri."
Itu lagi. Aku tidak suka dipanggil seperti itu. Cukup di lingkungan keraton saja, jangan sampai di sekolah. please. Aku mohon, aku ingin terlihat setara tanpa memandang kasta, gelar ataupun status sosial, aku ingin memukul rata perbedaan itu dengan tetap menjadi Dalilah, apa adanya, dan menjadi seorang remaja biasa. Mengenal cinta, mengalami patah hati, mengalami metamorfosa, mempelajari hal-hal baru dan hal-hal di luar sana yang membuatku penasaran.
Orang itu tertawa kecil lalu kepalanya miring dengan mata menyipit, "ndoro putri habis akting dengan kangmas Bimo?" Senyumnya menyeringai jail.
"Memangnya kamu lihat apa?" tanyaku sambil melangkah mendahulinya. Dia sahabatku, cowok. Namanya Baskara.
Pertemuan kami berawal saat aku dan dirinya terlambat mengikuti masa orientasi siswa. Kami di hukum untuk mengucapkan sumpah pemuda di depan semua siswa. Aku... bukannya tidak hafal, kepalaku isinya hanya rapalan mantra-mantra, gerakan tari, dan jadwal kegiatanku di keraton.
Hingga Baskara ini dengan lantang mengucapkan sumpah pemuda sembari mengangkat tanganku ke atas. Menunjukkan semangat seorang calon penerus bangsa agar mengerti seluk beluk tentang sejarah bangsa di era milenial yang begitu gila-gilaan merajai dunia. Merambah, memikat, mengalihkan dan membuai daya pikir pemuda-pemudi sekarang yang hampir luput sejarah berdiri bangsa Indonesia.
Waktu itu aku hanya tersenyum kecut, dia belum tahu siapa aku. Aku ini putri mahkota, sudah dari kecil ikut perlombaan menari antar kecamatan, kabupaten, provinsi dan membawa gelar juara. Piala ku banyak dan di tata rapi oleh Ibunda di kamarku.
"Aku lihat kamu hampir terjatuh, dan ia menjadi penyelamatnya." kata Baskara sambil menyejajari langkahku.
"Kebetulan aja." jawabku singkat.
Baskara menghentikan langkahnya di depanku, "Kamu mau melanjutkan sekolah ke mana, SMA atau SMK?"
"SMK?" dahiku mengernyit, "Kalau masuk SMK aku bingung ambil jurusan apa, Bas. Keahlian ku udah banyak. Nari bisa, bikin sesaji apalagi." Aku tersenyum jenaka.
Baskara mendengus kesal, "Serius, Lilah!" sergahnya cepat.
"Aku mau masuk SMA favorit standar internasional! Aku bosen kalau harus masuk sekolah negeri, Bas. Pasti guru-gurunya tahu aku anak siapa, terus di agung-agungkan jadi siswa teladan dan bla... bla... bla..."
Baskara mengangguk, ia sangat paham bagaimana ribetnya aku harus mengikuti perlombaan antar sekolah setiap tahun, karena pasti ada siswa yang harus di wakilkan, dan aku pasti akan di pilih menjadi kandidat nomor satu, Dalilah Sekar Kinasih sebagai penari tradisional.
"Aku ikut kemanapun kamu sekolah, Lilah. Nanti aku tanya sama paduka Raja dan Ibunda Ratu dimana beliau-beliau akan memilihkan sekolah untukmu." ujar Baskara antusias.
"Gak punya pendirian!" ledekku yang di balas tawa oleh Baskara.
"Kamu teman baikku, Lilah. Aku beruntung bisa berteman baik dengan penguasa tanah ini." Mata Baskara berbinar senang, "Jadi aku gak mau pisah sama kamu!"
Aku berdehem, mungkin orang lain akan mengira jika aku dan Baskara adalah sepasang kekasih. Bukan tak tak mungkin, karena kami seringkali jalan berdua ke kantin, ke perpustakaan, bahkan ke ruang bimbingan konseling, hingga tak jarang Baskara ini di sebut-sebut menjadi abdi dalem Kinasih yang menjagaku.
