Setelah memahami situasi, aku memilih melewati koridor sekolah bagian barat untuk mengurangi rasa gugupku akibat salah kostum. Di waktu yang tepat kehadiran Ayahanda dan Ibunda memang sanggup membuat semua atensi terpana melihat mereka.
Aku tergesa-gesa melangkah karena sahabatku sudah menungguku di kantin. Saat menaiki beberapa anak tangga, sepatu ini justru tidak mau di ajak berkompromi. Aku nyaris terjungkal jika saja laki-laki menyebalkan itu tidak berada di belakangku.
"Seorang putri bukannya harus berjalan anggun dan elegan? Kamu!" Laki-laki itu menggeleng seolah mencemooh cara berjalan ku.
Aku mengerjap sebentar, lalu menegakkan tubuhku, "Apa? Aku kenapa?" tanyaku sambil mendelikkan mata.
"Kamu..." Dia tidak segan meneliti penampilanku dari atas ke bawah.
Benar-benar kurang ajar, hanya dia yang berani mengekspose tubuhku, tubuh seorang putri Raja yang bahkan semua abdi dalem laki-laki slalu menundukkan kepalanya di hadapanku.
"Kamu aneh!" katanya sebelum pergi.
Aku mengepalkan tangan, geram dan tidak terima dengan asumsinya.
Aku aneh? Darimana? Aku cantik dan slalu cantik untuk Ayahanda. Sekarang Bima seenaknya sendiri berkata 'aku aneh', menyebalkan. Tidak tahu jika aku ini putri sejagat!
"ndoro putri."
Itu lagi. Aku tidak suka dipanggil seperti itu. Cukup di lingkungan keraton saja, jangan sampai di sekolah. please. Aku mohon, aku ingin terlihat setara tanpa memandang kasta, gelar ataupun status sosial, aku ingin memukul rata perbedaan itu dengan tetap menjadi Dalilah, apa adanya, dan menjadi seorang remaja biasa. Mengenal cinta, mengalami patah hati, mengalami metamorfosa, mempelajari hal-hal baru dan hal-hal di luar sana yang membuatku penasaran.
Orang itu tertawa kecil lalu kepalanya miring dengan mata menyipit, "ndoro putri habis akting dengan kangmas Bimo?" Senyumnya menyeringai jail.
"Memangnya kamu lihat apa?" tanyaku sambil melangkah mendahulinya. Dia sahabatku, cowok. Namanya Baskara.
Pertemuan kami berawal saat aku dan dirinya terlambat mengikuti masa orientasi siswa. Kami di hukum untuk mengucapkan sumpah pemuda di depan semua siswa. Aku... bukannya tidak hafal, kepalaku isinya hanya rapalan mantra-mantra, gerakan tari, dan jadwal kegiatanku di keraton.
Hingga Baskara ini dengan lantang mengucapkan sumpah pemuda sembari mengangkat tanganku ke atas. Menunjukkan semangat seorang calon penerus bangsa agar mengerti seluk beluk tentang sejarah bangsa di era milenial yang begitu gila-gilaan merajai dunia. Merambah, memikat, mengalihkan dan membuai daya pikir pemuda-pemudi sekarang yang hampir luput sejarah berdiri bangsa Indonesia.
Waktu itu aku hanya tersenyum kecut, dia belum tahu siapa aku. Aku ini putri mahkota, sudah dari kecil ikut perlombaan menari antar kecamatan, kabupaten, provinsi dan membawa gelar juara. Piala ku banyak dan di tata rapi oleh Ibunda di kamarku.
"Aku lihat kamu hampir terjatuh, dan ia menjadi penyelamatnya." kata Baskara sambil menyejajari langkahku.
"Kebetulan aja." jawabku singkat.
Baskara menghentikan langkahnya di depanku, "Kamu mau melanjutkan sekolah ke mana, SMA atau SMK?"
"SMK?" dahiku mengernyit, "Kalau masuk SMK aku bingung ambil jurusan apa, Bas. Keahlian ku udah banyak. Nari bisa, bikin sesaji apalagi." Aku tersenyum jenaka.
Baskara mendengus kesal, "Serius, Lilah!" sergahnya cepat.