"Tapi jangan menganggap ku sebagai penghalang mu untuk mencari pacar ya, Bas. Lama-lama kita bisa jadi jomlo karatan karena status persahabatan ini."
Aku tersenyum simpul, Baskara oh Baskara... Jangan sampai kita menjadi dua manusia yang saling jatuh cinta karena kita sama-sama tahu kebobrokan kita yang tidak diketahui oleh orang lain.
"Sudah ayo masuk. Acara wisuda sepertinya udah mau mulai." kata Baskara, ia melangkah duluan karena beberapa teman kelasnya sudah meneriaki namanya.
Aku kembali melangkah dengan hati-hati. Mungkin benar apa yang dikatakan Ibunda, kalau memakai hak tinggi memang harus berjalan seperti saat aku menari. Pelan, anggun dan fokus.
Ibunda memiliki nama asli Rinjani Alianda Putri. Nama yang keren daripada namaku yang terbilang jadul dan klasik. Entah kenapa kadang terbesit di benakku, kenapa harus nama itu di jaman sekarang? Bukankah banyak nama-nama Jawa yang tidak monoton.
Dalilah artinya Bukti;jalan yang terang atau petunjuk jalan yang diberikan untuk anak perempuan. Sekar artinya bunga. Kinasih artinya terkasih.
Jadi aku ini apa? Bukti dari perjalanan cinta Ayahanda dan Ibunda yang begitu fenomenal dan menggegerkan rakyatnya? Bunga terkasih yang menjadi buah hati kedua orangtuaku? Atau aku ini memang memerlukan jalan yang benar untuk menjadi seorang perempuan seutuhnya?
Aku masuk ke dalam gedung serbaguna milik sekolah. Terlihat Ayahanda duduk di bangku khusus yang disediakan pihak sekolah. Ibunda slalu menemaninya, tersenyum ramah kepada semua orang yang menyapa mereka.
Sebagai siswa berprestasi, akupun juga mendapat bangku khusus yang mengharuskan aku duduk di samping Bima. Sungguh, kenapa perselisihan ini masih saja terus berlanjut bahkan sampai kelulusan sekolah?
Aku hanya perlu berharap ia enyah dari hadapanku. Aku dan Bimo tidak lagi bertemu setelah wisuda hari ini selesai. Cukup tiga tahun ini saja, aku bersaing dengan laki-laki berusia enam belas tahun dari keluarga Sastrowijoyo.
...Happy Reading ❤️...
Acara resmi wisuda sudah selesai. Sekarang para wisudawan berfoto di luar gedung bersama teman, keluarga, atau sahabat. Ada yang berpelukan sambil menangis haru, ada pula yang bersiap-siap untuk melakukan konvoi bersama.
Aku tersenyum, lalu menghampiri keluargaku yang menungguku di parkiran.
Sejenak aku menoleh ke arah gedung SMP sebelum masuk ke dalam mobil. Mengingat-ingat lagi kenangan yang pernah terjadi di sekolah ini. Tanpa sadar aku tersenyum, banyak kejadian-kejadian yang aku alami dan akan kenangan indah semasa sekolah. Kelak jika aku dewasa nanti aku akan merindukan Dalilah anak SMP yang apa adanya dan bebas.
Suryawijaya menarikku, lalu menutup pintu mobil dengan cepat. "Sudah waktunya aku tidak perlu menjaga Mbak dari mas Bimo!" Aku melengos tak menghiraukan ucapan Suryawijaya.
Perlahan mobil keluar dari gerbang sekolah. Meninggalkan kemeriahan yang masih terjadi di gedung sekolah.
Dalam perjalanan pulang, aku bercerita tentang Baskara yang akan mengikutiku dimanapun sekolah yang aku pilih.
Ibunda mengerutkan kening dan berkata. "Baskara mungkin suka dengan kamu, Mbak!"
Seketika aku berlonjak kaget---tak terima, usia kami hanya selisih satu tahun. Tidak mungkin dia sudah memainkan hatinya untuk persahabatan ini.
"Dulu namanya cinta monyet, Mbak! Tapi kalau sekarang namanya friends zone. Dari persahabatan menjadi cinta." ujar Ibunda sambil tersenyum, lalu matanya mengerjap jenaka.
"Ibunda jangan sok gaul! Aku dan Baskara ini cuma sahabatan, Bun. Lagian Dalilah gak punya teman perempuan karena pasti mereka merasa aku ini menjadi saingan!" ujarku dengan raut wajah muram.
Alasan-alasan mereka yang menolakku cukup klasik karena aku ini anak Raja, anak yang taat peraturan, gak gaul, atau tidak bisa merakyat karena status gelar yang aku sandang. Padahal mereka tidak tahu siap aku, justru aku inilah anak Raja yang merakyat. Hobiku setiap Minggu adalah ke pasar ikut Ibunda beli sayuran sekaligus mengamati kondisi pasar agar Ibunda tahu mana yang harus di perbaiki. Sebagai bonusnya, Ibunda membebaskan ku membeli jajanan pasar. Dan, yang paling aku sukai adalah Klepon.
"Terus Mbak milih SMA mana? Standar internasional di kota ini hanya ada Al Azhar, Budi Mulia, atau SMA negeri 3 saja?" tanya Ibunda dengan nada menawari sekaligus memutuskan sendiri pilihannya.
Aku berfikir cukup lama, Al Azhar memang sekolah standar internasional tapi memakai jilbab, sedangkan keluargaku adalah penganut Islam kejawen. Bisa ribet urusannya kalau aku bawa menyan ke sekolah atau bunga ssesaji. Budi Mulia... Jauhnya minta ampun, aku gak tega kalau Ayahanda harus mengantarku ke ujung timur laut kota ini. Apalagi aku tidak diizinkan untuk membawa motor sendiri. Pilihannya memang hanya SMAN 3 yang dekat dengan rumah dan sekolah Suryawijaya dan Pandu Mahendra.
"Mbak tidak perlu pusing memikirkannya karena Ayahanda sudah mendaftar Mbak di salah satu SMA yang disebut Ayahanda." timpal Suryawijaya di siang bolong yang begitu panas.
Aku beringsut maju ke bangku kemudi, tempat dimana Ayahanda tersenyum sambil fokus mengemudi.
"Maaf Lilah, Ayahanda dan Ibunda sudah memutuskan beberapa hari setelah pengumuman kelulusan waktu itu. Besok kita hanya perlu datang untuk menyerahkan berkas-berkasnya." ujar Ayahanda lugas. Seketika aku berangsur mundur dan duduk lemas di sebelah Suryawijaya.
Hari ini teramat melelahkan karena drama sepatu hak tinggi dan serangkaian acara wisuda. Belum lagi pikiran tentang Baskara yang menyeret-nyeret masalah hati membuat ku merasakan nyeri yang mulai menjalari kepalaku.
Selama tiga tahun di SMP, hanya Baskara yang slalu berjalan di belakangku. Menemaniku dan mengajariku bermain basket! Sungguh permainan yang menyenangkan diluar kebiasaan ku.
***
Suasana di ruang keluarga sangat ramai, karena malam ini Ibunda merayakan kelulusan ku dengan mengundang sepupuku yang jumlahnya banyak sekali. Aku mendapat hadiah dari Om ku yang berjumlah sebelas orang. Bisa di bayangkan berapa banyak sepupuku, empat diantaranya adalah saudara kembar. Mereka adalah anak Om Sadewa dan Om Nakula.
Anak Om Sadewa berwajah blesteran Jawa-Australia. Namanya, Arkananta dan Mahardika, Om Sadewa memang sengaja tidak memberi nama yang begitu sama dengan alasan sepele---agar tidak keliru. Tentu saja dengan gelar Raden Mas di depannya karena Om Sadewa juga seorang pangeran.