"Aku mau masuk SMA favorit standar internasional! Aku bosen kalau harus masuk sekolah negeri, Bas. Pasti guru-gurunya tahu aku anak siapa, terus di agung-agungkan jadi siswa teladan dan bla... bla... bla..."
Baskara mengangguk, ia sangat paham bagaimana ribetnya aku harus mengikuti perlombaan antar sekolah setiap tahun, karena pasti ada siswa yang harus di wakilkan, dan aku pasti akan di pilih menjadi kandidat nomor satu, Dalilah Sekar Kinasih sebagai penari tradisional.
"Aku ikut kemanapun kamu sekolah, Lilah. Nanti aku tanya sama paduka Raja dan Ibunda Ratu dimana beliau-beliau akan memilihkan sekolah untukmu." ujar Baskara antusias.
"Gak punya pendirian!" ledekku yang di balas tawa oleh Baskara.
"Kamu teman baikku, Lilah. Aku beruntung bisa berteman baik dengan penguasa tanah ini." Mata Baskara berbinar senang, "Jadi aku gak mau pisah sama kamu!"
Aku berdehem, mungkin orang lain akan mengira jika aku dan Baskara adalah sepasang kekasih. Bukan tak tak mungkin, karena kami seringkali jalan berdua ke kantin, ke perpustakaan, bahkan ke ruang bimbingan konseling, hingga tak jarang Baskara ini di sebut-sebut menjadi abdi dalem Kinasih yang menjagaku.
"Tapi jangan menganggap ku sebagai penghalang mu untuk mencari pacar ya, Bas. Lama-lama kita bisa jadi jomlo karatan karena status persahabatan ini."
Aku tersenyum simpul, Baskara oh Baskara... Jangan sampai kita menjadi dua manusia yang saling jatuh cinta karena kita sama-sama tahu kebobrokan kita yang tidak diketahui oleh orang lain.
"Sudah ayo masuk. Acara wisuda sepertinya udah mau mulai." kata Baskara, ia melangkah duluan karena beberapa teman kelasnya sudah meneriaki namanya.
Aku kembali melangkah dengan hati-hati. Mungkin benar apa yang dikatakan Ibunda, kalau memakai hak tinggi memang harus berjalan seperti saat aku menari. Pelan, anggun dan fokus.
Ibunda memiliki nama asli Rinjani Alianda Putri. Nama yang keren daripada namaku yang terbilang jadul dan klasik. Entah kenapa kadang terbesit di benakku, kenapa harus nama itu di jaman sekarang? Bukankah banyak nama-nama Jawa yang tidak monoton.
Dalilah artinya Bukti;jalan yang terang atau petunjuk jalan yang diberikan untuk anak perempuan. Sekar artinya bunga. Kinasih artinya terkasih.
Jadi aku ini apa? Bukti dari perjalanan cinta Ayahanda dan Ibunda yang begitu fenomenal dan menggegerkan rakyatnya? Bunga terkasih yang menjadi buah hati kedua orangtuaku? Atau aku ini memang memerlukan jalan yang benar untuk menjadi seorang perempuan seutuhnya?
Aku masuk ke dalam gedung serbaguna milik sekolah. Terlihat Ayahanda duduk di bangku khusus yang disediakan pihak sekolah. Ibunda slalu menemaninya, tersenyum ramah kepada semua orang yang menyapa mereka.
Sebagai siswa berprestasi, akupun juga mendapat bangku khusus yang mengharuskan aku duduk di samping Bima. Sungguh, kenapa perselisihan ini masih saja terus berlanjut bahkan sampai kelulusan sekolah?
Aku hanya perlu berharap ia enyah dari hadapanku. Aku dan Bimo tidak lagi bertemu setelah wisuda hari ini selesai. Cukup tiga tahun ini saja, aku bersaing dengan laki-laki berusia enam belas tahun dari keluarga Sastrowijoyo.
...Happy Reading ❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Wakhidah Dani
aq baca dalilah ko jadi ndilalah si 🤭
2022-08-09
4
ᴄᵏ☯︎
jadi kelak lilah sama Bima / baskara
2022-08-02
1
Ariyani Ariyani
jangan benci ndro dalilah tar bucin lho
2022-04-29
0