Adik Ibunda juga bule, Om Keenan dan Bulik Kyle. Meski panggilannya Bulik, Kyle ini baru anak SMP sekelas dengan Suryawijaya. Sungguh malang nasibnya, cantik, belia tapi panggilnya Bulik! Menggelikan. Dan, Bulik Kyle ada di depanku sekarang memegang buku. Mengerjakan PR.
"Ayo Bulik, makan dululah." ujarku sambil menyodorkan roti buatan Oma.
"Ish..." Bulik Kyle mendesis lalu menyambar roti yang aku ulurkan,
"Terimakasih, Mbak." ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tulisan-tulisan di buku tulisnya.
"Tugas apa sih? Serius banget."
Aku berusaha mengintip tulisannya.
Bulik Kyle mendesis lagi. "Biasa pak Tono!" tandasnya sebelum menepuk-nepukkan sampul buku di jidatnya. "Susah banget Mbak, dimana mas Surya?" tanya Bulik Kyle sambil mengedarkan pandangannya di kerumunan orang-orang yang asyik menikmati kue-kue buat Oma.
"Di kamar. Mungkin ngerjain tugas yang sama." jawabku tidak pasti, karena sejak tadi siang Suryawijaya memilih menyembunyikan diri di kamar. Melakukan hal-hal yang kadang membuatku ingin mengacak-acaknya rambutnya. Suryawijaya memang berbeda denganku, dia lebih memilih menyendiri ketimbang bergabung dengan kami. Dia... kata Ibunda mengingatkannya pada seseorang.
Bulik Kyle berdiri, ia mengambil beberapa kue sebelum menghilang dari ruang keluarga.
Aku menghampiri Sherina dan Shenina, si kembar yang memiliki sifat cuek, dan jujur apa adanya tanpa tedeng aling-aling. Apapun yang keluar dari mulut mereka slalu ngeselin seperti kali ini.
"Yee... Yee... Mbak Lilah udah SMA, kata Mama anak SMA sudah boleh punya pacar!" seru Shenina. Mataku membulat.
Tolong, ibunya dimana ini. Kenapa bocah SD udah tahu perihal pacar-pacar!
Hello... menstruasi aja belum. Ku cubit pipi Shenina dengan gemas. "Belajar dulu yang rajin, baru ngomongin pacar!" tandasku sambil menyipitkan mata.
"Kata Mama, Mbak Lilah bakal sulit punya pacar karena takut dengan Eyang Kakung dan Ayahanda Raja." bisik Shenina begitu lirih di telingaku.
Seketika itu juga, aku memikirkan ucapan Shenina. Kalau di pikir-pikir bocah ini benar juga. Cowok mana yang berani mendekatiku, cowok mana yang mampu meluluhkan hati Ayahanda dan mengikuti adat kuno di keluargaku. Apalagi, sopan santun sekarang terancam langka, lebihnya lagi dalam keluargaku harus siap sedia berkata "sendiko dhawuh" di setiap saat di setiap waktu.
Mendadak aku khawatir, tapi aku gak mau pusing karena aku masih lima belas tahun. Aku belum memikirkan soal pacar, aku mau sekolah yang rajin, bikin Ayahanda bangga karena prestasiku dan mengejar cita-citaku setinggi langit biru.
Aku kembali bersenang-senang setelah menghabiskan waktu di kamar mandi selama sepuluh menit. Aku berkumpul bersama sepupuku yang lain, bersendau gurau dengan bebas sebelum aku berusia delapan belas tahun. Karena diusia itu aku akan di hadapkan pada keputusan besar untuk memilih. Entah memilih pacar, memilih jurusan perkuliahan, atau memilih takdirku yang sudah di atur oleh sang hyang jagad.
Aku putri mahkota yang terkadang bimbang untuk menentukan pilihan. Aku bimbang dengan jati diriku. Kadang aku ingin menjadi Dalilah rakyat biasa, kadang aku ingin menjadi seorang putri yang di idolakan banyak orang. Tapi, menjadi putri mahkota banyak syaratnya. Sebagian syaratnya sudah Ayahanda dan Ibunda ajarkan. Hanya saja, aku kadang bosan melakukannya.
...Happy reading....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!